Saturday 29 June 2019

Prosais; Orang Bodoh

Prosais; Orang Bodoh


Orang Bodoh



   Seandainya hidup ini seperti membaca buku. Mungkin, kita hanya perlu memilih dari yang telah disediakan Tuhan. Tak perlu repot-repot mencari jati diri.

   Menabunglah untuk membeli buku yang kau sukai. Semoga stoknya masi tersedia di pasaran, dan sesuai ekspektasimu. Jangan lupa untuk mencoba hidup di dalamnya.

   Kesedihan, tawa, perjuangan, dan segala hal berasal dari kata-kata keinginan. Jangan sampai nafsu yang menulisnya.

   Ajari aku caranya membaca wajah alam. Aku pernah ditertawakan, hanya karena pipiku basah saat musim kemarau.

   Seandainya hidup adalah buku kosong, cerita apa yang ingin kau tuliskan di dalamnya? Apa mungkin, seorang super hero yang melawan monster? Atau polisi yang menggagalkan seorang perampok? Atau hakim yang adil?

   Percayalah, dalam sudut pandangmu itu, orang lain akan selalu bersalah jika kamu terkurung dalam pikiranmu.

   Semua orang berniat menjadi kupu-kupu. Sedangkan aku ingin dilahirkan menjadi ulat. Tentu agar sedikit bisa lebih lama mengenalmu.

   Menunggu hanya untuk orang payah, dan para pembaca buku adalah orang yang bodoh. Ia lebih sering mengintip isi kepala para penulis.

   Adakah orang payah, dan bodoh?

   Lihat seseorang di ujung taman itu? Ia begitu payah dan bodoh. Dia sedang membaca buku dan menunggumu selesai bermesraan dengan kekasihmu. Ah, betapa payah, dan bodohnya diri ini, hingga harus menjadi perusak dalam hubunganmu dan dia.

Bandung Barat, 21/06/2019

Tuesday 25 June 2019

Prosais; Seorang Wanita yang Menunggu Kenangan

Seorang Wanita yang Menunggu Kenangan



   "Mengapa kau masih terduduk di sini? Semua orang sudah pulang, dan di tempat ini seharusnya tak ada siapapun. Namun, kau malah asik bersantai."

   "Aku masih menunggu."

   "Siapa?

   "Seseorang dari masa lalu."


***

   Cinta itu kebodohan, cinta itu gila, buta. Membuat orang gagah, menjadi lemah.

   Segala kesalahan tentang cinta yang kau utarakan di atas, memang benar adanya. Dan semua itu terjadi padaku. Tapi tak mengapa, ini jalan yang ingin kutempuh,, ini jalan yang kuinginkan. Memangnya, apa sallah?

   Kesalahnnya mungkin, hanya karena kalian peduli, dan aku tak pernah mau mengerti.

   Pernah kurelakan kau berbahagia dengannya, tapi miris, jiwaku habis teriris.

   Membiarkan semua seperti seharusnya? Lalu, kejujuran yang mana yang harus kuutarakan pada kalian. Beribu kesibukan datang dan pergi, namun tahukah kalian, apa yang kupikirkan saat kesunyian menemaniku? Hanya namanya.

   Melamunkan senyumnya, yang berputar-putar pada lentingan waktu. Tetes hujan melaju, secepat kepedihan menerpa kejenuhan, juga hampa. Mencintaimu adalah fatamorgana. Yang kini menjadi hobi dan kewajibanku.

   Berharap takdir akan membawamu, membawa warna pelangi, yang kini hanyaberwarna abu-abu. Aku telah bertahan bertahun-tahun, dan entah sampai kapan.

   Tetes gerimis diarahkan angin menuju mataku. Biarkan menetes, biarkan terlerai. Biarkan yang gelap terus menjadi gelap, dan penerang tetap menjadi penerang. Sebab mencampurkannya, sama saja seperti kebodohan dan berbagai keajaiban menyatu.

   Sepi melintas, di antara peron-peron yang berkelap kelip. Adalah keramaian itu sunyi yang sesungguhnya. atas namamu, senyummu, membawa sebuah hujan pada mimpi-mimpi yang bertahan, yang perlahan mulai memudar.

   Muara telah gagal membendung rtinduku, hingga menjadi lautan. Kau tak percaya? Kemarilah, dan kita buktikan, bahwa perasaan ini nyata, bukan hanya seonggok sampah bualan.

   Tiga poros pecah, empat mata gagal terpejam dan sebuah kekecewaan, dilahirkan sebagai anak haram yang tak seorang pun ingin mengurusnya.

   Adalah pena dan kertas sajalah, yang menjadi temanku berbincang-bincang perihal kopi tanpa gula yang tertumpah pada takdirku.

Thursday 20 June 2019

Prosais; Hidup ini


 Hidup ini



   Hidup bukanlah garis yang akan selamanya lurus. Ia kadang menukik, menanjak, dan berkelak-kelok. Tak benar-benar seperti roda yang kadang di atas dan bawah. Hidup berisi banyak sekali variable. Selisih warna sedikit saja, bisa berarti sangat banyak. Seperti senyummu saat kecewa, atau senyummu saat menyeduh senja.

    Aku pernah menyiapkan banyak jawaban, saat kau berkata kita sedang tak baik-baik saja. Ada hal yang mengganjal dan menjadi menyebalkan. Kau bisa saja beralibi, menjadi sosok yang bisa menerima apapun yang kukatakan, atau tak menerima, tapi enggan membantah setiap tuduhan yang dilemparkan. Atau variasi lain yang bisa kau jabarkan pada devinisimu tentang kita. Hanya saja, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Ego siapa yang sedang kau beri makan?

    Kau selalu berkata tak peduli, tapi hal yang terjadi adalah kau benar-benar memikirkan semua hal yang pernah kita lewati. Kau bisa bersembunyi pada setiap kata yang menyudutkan. Hanya saja, bagiku, kau tak terlihat benar-benar baik-baik saja. kau terlihat hanya mencari pembenaran, tanpa pernah berpikir dengan tenang, tentang bagaimana jika kita memang ditakdirkan bersama?

    Katamu, garis waktu hanya ruang kosong yang siapapun dapat dipertemukan di dalamnya, tapi bukan untuk selamanya. Ia hanya satu, dari jutaan kemungkinan yang bisa terjadi. Dimana pun, kapan pun. Namun, kau benar-benar lupa bahwa hati tak bisa mencari pembenaran sendiri sebagaimana logika. Katamu, ia terlalu ceroboh dan sulit berpikir dengan logis. Hati memang ditugaskan begitu adanya. Ia tak bisa diintervensi oleh ego dan logika.

    Kalau kau memang tidak percaya. Bantah bahwa aku tak pernah ada sedikitpun di pikiranmu saat-saat kesepian mendera. Ucapkan pada hatimu, dan rasakan dampak yang terasa begitu hebatnya pada kepalamu.

Pict; Punya Author pribadi


    Tak ada lagi sapa, terlebih kekhawatiran yang selama ini kita utarakan.

    Hanya alasan yang senagaja kau sembunyikan pada semesta. Perihal kehilangan seseorang yang kamu sayangi di dunia nyata. Percayalah, dan tanyakan pada kepalamu. Ego siapa yang sedang kau besarkan, hingga mengorbankan segalanya.


Bandung Barat. 21/04/2019

Saturday 15 June 2019

Prosais; Musim

Saat aku pura-pura hilang, dan kau tak merasa kehilangan


   Jarak tak pernah menjauhkan kita, berbeda dengan rasa tak memiliki, Puisi

   Kita terlalu sering berbicara tentang harga, pasar, dan hal-hal berat lainnya. Hingga kita sekarang lupa hal-hal ringan seperti "Apa kabar?"

   Mengapa bukan hal yang mudah berteduh di lapangan? Mungkin karena kita tak saling melindungi. Atau mungkin, ego yang memayungi rasa gengsi

   Kita tak perlu bertukar posisi, yang kita perlu hanya saling memahami
   Kau bukan laut, aku bukan gunung, meski diam menjadikan sifat kita berdua sama
   Semua hal di atas lupakan saja. Namun, berjanjilah jangan melupakanku. Bagaimana?



09/06/2018


   Aku hanya ingin berhenti mencari namamu

   Ketiadaanlah, yang mengukur seberapa kuat kita membutuhkan. Kebersamaan pula yang jadi neraca perhatian, bukan kata-kata.

   Seseorang yang pergi, bisa saja tak akan kembali setelah menemukan tujuannya yang baru. Rumah, hanyalah sekumpulan kenangan dan masa depan yang terus dikejar.

    Jangan berbicara rindu pada angin! Dia akan berlalu dan menyampaikannya pada semesta, semesta akan bercerita pada langit dengan berbisik-bisik, dan langit akan terisak menurunkan hujan. Menyebabkan tanah mengeluarkan aroma kegalauan.

    Satu pertiga kehidupan adalah kesedihan, dan sisanya engkaulah yang memilih.

   Yang air mata lakukan hanyalah turun, doalah yang pasti akan sampai menuju langit. Seperti ketika kau berbisik pada tanah saat bersujud.

    Aku hanya berupaya melupakan namamu, yang terselip di semua tempat pada lipatan pikiranku.

Bandung Barat 19/04/2017



Pict By Author


Musim



   Aku tak pernah mau menjadi hujan yang tersesat pada musim kemarau. Orang-orang menatapku aneh, membenciku dengan segala kutukannya. Membaca setiap tetes air, sebagai kesalahan.
   Dan aku tak pernah mau menjadi musim yang tak pernah berhenti mengubah-ngubah wajah langit.
   Sejatinya, aku tak bisa melihat warna kenangan yang sesungguhnya. Dulu, kupikir warnanya sepia, hitam, putih, atau jingga. Sebelum musim memperkenalkan kenangan padaku, bahwa warnanya bening. Kenangan bisa membias menjadi warna apa saja, tergantung cahaya yang meneranginya. Namun, aku tak pernah bermaksud mengetahuinya. Atau mungkin, aku yang benar-benar sudah tak peduli pada segalanya.

 
07/02

Thursday 6 June 2019

Cerpen; Bermain dengan Bayangan

   Taman kota selalu menjadi tempat paling aman menyimpan kenangan. Sebab di orang-orang dalamnya, tak akan pernah ada yang mau peduli, pada semua pertemuan, perpisahan, tatapan, dan perpisahan. Mereka yang ada di sana, hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Ardian Handoko, 05/02/2018

Bermain dengan Bayangan



   Kusedot dalam-dalam asap tembakau, meski seorang gadis di sampingku terus menceramahi dengan kata-kata seperti "Kamu harus bisa jaga kesehatan." atau "Dari pada dibakar, mending kamu tabung uangnya buat masa depan, Ar." Harus kuakui, sering aku mengikuti keinginannya, dengan catatan, dia juga harus mengikuti peraturanku. Semisal, aku mengurangi merokok, gadis itu mengurangi makan pedas, atau memperhatikan hal-hal kecil seperti sarapan. Permintaan yang kami keluarkan sebenarnya sama. Ingin mengubah kebiasaan buruk menjadi lebih baik.

   "Nay, buat apa sih kamu nyuruh Ardi mengurangi rokok, bahkan meminta berhenti?"

   "Buat kebaikan kamu, Ar. Juga buat kebaikan kita."

   "Kalo gitu, aku juga sama nyuruh kamu ngurangin makan pedes."

   "Aku gak banyak ngelanggar peraturan kaya kamu, Ar. Aku gak setiap hari makan pedes."

   "Yakin? Gimana Ardi bisa percaya kalo hampir setiap istirahat makannya baso terus. Lagi pula, bukan tentang sedikit atau banyak, tapi komitmen yang Naya pegang."

  "Iya-iya. Kok kamu jadi bawel mirip Bapak, sih?"

  "Mungkin karena Tuhan menyiapkan Ardi sebagai calon bapak  dari anak-anak Naya."

   Gadis berkerudung ungu itu diam. Dia malah meletakkan kepalanya di bahuku.

   "Nanti diusahain. Kamu juga harus ngikutin peraturannya. Janji!"

   Kuelus kerudungnya dengan lembut. Tak ada kata yang terucap, tetapi ada sesuatu yang rasanya menetap. Perasaan nyaman yang sulit diterjemahkan.

   Alun-alun kota hari ini terasa sangat cerah, tapi tidak sampai membuat gerah. Aku dan Naya sedang menunggu bis di bawah pohon beringin, dan perdebatan kecil itulah yang mengisi kekosongan obrolan kami. Konyol rasanya, memperdebatkan hal yang sebenarnya bisa dikurangi dengan kesadaran diri sendiri. Namun, kami memang belum bisa memperbincangkan hal besar, menikah misalnya, atau apa saja yang bisa kami diskusikan perihal membangun sebuah keluarga.

   Kami pengecut, jika harus membayangkan tentang  pernikahan. Bukan enggan mengutarakan dan mengharapkan, tapi kami berdua pernah hancur di masa silam. Gadis berkerudung itu dengan masa lalu tentang kegagalan study, aku dengan satu hal yang sangat pribadi.

   Bis yang kami tunggu akhirnya datang. Sedikit berhimpitan dengan  penumpang lain kami menaikinya. Maklum, mode transportasi ini sedang disukai oleh banyak kalangan, salah satunya adalah pasangan muda yang ingin memiliki waktu bersama lebih lama. Selain itu, kota kelahiranku sedang menggalangkan upaya untuk lebih memperdulikan lingkungan.

   Hanya tersedia satu tempat duduk yang kosong. Naya menatapku, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Ladies first, Ar."

   Kami lebih banyak diam dalam perjalanan, hanya mata yang lebih aktif memperhatikan. Ia sering tersipu malu, lalu mencubitku.

   "Jangan diliatin mulu! Terpesona aku gak tanggung jawab."

   "Kalo udah?"

   Senyumnya semakin melebar, dengan pipi kemerahan yang membuatnya merona.

   Sesekali bis berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Semakin jauh perjalanan kami, semakin sempit juga rasanya tempat yang kami miliki. Kali ini, ada seorang ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak balita yang tidak kebagian kursi. Dengan sopan, Naya mempersilahkannya duduk, lalu berdiri di dekatku.

   "Udah mah cantik, baik juga si eneng. Jadi pengen dibawa pulang, boleh gak?"


Pict By : Punya Author pribadi




   Lagi-lagi sebuah cubitan mendarat di pinggangku. Kali ini lebih sakit dibanding biasanya. Entah kenapa.

   "Aku harap, suatu hari nanti pas aku lagi gendong bayi. Bakalan ada orang yang ngasih aku tempat duduk kaya gitu. Hukum karma itu berlaku loh, Ar. Lagi pula ..." wajahnya yang cantik itu kini tepat di depanku. "Sebelum aku dibawa pulang, lamar dulu."

   "Hahaha. Iya, nanti aku ke rumah."

   Lalu terasa tangan seseorang menepuk pundakku. Kondektur! Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan terakhir.

   "Nay, ayo tu ...."

   Naya tak ada di sampingku. Benar tebakan kalian, dia belum pernah ada di kehidupan nyataku. Gadis itu hanyalah imajinasi dari seseorang yang telah lama pergi dari hidupku.

Bandung Barat, 01/03/2019

Saturday 1 June 2019

Review Film; Kimi No Todoke

Ketika Sadako Jatuh Cinta (?)


   Sawako Kuronuma adalah seorang gadis yang sangat baik. Dia bahkan beranggapan, selama ia mampu melakukan kebaikan, selama itu pula ia hidup. Filosopi yang indah tentang hidup menurut Author pribadi.

   Namun, semua itu berubah setelah ada salah satu temannya yang melihat ia mirip dengan Sadako. Sosok hantu Jepang yang terkenal. Gadis itu sedikit dijauhi dan orang-orang di sekitarnya akan berkata maaf, padahal tak ada sesuatu yang aneh. Mulai sejak itu, dia jarang berinteraksi dengan orang lain, dengan anggapan bahwa dia tak ingin mengganggu mereka.

   Cerita berlanjut, ketika Ia bertemu dengan Kajehaya Kamito, seorang pemuda tampan yang menjadi incaran semua orang gadis di sekolah. Bahkan salah satunya adalah Kurumi, gadis yang menjadi bunga sekolah.

   Ketika sang gadis hantu ini mencoba membuka diri dan mencoba membuka diri dengan berteman Yano dan Yosuda. Beberapa isu yang kurang menyenangkan datang pada pertemanan mereka. Apakah persahabatan yang dibangun akan dibiarkan roboh begitu saja? Atau Mereka bertiga akan bisa mempertahankannya? Selain itu, siapa yang berusaha menyebarkan gosip itu?

   Alur cerita film ini terlalau santai menurut author, bahkan bagi sebagian orang akan terasa lambat dan membosankan. Terasa kaku dalam penjelasan, pemaparan alur dari satu sisi ke sisi lain juga begitu lambat. Seandainya eksekusi film ini dibuat sedikit greget dan berbeda, film ini bisa sangat keren menurut author. 

   Konflik yang dibangun pun terasa kabur. Ada bagian-bagian dari film ini yang terasa, sangat biasa. Mungkin karena genre yang di keluarkan adalah slice of life dan drama, tapi tetap saja kurang bisa di terima.

   Di balik tanggapan minus auhor pada film ini, sebenarnya ada intrik yang menonjol tentang karakter Sawako. Hanya pengandaian yang bisa penulis tuliskan. Bukan karena tak suka, namun rasanya sayang saja.

   Bagi kalian yang menyukai drama korea, mungkin film ini bisa masuk di playlist kalian katika senggang. Satu hal yang pasti, jangan berharap lebih pada film ini.


Bandung Barat, 2019