Saturday 19 October 2019

Prosais; Kenangan Depan Belakang

 Kenangan Depan Belakang

 


    Aku sedang asik mengutak-atik aquascape, ketika selentingan kenangan melintas di dalam pikiran. Apakah ia sedang merindukan? Atau segala bayangan ini hanya cerita dalam kepala? Aku berusaha tenang, dan menyakinkan diri sendiri untuk tidak peduli.

    Menyibukkan pikiran pada mimpi yang dulu tertinggal. Sengaja kulepas saat kamu yang kucintai datang. Aku lebih memprioritaskan kamu yang saat ini pergi seperti berandal. Mengabaikan beberapa hal yang ingin digenggam, sebelum aku menempati gerbang kehidupan baru bernama pernikahan. Menukar kepingan cita-cita dengan kertas bertuliskan namamu saja. Bodoh! Aku kalah dalam undian itu, dan saat ini berusaha kembali melanjutkan asa yang tersisa.

   Tolong ... jangan lagi ditarik, jangan lagi diusik. Aku bersyukur terlepas darimu, sebelum luka-luka menjeratku lebih dalam. Aku bersyukur masih bisa bangkit untuk menemukan beberapa pijakan kembali. Kaki masih bisa menapak, meski sayap patah dan tak bisa mengepak. Tak apa, aku masih bisa memanjat untuk mencapai puncak.

    Jadi, tolong jangan kembali sebelum kudepak!

 Takdir hari ini sedang mengajakku bercanda. Ia bilang, tak ada kamu hari ini, karena aku belum sepenuhnya pantas mendampingimu. Entah suatu hari nanti, semua kemungkinan masih tersedia. Ada banyak hal yang patut diputus sebelum jadi masalah, dan mungkin, kita salah satunya.

   Kita akan berpapasan dengan orang-orang yang bertujuan sama. Entah itu di nama jalan yang apa saja, atau di keramaian, atau di antara jarak-jarak yang sepi. Kita akan menemukan seseorang yang sepemikiran dengan kita, entah itu berpapasan, atau bertukar tulisan, atau disatukan oleh jemari takdir. Tak ada yang tahu tentang masa depan, bahkan masa depan itu sendiri.



Bandung Barat, 19/09/2019




  

Ruang Bebas; Dear, Puisi


Dear, Puisi



   Dear, Puisi

   Bolehkah aku menceritakan sedikit resah yang mengganggu? Aku tahu kamu sedang sangat sibuk. Namun, aku berharap, semoga ada sedikit kesenggangan di antara banyak tugasmu. Jujur saja, entah pada siapa aku bisa bercerita pada sesama, selain kepadamu.

   Aku tak ingin menambah beban pikiran orang tua, atau bercerita secara sangat terbuka pada teman dekat. Bukan karena mereka tak dapat di percaya, hanya saja, aku merasa tak leluasa. Kupikir, tak ingin menyusahkan mereka. Jadi, sesibuk apapun kamu di sana, tolong jangan marah, karena aku mengganggu waktumu yang berharga.

   Dear, Puisi

   Apa aku salah menyalahkan takdir yang beberapa kali tidak sesuai dengan pikiran? Misalnya, aku tak ingin ribet dengan beberapa konsumen yang "rewel" dan bertidak sedikit jutek pada mereka. Dan juga, bolehkah aku membenci beberapa orang karena perlakuan mereka terhadapku? Atau aku berkata bohong pada beberapa situasi, hanya untuk menenangkan setiap letup di dadaku.

    Aku juga mengerti. Aku mungkin terlalu egois dengan beberapa kali terpaku pada pemikiran seolah kebenaran hanya milikku sendiri, dan menyalahkan pihak lain. Aku  juga kadang bingung pada diriku sendiri yang tak bisa jujur dengan perasaan. Aku sering kali tersenyum, bahkan di saat paling menyakitkan. Seperti kehilangan seseorang.

   Kadang aku takut tak bisa menjadi diri sendiri. Apa salah? Apa kalah? Dunia yang kulalui memang seperti itu, Puisi.

   Dear, Puisi.

   Malam pernah menyelinap ke kamarku. Memberikan beberapa opsi mimpi. Begitu indah, sangat indah malah. Namun, tetap saja saat pagi datang membangunkan, kenyataan membenturkan pikiranku begitu saja.

   Kadang ingin mengeluh. Merasa tidak menjadi manusia yang sepenuhnya saat menyimpan beberapa masalah dan mendiamkannya dalam kotak kesadaran. Apa salah? Apa kalah? Dunia yang kujalani kadang seperti itu, Puisi.

   Aku menyadari, manusia pada akhirnya akan hidup pada kesendiriannya masing-masing. Meski tak selamanya. Tapi apa harus semua kesakitan itu membuat aku menjadi seapatis ini?

   Kuakui kegoblokan diri sendiri yang terlalu memikirkan hal-hal yang sepele. Namun, waktu dan kepercayaan kupikir lebih berharga dari mata uang apapun di dunia. Jadi, semoga saja kamu bisa sangat mengerti akan hal itu, Puisi.

   Dear, Puisi.

   Terima kasih atas waktu yang kamu kosongkan untuk membaca tulisan ini. Jangan jadikan beban segala kata-kata di atas. Aku hanya ingin didengar, tanpa harus menjadi beban. Aku masih ingat beberapa katamu. Jangan kalah, jangan menyerah. Dunia selalu menyediakan jalan bagi mereka yang mau berjuang.

    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Bagi kamu yang sedang membaca ini.


Bandung Barat, Agustus, 2019

Saturday 12 October 2019

Cerpen; Menulis Sunyi Pada Selembar Malam

 Menulis Sunyi Pada Selembar Malam




   Ani menatap lekat selembar malam di mejanya. Mengira-ngira siapa yang mengirimnya. Mencari-cari nama atau apa pun yang dapat menunjukan identitas sang pengirim. Namun, seberapa keras dia berusaha, hasilnya tetap sma. Nihil.

   "Kenapa ngelamun? Kurang sehat, An?" Ladri menyimpan gelas kopi di meja. Sapaan itu telah membuyarkan pikirannya.

   "Enggak, Dri. Ini loh, ada yang nyimpen map di mejaku. Pas aku buka, isinya selembar malam. Anehkan?"

   "Selembar malam? Wah, mabok apaan nyampe bisa menghayal kaya gitu. Gak nyangka Gue, An. Lo kaya gitu."

   Diserahkannya selembar malam itu ke tangan Landri. Dengan terpesona lelaki itu menerimanya. Tangannya tak berhenti bergetar. Gugup.

   "Ini asli, An?"

   "Kamu kira?"

   Kami berdua terdiam. Hanya sunyi yang melattar belakangi tempat ini. Tak ada yang lainnya.

***

   Malam selalu bersandar pada gelap. Memelukmu dalam pekat. Dilahapnya apa pun. Bahkan bintang-bintang hanya mampu berkelip. Bulan mungkin bisa bersinar, tapi cahayanya redup. Seorang laki-laki dengan wajah lesu, menatap langit sayu. Pikirannya terbang meninggalkan tubuhnya.

   Sunyi menjadi bisa. Menguap, menyembunyikan suara-suara burung hantu di depan telinganya. 

   'Melupakanmu aku tak bisa, memilikimu mustahil adanya. Terlalu pengecut. Terlalu penakut. Pilu ini mengikat, mengakar hingga menjerat. Dasar tolol! Sudah tahu sakit jika melihatnya saja, tapi tak mau mengungkapkan apa yang dirasa. Setiap hari selalu berada di dekatnya, tapi hatinya tak mampu  kusentuh barang sehasta. Sial!

   Aku takut menyatakan, karena takut kehilangan. Mungkin, hanya lewat selembar malam, aku berani menyatakan. Agar kata-kata cinta yang kutulis tak bisa dibacanya. Benar, hanya lewat selembar malam yang sunyi. Aku bisa menulis segalanya, dan dia tak pernah bisa membaca apa yang tertera.

   Tak ada yang akan tersisa, Tak akan ada yang bisa dia rasa adanya. Semua guratnya akan hilang begitu saja.

***

   "Dri, yang lain belum pada dateng?"

   Belum kayanya, ini masih pagi banget kali."

   Tatap mata Ani lalu berubah penuh curiga.

Bandung Barat, 02/11/2018

Thursday 10 October 2019

FlashFiction; Badut

 Badut


    Badut itu tampil dengan hidung tomat, rambut warna-warni, serta riasan dan tingkah konyolnya, membuat hari ulang tahun anakku berlangsung meriah. Bibir merahnya sesekali berbicara dengan cempreng, menghasilkan tawa dari bibir kecil anak-anak. Aku hanya memperhatikannya dari jauh, sambil menyediakan makanan serta minuman untuk para tamu.

    Sejujurnya aku trauma melihat badut, setelah apa yang terjadi di waktu kecilku. Namun, perasaan sebagai ibu yang mencintai Diana, anakku, membuat aku harus menekan rasa khawatir serta menyanggupi permintaan untuk mengundang badut ke rumah sebagai kado ulang tahun.


    Beberapa atraksi pun dilakukan badut itu, mengeluarkan burung dari topi, melempar bola-bola plastik, hingga pada akhirnya, dia meminta salah satu anak kecil itu untuk maju menjadi relawan.


    “Adek-adek, siapa yang mau bantuin Om Badut?”


    “Saya, Om.” Seorang anak laki-laki mendaftarkan diri, sambil berdiri.


    Anak kecil itu disuruh memegang apel di atas kepalanya dan sang badut mengambil ancang-ancang, menggumamkan kata-kata aneh, lalu melempar pisau dan ....


    Jleb!


    Tepat mengenai sasaran. Tepuk tangan pun bergemuruh.


    Kini tiba saatnya peniupan lilin ulang tahun, Sang badut sudah kuajak untuk beristirahat, sekalian memberinya uang bayaran, tetapi dia menolak sambil menyuruhku diam di tempat.


    'Mungkin dia masih ingin melihat keceriaan,' pikirku.

    Saat aku berbalik, terdengar jeritan-jeritan. Rupanya, dada Jaki (anak lelaki yang tadi jadi relawan) berlumuran darah, dan kulihat badut itu telah membuka riasannya, wajahnya rata, sama seperti badut yang tampil di masa laluku.


Bandung Barat, 30/08/2017

Saturday 5 October 2019

Cerpen; Melawan Lupa

MELAWAN LUPA



   Pada putaran waktu yang terus berputar, aku tiada bosan memikul rindu. Perasaanku terus menjelajah, memunguti keping-keping sejarah yang tercecer di antara canda dan tawa masa lalu. Aku masih merangkai harapan, menjadi namamu. Tiada bosan. Meski terkadang, kehampaan menjalar ke semua tempat di otakku.

   "Kita sudah jauh berbeda. Kita bukan anak kecil lagi sekarang, yang terus berkhayal dan berharap. Cobalah menerima takdir, Ri."

   "Biarlah ..., meskipun sakit. Aku akan tetap seperti ini."

   "Kamu harusnya seperti aku yang bisa melepaskan."

   "Seandainya cintaku dulu tak sedalam ini, tentu akan sangat mudah melupakanmu. Seperti kau melupakanku."

   Kulihat kau hanya menggelengkan kepala, lalu beranjak pergi tanpa kata. Meninggalkan akau dan semua kenangan tentang kita. Memang benar adanya, kita telah berbeda. Tapi apa salahnya bersikap seperti masa lalu?
***
   Kala keremangan menyelimuti, sering kutitipkan sejumput rindu pada angin. Berharapa disampaikannya rasa tak bisa dihapus. Dear, kesedihan itu menetap di hidupku. Hati yang malam ini kerap meratap. Berharap kisah cinta masa lalu kita yang manis dapat terulang kembali.

  Yah, mesli sudah berpisah, kita masih menyempatkan diri saling bertanya kabar, basa-basi tentang hobi dan menghabiskan waktu bersama. Kau sering kali menasehatiku bahwa ini semua takdir yang sudah ditetapkan, kita harus mematuhinya.


   "Aku merindukan kita yang dulu," ucapku sambil menangis. Aku memang payah, aku memang lemah.


   "Itu sudah tak mungkin terjadi, kita tak bisa melawan kodrat tabahkan hatimu!"


   "Kau sekarang egois, Kun!"


   "Meski dulu kita sepasang kekasih. Kita tak bisa mengulanginya lagi. Kita telah bereingkarnasi. Kau dulu perempuan, sekarang kau lelaki. Jika kita terus bersama, artiinya kita melawan kodrat."


   Lalu langit cerah menjadi gerimis, dan tak pernah kutemukan lagi lelaki yang telah mengisi hatiku, di masa lalu.


Bandung Barat, 2017

Friday 4 October 2019

Puisi; Menggapai Mentari

Menggapai Mentari




Sahabat
Kita adalah sepasang roda yang berputar
Menggelinding tiada gentar
Menuju mentari yang bersinar.

Sahabat
Kita pernah berjuang bersama
Melakukan hal konyol seirama
Kini saatnya melangkah
Menggapai mentari hingga senyum merekah.

Sahabat
Kita taklukan semua masalah
Merubah musibah, jadi anugrah
Iringi semua ihtiar dengan doa
Agar bahagia tercipta.

Meski kini kita berjuang masing-masing
Namun percayalah
Kita bisa menggapai mentari
Bersama ..

Bandung, 2016



Terbiasa


Aku harap
terbiasa
membaca langit-langit hitam
dengan mata terpejam

Aku harap
bisa
terbang tanpa sayap
tanpa awak
tanpa kenangan
hingga hilang keterbatasan
dalam segala hal

Aku harap
terbiasa
menjadi tanah yang tegar
jadi gunung yang tak mudah ditaklukan
jadi laut yang selalu tenang
jadi langit yang lapang
jadi harapan yang diinginkan
jadi mimpi yang diangankan
dan segala hal yang mustahil
ada dalam diri manusia

Bandung Barat, 2019
 

Kumpulan Puisi; Angin, Angan, dan Ingin

 Kelak




Kelak
ketika kudapati angin dari barat
kuharap itu sebuah isyarat
sebelum kau benar-benar pergi
atau kembali

Menerima, menemukan
adalah jalan yang digariskan
kelak, ketika rintik hujan berdoa
yang basah (semoga) bukan seperangkat mata

Bukan perihal kita
atau kau, atau dia
tapi tentang keputusan
pada masa lalu

Waktu adalah
tali temali yang mengikat tubuh
perlahan menjalin, menjelma kau seutuhnya
kelak, ketika kita di ambang akhir
dan sunyi menghampiri
semua akan tahu
siapa diri ini

Bandung Barat, 28/07/2018


Pict; Angin, Angan, dan Ingin




Angan dan Ingin



Aku gigi rontok
dan kamu, batu yang matang digodok
aku gigi tanggal
kamu air yang tak ingin tinggal
aku  rasa pahit
kamu lidah sehat di rumah sakit
aku luka
kamu air laut yang seenaknya

Aku ingin
kamu angan

Aku rambut
kamu kangker akut
aku tangan buntung
dan kamu, benda yang tak terhitung
aku mata
kamu jangkauan tak terhingga
aku telinga
kamu suara berfrekuensi tangga

Kita menjadi dua orang yang asing
dipertemukan pada jalanan yang bising
dengan segala pekat
kebakaran hutan berkabut
yang menyekat
bahkan pada jarak yang begitu dekat

Aku hamba yang bersujud
kamu mimpi yang tak ingin terwujud
aku ingin yang terlepas
kamu angan yang bebas
pada jemari takdir
yang tak berusaha mengikat kita


Bandung Barat, 24/09/2019