Thursday 23 February 2017

FlashFiction: Aku Rindu Kamu.

Aku Rindu Kamu.


   Masih begitu lekat dalam ingatan saat pertama kali kita bertemu. Saat itu aku berkunjung pada Nesya--pacarku--tapi setelah bertemu denganmu, rasanya tak ada lagi cinta untuknya, yang ada dipikiranku hanya kamu. Kamu yang memiliki kaki ramping, namun kuat menahan beban berat. Ah ... andai saja aku masih berpacaran dengan Nesya, mungkin saat ini kita masih sering bertemu.

    "Siapa di luar?"
 
   "Aku Ardi, boleh masuk?"

   "Tentu boleh, kemana aja Di, aku kangen," -- lalu Nesya memelukku-- "aku kira kamu gak bakal mau lagi datang ke sini"

   "Iya Nes, aku kangen sama dia, udah hampir enam minggu gak ketemu, jadi maksain deh main ke sini"

   "Dia? Maksud kamu, kamu punya orang yang dicintai selain aku di rumah ini?"
   
   "Iya ada, dia sering ngobrol sama aku pas kamu di kamar, ganti baju, atau apapun yang kamu lakukan saat gak ada di samping aku"

   "Siapa yang berani ngerebut kamu dari aku?! Adik aku? Pembantu aku?"

   "Udah deh ya, aku gak mau debat, udah gak tahan pengen ketemu dia"

   Tanpa permisi aku masuk ke ruang tamu, lalu duduk, ah ... aku melihatnya, dia masih sama seperti dulu, mempesona.

   Lalu dengan tergesa-gesa Nesya mengejarku ke ruangan itu.

   "Kamu harus bilang siapa yang kamu suka! Aku mau bikin perhitungan sama dia!" ucap Nesya sambil menggebrak meja.
 
   "Kamu gak boleh kasar gitu dong Nes, aku tambah gak suka. Kalo kamu mau, kamu bisa jadi pacar kedua, dia gak akan marah kok"

   "Hah? Emang aku segila apa? Sampe mau jadi yang kedua, kamu harus bilang sekarang!!" sekali lagi dia menggebrak meja.

   "Sekali lagi kamu kasar sama dia, aku gak segan-segan tampar atau pukul kamu, aku suka sama dia," ucapku sambil memeluk meja.

   "Kamu itu emang demen bercanda Di, maaf ya aku udah emosi. Akhir-akhir ini aku tersadar, banyak ngelakuin kesalahan sama kamu, aku gak mau kehilangan kamu lagi"

   "Saat ini aku lagi gak bercanda, sangat serius Nes! Aku mau jadi pacar kamu lagi dengan syarat kamu jagain meja ini ok?!"

   "Oke kalo itu syaratnya, aku akan lakukan asal kamu jadi pacar aku lagi. Karena cinta ini udah terlalu menyiksa saat kita gak ketemu"

   Semenjak saat itu, selingkuhanku selalu menjaga pacar terbaikku.
Bandung Barat 2017
AKU MERINDUKANNYA.
Saat bertemu, aku langsung memeluk meja di ruang tamu.
"Kamu udah gila?" tanya selingkuhanku.
Bandung Barat 2017

FlashFiction: Saat Kekasihku Melepaskan Jaket

Saat Kekasihku Melepaskan Jaket



   Seperti malam minggu biasanya, kaum muda-mudi seperti Joni. Pasti pergi ke rumah sang pacar, istilah bekennya sih, apel.

   "Dek, aku di depan." Smsnya pada Tika.


   Pintu kosan pun terbuka, "Masuk, Bang." Dan tanpa basa-basi lagi lelaki itu pun masuk ke kamar yang ukurannya tak terlalu besar. 


   "Ga ada apa-apa, Bang. Maaf iia," ucap Tika sambil menyimpan teh manis dan beberapa toples makanan ringan di atas meja.


   "Nyantai aja kali, Non. Gak usah repot-repot, keluarin aja semuanya," dengan kelakar yang khas, Joni menggoda Tika.


   "Dasar si Abang!" ucap gadis itu sambil mencubit tangan sang kekasih.


   "Abang cuman bawa ini," lelaki cungkring itu lalu mengeluarkan martabak dari tasnya.


   "Ih Abang ... makasih ya. Silahkan Bang diminum tehnya, mumpung anget."


   "Iya, Neng"


  "Itu jaketnya basah ya, Bang? Buka aja dari pada masuk angin."


   Jono pun menurut, tapi seketika tubuh Tika jatuh. Tak sadarkan diri.




Bandung Barat, 2017

Wednesday 22 February 2017

Kertas dan Pena

Kertas dan Pena

Part 2

    Apakah dunia ini indah? Bagiku tidak. Itu hanya bualan para penulis. Selama kuselami beragam diksi, ini yang kutemui. Resah, karena takut segalanya palsu.

    Maaf, sedetik lalu, hujan jadi alasan bagiku sejenak mengenali diri. Putih yang tak lagi putih, tinta yang tiba-tiba memudar karena air mata.

   Aku melihatnya dengan jelas. Tulisanmu di awan. Tapi, itu sekadar kalimat yang tak ubahnya luka.

    Aku, tak seperti yang kau tau. Aku bukan putih. Layaknya kertas lainnya. Pantaskah aku dinanti? Masihkah aku menjadi tempat bagimu menuangkan segala rasa, segala cerita. Aku tak mau jadi serakah.

Pena, aku...

Ingin berhenti. Mencari-cari yang tak harusnya dicari.
Bisakah kau menuliskan, di mana letak titik akhirnya?
Aku tak ingin selalu seperti ini.
Terbangun dan mendapati kau, masih tak ada di sisi.

Tasikmalaya, 2016
(Terinspirasi dari lagu Noah-Terbangun Sendiri)

Friday 17 February 2017

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk

(Bagian dua)

    Hilang ditelan bumi. Mungkin itulah istilah paling tepat bagi kepergian Kakek tua dan Putri mesir, anak Raja (harusnya RAJA *master Ip berkomentar wkwkwk) segala hal yang ditempuh Raja, mulai dari memakan obat warung, hingga ke dokter paling terkenal, tetap saja pusingnya tak mereda (maaf narasi ngaco, skip *emot ngakak)

   Mulai dari menggeledah rumah-rumah yang dicurigai, hingga menyebarkan pengumuman ke beberapa kerajaan tetangga, namun tetap belum membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya Raja pun menghentikan usaha pencarian.
.
    Namun tidak begitu dengan Master Ip. Memikirkan lawan tangguh yang dihadapinya, membuat ia membuka kembali beberapa buku silat lidah yang pernah diajarkan gurunya. Dia begitu yakin, kakek tua itu pasti pernah satu perguruan dengannya. 'Dia pasti seniorku, atau mungkin ....' keluhnya ragu.
.
    |Kelak ketika cinta menjelma kesedihan, bacalah aku dalam buku ini, sebagai pukulan tanpa lambaian tangan.|
.
    "Ini pasti jurus pukulan jarak jauh." pikir Ip.
.
    |Ketika rindu datang menohok, seranglah aku hingga babak belur dihajar kenangan|
.
    "Ini lebih keren. Menohok dari arah yang tidak terlihat. Lalu menghajarnya hingga babak belur. Benar-benar pintar si Rindu ini."
.
    Hingga akhirnya, buku itu menuliskan beberapa catatan kecil.
.
    |Saat harapan meredup, selalu ada mentari yang tiba-tiba akan menyinari. Hingga jalan pulang dan pergi terlihat jelas. *1|
.
    |Kita hanya harus diam, menanti jawaban angin yang diutus Tuhan. *2|
.
    |Burung-burung berkicau, mengamini do'a yang kurapalkan bersama pagi yang bersinar. *3|
.
    Terselip sebuah catatan kecil. Dia hanya tersenyum melihat tulisannya dulu.
.
    |Pertarungan Terakhir
-    Yang Lentur akan kaLAh dengan yang LEBih LentUr. Maka aturlah jarak seperti RAJA DAN RATU. Salah jika kutulis Raja dan Ratu Negeri Inggris atau Arab. Gunakan 5-7 lenturan.|
.
    Seperti mendapatkan sesuatu, dia kembali membaca catatan kecilnya yang terselip tadi dan ... "Binggo!" Teriaknya.
.
    Diacak-acaklah kamarnya yang berantakan, menjadi lebih berantakan. Dia sedang mencari sebuah buku cerita yang dulu sering dibacakan Ibunya, selum tidur.
.
    | Cerbung
    "Hilangnya Oz DAN Sumur ajaib"
    Sebuah istana megah berwarna hitam, terdapat RATU penyihir hitam yang melahirkan seorang pria, bernama Oz. Kelahiran anak bungsu tersebut disanjung tinggi oleh RAJA dan RATU, juga semua orang penghuni istana setempat! Oz, empat dari bersaudara. Kakak-kakaknya semua wanita, yang pandai menyihir sedari bai, walau hanya dengan kedipan mata.

    Dua tahun kemudian.

    Keraguan semua orang terhadap Oz, yang tidak bisa menyihir diusia sekarang. Terutama si sulung nekat membuka sumur penobatan yang bisa membuktikan apakah Oz anak manusia biasa?! Ataukah memang calon RAJA istana masa depan?!
Indra Wijaya|
.
    "Jadi harus dicari rumah penyihir yang ketika pagi dan sore cuaca cerah *1. Lalu menunggu angin yang diutus Tuhan dan ... Dan ..." --kalimat itu terputus-- "hanya ada satu penyihir di negeri ini yang memiliki burung hantu yang dapat bersuara di pagi hari.*3"
(Bersambung ...)

Monday 13 February 2017

FlashFiction: Meja Kuno



 Meja Tua.



   "Hanya ini yang tersisa," ucap Rindu kepadaku saat menunjukkan meja kuno bercorak ular yang telah sedikit menghitam. Hanya ini harta terakhir yang tersisa. Semua isi rumahku yang lain hangus terbakar.

   "Kita bisa memulai semuanya dari awal, Sayang," senyum palsu kubuat, pura-pura tegar dihadapan Rindu.

   "Iya Bang, Rindu mengerti," lirihnya.

   Aku harus memulai kembali semuanya dari nol, dengan berjualan kolak di depan warung Teh Eha. "Mumpung lagi puasa." Rindu menyarankan.

    Namun hasilnya nihil, bahkan modal pemberian Rindu pun mulai habis, padahal itu tabungan orang tuanya.

   "Aku malu sejujurnya, Rin, sedikit demi sedikit uang kamu habis," kata-kata itu meluncur begitu saja. Aku menunduk malu.

   "Tenang aja Bang, enggak usah khawatir. Aku ikhlas kok." Dia memegang tanganku.

   "Tapi aku jadi enggak enak sama almarhum ke dua orang tuamu, Abang gagal jadi suami," suaraku parau seperti tercekik.

   "Jangan gitu, Bang, mereka udah pasrahin semuanya." Rindu berkata santai, perlahan dia mendekat dan memelukku.

   Tanpa berkata apa pun pada Rindu sebelumnya, malam itu aku menjual meja bercorak, tak tega aku melihat Rindu kedinginan tidur dipost ronda.

   Terjual Rp. 7.500.000,00 "Wah mahal juga," pikirku. Uang ini kugunakan untuk menyewa sebuah rumah selama satu bulan, sisanya biar Rindu yang pegang, aku akan bekerja kembali jadi penambang batu di sungai. Tanpa banyak lama, aku tidur di samping istri.


   Malam itu mimpiku aneh sekali, ke dua orang tua Rindu membentak, mengeluarkan kata-kata tak pantas, dan istriku--Rindu, menangis sambil berkata "Kenapa kamu bodoh Bang, ngejual barang orang tua aku tanpa bicara dulu? Lihat sekarang mereka sangat marah! Abang buat mereka kecewa"--menutup matanya, mencoba menahan tangis--"sekarang aku pamit, mau kembali sama mereka" lalu Rindu dan ke dua orang tuanya berubah jadi ular.

   "Jangan pergi Rindu kumohon," aku berteriak;mengigau. Terbangun, lalu melihat istriku, dia menghilang, benar-benar raib.


Fiksimini;
 MEJA KUNO.

 Dia menangis setelah aku menjual Rindu, apalah daya semua telah terjadi, gambar ular menggigit hatiku.

 Bandung, 30/01/2017
 @Ardian_handoko
 (#Ar_rha)

Thursday 9 February 2017

FlashFiction: Berawal Dari Mimpi

Berawal Dari Mimpi


  Aku hanya bisa tersenyum menikmati hasil kerja kerasku selama ini. Beberapa film yang kugawangi beserta artis papan atas lainnya selalu meledak dipasaran. Hal yang tentu membuatku dan team bangga.

  Ini adalah kali kesepuluh aku melakukan jumpa fans sekaligus me-launcing film terbaru. 

  "Bang, liat ke sini, Bang!" 

  "Bang Reza! I love you!"

  "Bang Reza! Aku untukmu."

  Dan, ada banyak lagi teriakan histeris dari para penggemar serta beberapa jepretan kamera. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. 

  "Bang, ojek?"

  Semua khayalanku pupus beserta kekecewaan yang menohok.

  "Ayo, Neng. Alun-alun?" Ajakku sambil memberikan helm.

  Ah ... berawal dari mimpi dan tetap menjadi mimpi

Bnadung Barat 2017
#FFKamis

Sunday 5 February 2017

L D R (1).


L D R (1).


     Tentang cinta yang terbentur jarak, cerita kita yang tersekat batas. Di antara banyaknya halaman yang harus ditelusuri. Bab demi bab yang terus kubaca, dan tentang pertemuan yang kita tunggu, seperti Cinderela dengan sepatu kaca. Meski Pangeran menawarkan hatinya pada seluruh penduduk negeri. Namun, tetap saja Tuhan telah mengatur semua, semoga begitu juga kisah kita. (Emot senyum)

~

    Ibarat putri salju yang ditemani para kurcaci, aku dan dirimu sama dalam hal ini. Perlu berjuang tuk dapatkan sesuatu, bukankah itu akan jadi pembelajaran bagi kita? Petuah sederhana tentang perjuangan, ketegaran hati, kesucian jiwa. Aku dan dirimu sama-sama mengejar mimpi, membuat inovasi dalam diri, meski terpisah dengan alur yang berbeda. 

B.B. 09/09/2016

Waktu Berpisah

Waktu Berpisah

    Aku takut kau menangis mengenang kita, aku takut raga ini tak dapat lagi bersua, dan aku takut, suatu hari nanti tak ada lagi rindu di antara kita.

~

   Mungkin ini yang disebut perjalanan, kala waktu membuat dedaunan kering menjadi humus, yang memupuk keinginan terpendam.

   Ada rasa kecewa terselubung saat tak kudengar suaramu. Dik, aku sangat dahaga, haus akan rasa yang belum kau balas.

~

   Langit mendung pun bercerita tentang kesedihanku lewat rerintiknya. Dik, dengar tidak senandungnya?

~

    Dan yang tersisa hari ini hanya tetesan gerimis bersama tangisan bangku taman yang merindukan celoteh kita.

#Ar_rha
2016

Friday 3 February 2017

FlashFiction: Kurang Beruntung

Kurang Beruntung

    Hidup dekat dengan laut, membuat pemuda tanpa keahlian sepertiku, hanya bisa menyandarkan jalan rezeki dari hasil melaut.
.
    Namun hari ini, hingga matahari di atas kepala, tak ada satu pun ikan yang melahap umpanku, "Sial!" sambil menahan dagu, kutatap lagi *kukumbul.
.
    Benang pancingku seperti ada yang menarik, dengan reflek kuangkat *joran pancingan sambil menggulungnya.
.
    Terasa berat, namun tanpa perlawanan, "Ini aneh."
.
    Hampir habis benang kugulung, kini mulai terlihat samar-samar bayangan hitam naik ke permukaan.
.
    Lenganku sedikit bergetar mengangkat hasil kain pancing. "Jasad manusia?" ngeri bercampur jijik, kuperhatikan dengan saksama mayat di depanku.
.

    "Aku?" seperti dilempar, pikiranku terbang menuju dua hari dimana tubuh ini tenggelam.

Cerpen; Yang Hanyut Berganti.

Yang Hanyut Berganti

    Kutelusuri jalanan basah, jejak-jejak aliran air yang tadi malam hanyutkan beberapa kenangan. Dan aku harus menemukannya kembali, harus!. Tak peduli seberapa jauh atau seberapa lama, aku harus menemukannya.

    Mendung kembali menaungi kotaku, padahal aku belum menemuka apa yang kucari. Perlahan, rintik-rintik tangis berlompatan membasahi setiap jengkal tanah, dengan kesal aku menepi, ke sebuah toko. Yah, dengan berat hati.

    "Teh, ada kopi?" Ingin kutepis dingin dengan segelas minuman hangat itu.

    "Ada A, tapi nunggu gapapa?"

    "Bolehlah, ikut nongkrong ya Teh?"


***

    Hujan semakin deras, derap langkah kaki pedagang es, lesu. Mungkin, harapan yang tandus tak tertembus tetesan hujan, atau keresahan menanti esok. Yang kuyakini, Tuhan takkan beri cobaan tanpa persiapan.

   "Ini A, adanya kopi item, maaf tadi lupa bilang." Gadis berkerudung ungu itu menyerahkan segelas minuman yang masih beruap.

    "Makasih, Teh." Kunyalakan korek, hendak membakar roko filter, karena tak ada ibu-ibu atau anak kecil di sekitar sini.

    "Ngeroko ga baik buat kesehatan loh A"

    "Iya Teh, diatur ko ini," balasku sedikit tak peduli. Lalu menatapnya.

    "Ga lebih dari sebungkuskan? Eh, maaf." Gadis itu merunduk, menjaga pandangannya.
 
    "Kadang lebih, emang kenapa Teh?"

    "Sayang sama kesehatan, A," dengan malu-malu dia menatapku.

    "Iya Teh"


***

    Hujan masih tak ingin berhenti, menyebarkan hawa gigil yang menusuk. Ah, hilang sudah harapan menemukan kembali masa lalu itu.

    Kuperhatikan langit, sepertinya tak akan reda sebentar, mungkin terpaksa hujan-hujanan.

    "Teh, jadi berapa?"

   "Dua ribu maratus, A. Hujannya masih besar loh."

    "Biarinlah Teh, Ga enak nongkrong berduaan"

    "Nih pake!" ucap gadis itu sambil menyerahkan payung.

    "Pink?"

    "Dari pada basah, lagian hujannya gede, A"

    Bermaksud langsung pergi, tapi tangan gadis itu telah menggenggamku.

    "Pake, jaga kesehatan loh A! Kurangin juga ngerokonya"


***

    Andai kalian melihat lelaki usia belasan memakai payung pink saat hujan tengah melanda kota kecil di Jawa Barat, sapalah, mungkin itu aku.
Bandung Bara . 2016
#Ar_rha

Thursday 2 February 2017

Cerpen; Arti pendakian



Arti pendakian


     Langit kala itu belum sepenuhnya terlihat, jalanan basah sisa tangisan langit semalam menjadi awal terlenanya mereka menikmati karya Tuhan yang terhampar. Memandang tak jemu dengan ribuan kata syukur yang terucap di hati kecil. Benar-benar tanpa cela ciptaan-Nya.

     "Siap, Niff?"

     "Iya Di, ayo!" Ujar gadis itu bersemangat.


***

     Langkah demi langkah membawa sepasang muda-mudi pada terjalnya jalur pendakian Gunung Tangkuban perahu. Udara sesejuk rindu, melewati diafragma. Mengganti asupan polusi kota menjadi oksigen yang lebih menyehatkan.

      Dan mereka mulai menapaki jejak-jejak tanah becek. Tarian ilalang menemani perjalanan menuju puncak, mereka berdua menikmati semua pada setiap sesapannya.


***

      "Nyampe Nif, kita pasang tenda di sini," ujar Ardi sambil menurunkan ranselnya.

     "Yakin? Puncak masih jauh ga?" Peluh mengalir di pelipisnya. Terlihat begitu lelah, namun tak menyurutkan semangatnya.

     "Iya di sini. Biar nyari air ga terlalu jauh. Lagi pula puncak udah deket ko."

     Mereka berdua pun saling bantu mendirikan tenda, membersihkan ilalang yang menghalangi, dan membuat tempat untuk api unggun.
~
     "Masak ya. Aku nyari kayu bakar." Ardi memasang wajah memelas.Tak menjawab, Niffa hanya mengangguk tanda setuju.


***

     Semua hampir selesai, di atas matras makanan tersaji. Ardi sedang membetulkan api unggun agar kehangatan menyelimuti sepasang pendaki yang masih belajar arti kehidupan yang sebenarnya
"Udah, ayo makan dulu," ucap Niffa

***
    "Apa sih cita-cita yang hingga kini belum terselesaikan dari kepingan mimpi kamu?" Ardi membuka perbincangan.

"Kepingan? Kepingan emas? Haha!! Apa ya, banyak lah, kasih alasan terbaik kenapa aku harus ngasih tau ke kamu?"

     "Karena aku akan jadi seseorang yang menemani kamu mengejar impian itu."

      "Mulai nih, gombal. Oke, kalau itu alasannya, seiring waktu, kamu bakalan tau. Dan pertanyaan aku, sebetulnya kamu berasal dari daerah mana sih, Di?"

     Tak sempat menjawab, percakapan mereka harus terhenti oleh rintik-rintik hujan yang menghujam, tepat di mana mereka bersama. Rinai-rinai mulai menetes ke tenda mereka. Gumpalan awan tipis berdatangan, hendak memeluk mereka hingga ke titik beku paling mematikan.

    "Ayo cepet masuk!" Ardi sedikit berteriak.


***

     "Kamu gapapa 'kan, Nif?" Ardi menatap wajah niffa yang pucat.

     "Engga, Di. Ga usah hawatir."

     Lalu Ardi memeriksa jaket yang dipakai Niffa. 'Astaga, basah! Jaket yang dipakainya tembus air.' Bisik pemuda itu dalam hati.

     Ardi melucuti jaket Niffa, lalu mengganti dengan yang sedang dipakainya.

     Pemuda itu menyalakan kompor portable yang mereka bawa, hendak memanaskan air, setidaknya itu salah satu cara yang dia tau untuk menepis hawa beku yang hendak menyeret mereka pada kematian.
Langit semakin deras mencurahkan perasaannya, hembusan angin kencang menambah nuansa semakin mencekam.


***

     Air mulai mendidih. Ardi mulai memasukannya ke dalam termos kecil, lalu menyimpannya ke kantong tidur yang telah digunakan Niffa.
     Suhu semakin menggila, hampir di Nol derajat. Niffa mulai berhalusinasi, dan badan Ardi mulai menggigil karena suhu tubuhnya yang menurun.

     Dentuman air menghantam tenda, menjadi harmoni. Nyanyian kematian makin nyaring terdengar di telinga mereka.

     Deg ... deg ... deg ....
  
     Suara jantung Ardi semakin melemah, dan wajah Niffa semakin pucat saja.

    "Tuhan, apa ini akhirnya? Mah, Pah, maafin Ardi. Belum bisa bahagiain kalian," ucapnya sambil memegang kalung pemberian ayahnya. Terjatuh, kini mereka berdua tak sadarkan diri.


***

    "Apa kami sudah di surga?" Ardi menatap wajah gadis yang dicintainya masih terbaring lemas di sampingnya.

     "Jangan bicara seperti itu, Di. Mamah menjemput kalian pakai ufo ayah yang disimpan di ruang bawah tanah kita. Mamah dengar suara hatimu dari sini." Ibu muda itu menunjukan kalung yang sebelumnya digunakan Ardi.

     "Hah? Ufo mah?" Ardi terbelalak. Kemudian kembali tak sadarkan diri.

End
#haen Tasikmalaya
#Ar_rha Bandung Barat