Saturday 15 October 2016

Prosias; KESEPIAN

 KESEPIAN 

     Tatapannya sayu, membisu setiap senja di alun-alun kota. Menunggu seseorang yang disebutnya kekasih, kembali. Hujan masih menyajikan tangis kala riuhnya, memanggil kenangan. Tetesnya mampu membasahi tembok hati; merubuhkannya. Mendekap bayang, ditemani kepingan masa lalu yang terus merayu. Merindukan orang yang tenggelam dalam mimpinya sendiri.

    Gemuruh tawa kita, masih kusimpan dalam angan, s'lalu muncul ketika hening mengunci jiwa; semburkan luka. Hanya tetesan gerimis yang tersisa hari ini, bersama tangisan bangku taman yang merindukan celoteh kita, Dik.

     Sinar harapan menembus tebalnya hati yang menggigil; membeku oleh sifatmu., bersama secercah harap pagi ini, angan membawaku terbang melewati impian yang hilang tadi malam, hanyut bersama tangisan awan

     Namun, ketika harapan ditiup penghianatan, memaksa cinta berevolusi jadi benci,  Duka menyulut sumbu tipis kesabaran, sebentar lagi jika cinta kita abaikan, bersiaplah tangiskan meledak;  menghentak.

    Aku tau, kisah kita tlah usai. Namun, ceritanya akan slalu abadi memayungi keindahan yang takkan pernah tersentuh kembali  Tiada guna memaki waktu yang tak pernah mendengar, biarkan kebekuan menjadi akhir kisah kita, Dik.

    Do'a yang terucap, meminta hati yang menetap. Senyap, dalam dunia yang terlelap, gelap. Aku hanya  cemburu pada senja yang bersanding dengan bias cantik pelangi. Kapan Dik kau menemaniku bertemu mereka (lagi)?

   Kuendapkan kesadaran dari mimpi semalam, lalu merenung di antara cahaya pagi. Terpikir, impian bersamamu pudar, dalam hatiku.

Bandung Barat, 2016
@ArdianHandoko

Thursday 13 October 2016

Untuk Sodaraku.

Untuk Sodaraku.

     Kumainkan nada-nada sendu, dibalik awan hitam yang muram, dengan lirik tanpa irama.
Untuk sodaraku yang dirundung kesakitan akibat perang, yang anak-anaknya kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak-anaknya, di atas tanah, di bawah langit, aku teriakan satir jiwa.

~

      Untuk jiwa-jiwa yang terluka, untuk anak tak berdosa yang mati atas nama keadilan penguasa, yang bersembunyi dibalik sebuah misi damai.
 
      Pelurunya menembus dada, granatnya berdentum, hancurkan rumah mereka. Mencekam; Jeritan dan aroma anyir adalah kawan karib, dibiasakan dengan mayat-mayat yang hancur, berserakan. Darah adalah merah perjuangan kelompok mereka. Orang jompo tertatih, anak kecil merintih, demi sebuah pencapaian penguasa yang ingin ciptakan damai; Katanya.
 
~

      Semakin lama, suaraku habis, diganti gaungan misil yang porak porandakan desa kecil, tenda pengungsian semakin lama, semakin sesak. Deru peluru adalah seruan Menuju El-maut; begitu menyayat nurani. Lalu hujan mulai tercurah di pipi, sinar kehidupan meredup, cahaya harapan, perlahan hilang dari pandangan kami yang nanar.

(Iwan fals - Dibalik Mata Air)

Memetik gitar dan bernyanyi
pada waktu tak bertepi
di atas langit di bawah tanah
di hembus angin terseret arus
untuk saudaraku tercinta
untuk jiwa yang terluka.
~
Tengah lagu suaraku hilang
sebab hari semakin bising
hanya bunyi peluru di udara
gantikan denting gitarku
mengoyak paksa nurani
jauhkan jarak pandangku.

Bandung.Barat. 2016

Wednesday 12 October 2016

Secangkir Baru


Secangkir Baru

#Ar_rha
~

         Kita seperti kopi dan susu. Hidup di cangkir yang terpisah, kau hidup di antara orang-orang elegan dan berkelas. Sedangkan aku? Yang hitam dan pahit ini hanya menemani para pekerja keras yang hidup di bawah garis kemakmuran, di kawasan kumuh perkotaan, di keremangan, hidup di antara meja-meja yang ditempati kaum yang senang meneriakan kegundahan. Terkadang ditemani alunan musik koplo yang melantukan syair tak senonoh dengan biduan bohai, dan aduhai tapi sayang tak piawai memakai pakaian. Yah ... mungkin kehidupan yang kejam telah merajam hingga ke dalam. Saat kecil mereka diajarkan cara memakai logika tapi sekarang tak punya etika.
 
~
 
       Apa yang telah terjadi sebenarnya? Kau yang putih dan nikmat, turun menemaniku di sebuah cangkir yang hangat. Hadir di lingkungan para remaja yang dimabuk rasa saling suka. Pertemuan kita melahirkan capucino dan moca. Terasa sungguh aneh kita bertemu di sini, di iringi lagu melankolis tentang cinta.
 
Dan di pojok cafe sana, Arfa dan Dini menikmati kita, dalam temaramnya kota, menunggu waktu hingga kita habis ditelan usia.

B.B. 2016

Tuesday 11 October 2016

Prosais; Menuju Senja



Menuju Senja


         Seperti biasa, kita hanya duduk berdampingan dengan mantap, saling menatap, tapi tanpa kata tetap. Entah apa yang salah, kini di antara kita ada dinding pemisah, aku bahkan tak sanggup mengatakan sebuah perhatian yang dulu begitu lancar mencecar. Apa ada yang salah diantara kita?.

       "Dunia ini permainan," ucap papan catur yang berwarna hitam putih. (kau pernah bilang, itu seperti hidup. Salah dan benar saling berdampingan, meski tak akan pernah menyatu) Jika ini sebuah permainan, aku tak pandai mengatur strategi. Hanya mengikuti iringan intuisi yang dikomandoi hati, meski terkadang logika sedikit menggila karena kecewa.

      Harumnya rasa cinta yang dulu menyengat, saat senja di taman kota, kini begitu berhimpitan dalam dada, seperti terkunci oleh teka-teki nurani, yang aku tak mengerti.

       Jingganya warna langit menandakan waktu magrib sebentar lagi datang, tapi masih tak ada suara yang bisa terdengar gendang telinga. Terkunci, membisu, membatu, hah!! Siapa perduli dengan analogi yang sering keluar, yang pasti ini sungguh tak mengenakkan. Apa mungkin? Aku tak ingin melanjutkan prasangka buruk ini.


       Adzan magrib membelah suara kendaraan, menggiring kita tuk berpisah. Tanpa kata, tanpa bahasa, berjalan masing-masing, dan tak perduli sekeliling.


        Antara magrib dan isya, ada perang besar dikepalaku. Koloni logika dan prajurit hati, saling melempar bom pendapat yang begitu sangat menyebalkan.

       "Sudah cari yang lain!"
      "Jangan, dia hanya sedikit marah. Itu pun salahmu juga!"
     "Lalu kenapa dia dingin sekarang? Halah, jika cinta tak mungkin seperti itu!"
     "Kami siap berdarah untuk mempertahankan rasa ini! Ayo semangat!"

      Aku bahkan tak bisa menentramkan konflik dalam diri, apalagi harus mengerti, pikiran dan nurani. Kamu! Pujaan hati ....



Bintang di langit, kurang terlihat karena polusi cahaya
Hati menjerit, sedikit pun tak percaya
Ke egoisan mulai menjepit, amarah begitu bahagia.



         Apa ada yang bisa mengajarkanku sifat asli wanita? Karena kebodohan begitu menyiksa! Tuhan, aku lelaki dan dia wanita, apa kami salah jika saling cinta? Saling damba? Hingga berharap untuk saling memiliki, menyayangi, menjaga, tertawa bersama?.

Bandung Barat. 2016

Saturday 8 October 2016

Puisi; Menuju Puncak Tertinggi

 Menuju Puncak Tertinggi

Karya: #Ar_rha

Kau coba tegar bak karang
meski masalah terus menerjang
sempat terjatuh, tapi tetap bangkit
lewati semua rintang meski rumit

Jalan berliku terus kau susuri
demi menggenggam mimpi-mimpi
satu kenyataan yang selama ini dinanti
menuju puncak tertinggi

Lakukan hal-hal terbaik
berubah menuju pendewasaan yang pelik
tak peduli cacian sekitar
demi cita-cita, kau tiada gentar

Bersabarlah kawan
tiada bukit yang bisa menghadangmu
tegarlah, ciptakan semangat juang
agar kita tertawa bersama, di akhir cerita

Bandung Barat, 2016