Monday 27 March 2017

Untukmu yang tak ingin kutinggalkan

Untukmu yang Tak Ingin Kutinggalkan


    Jika kau ingin seperti ini terserah, aku hanya ingin memberi semangat untukmu, ingin melihatmu bahagia, ingin selalu ada di momen apa pun saat kau ingin berbagi, ingin selalu menghibur, menjauhkanmu dari setiap masalahmu. Aku memang bukan lilin, tapi setidaknya aku ingin jadi penerang kala gelap menyerangmu, tapi semua seakan tinggal harapan, bagai bungkus tanpa isi.
    Seandainya kau mau lebih mengerti, mungkin aku masih mendampingimu di belakang. Aku adalah orang yang selalu membuka tangan kala kau sakit, kala batu menimpamu, ketika mulut-mulut itu berputar di kehidupanmu, kala hati letih, saat badai datang, ketika hujan hadir, aku menunggumu bercerita. Sejujurnya, aku tak ingin kau pergi, tapi sikapmu menjauhkanku secara halus, kau anggap semua sama, padahal batu ada berbagai jenis bukan? Mungkin aku kini tak kau butuhkan, maka aku akan mundur teratur, tapi ingat, jangan kembali ketika kau membutuhkanku, karena mungkin saat itu aku sedang bersama bidadari lain yang bisa menerimaku apa adanya. Aku yakin ini bukan kesalahanmu, bukan juga kesalahanku, tapi ini takdir, karena di kamusku, tak ada kata kebetulan, karena Tuhan tak mungkin salah langkah, karenaku tau semua akan berakhir indah.
    Jika aku ingat-ingat, aku mungkin salah, kadang dibanyak momen aku tak dapat di sampingmu, tak bisa dengar semua jeritan hatimu, bahkan dibanyak masalah yang kau hadapi, aku tak bisa dampingimu, inginku tak seperti itu, tapi apa daya, tangan tak mampu memeluk rembulan, bahkan tuk hadirkan pelangi di wajahmu saja aku tak mampu.
    Sebaiknya kini biarkan mundur teratur, jika kuteruskan berjalan di jalur ini, aku takut jika suatu ketika nanti, ada waktunya kuharus pergi, kau tak terima dan lebih sakit dari ini, jika kau mengingatku silahkan, jika kau melupakanku pun tak apa, namun jika kau ingin kembali, entahlah aku bukan tempat untukmu pulang, anggap saja aku adalah teman saat kau pergi menjadi turis di negeri yang jauh di sana. 
    Maaf, jika sifatku kini seperti batu, yang jika kau tersenyum, dan memanggilku, akuakan diam. Dan saat kau menderita, aku tak akan mendekat, bahkan jika hanya mendengar keluh kesahmu.
   Aku hanya akan datang saat ada seseorang yang memintamu menjadi bidadarinya, saat kau di pelaminan, aku akan mengucap kata selamat dan tersenyum, karena aku pun akan bersama bidadari hatiku yang hari ini entah masih di mana. Aku memang bukan Tuhan yang punya hak menghisab setiap katamu, aku pun tak berhak mengatur hidupmu, dan itu yang membuat aku terbangun dan menjauh, seperti supir angkot yang meninggalkan orang yang tak mau diantarkan.
    Jika aku ingin kembali, ingatkan aku tulisan ini, jika kau ingin kembali, ingat kata-katamu bahwa semua batu sama. Aku bukan ingin menebar benci, tapi aku ingin menjauhkanmu dari sakit hati, karena aku tak ingin melihatmu terluka. Aku adalah pisau bermata dua, tak setiap sisiku aman kau gunakan, seharusnya kau membenciku, ingatlah semua kesalahanku, ingat-ingat janji yang pastiku langgar, bencilah semaumu.
 SEMOGA DENGAN INI KAU BISA MELUPAKANKU
 (selamat berpisah masa lalu)
11 September, 2016

Friday 24 March 2017

Cerpen; Nayla

Nayla



   "Kita sampai, Don," gadis itu terlihat sedikit lelah, tapi tak menutupi kesenangannya mencapai puncak bukit. Lengannya terus menarik laki-laki gempal di belakangnya. Pemandangan yang sungguh memalukan.

   "Akhirnya ..." Doni langsung membaringkan tubuhnya. "Setelah perjalanan melelahkan ini."

   "Kau payah sebagai laki-laki."

   "Kau terlalu tangguh untuk seorang perempuan," balas Doni dengan mata tertutup.

   Mereka berdua lalu tertawa.

   Setelah tenaganya terkumpul, lelaki itu berusaha untuk duduk. Ditepuknya pundak Nayla yang tengah asik menatap langit.

   "Langitnya cantik ya, Don."

   "Tak pernah melebihi cantiknya kamu."

   "Gombal!" Tangan Nayla ikut berbicara; mencubit.

   "Tapi kamu selalu suka 'kan?"

   Mereka berdua saling tatap, lalu sama-sama saling melempar senyum.

   Tangan Nayla seperti menunjuk satu bintang, lalu menunjuk bintang lain. Ajaib, di antara bintang-bintang itu kini terlihat garis-garis penghubung. Membentuk sebuah bentuk. Dengan penuh ketakjuban, mulut lelaki itu terbuka.

   "Apa yang kau lakukan, Nay?"

   "Lebih cantik bukan? Meski tak pernah seterang sirius, bintang ini memiliki hak istimewa di hatiku."

   "Maksudmu, Nay?"

   "Kau pernah bilang, bahwa beberapa saat sebelum menemukanku, kau melihat bintang jatuh. Lalu mengucap sebuah permintaan agar bertemu seorang gadis sederhana, yang kuat mendengarkan semua keluh kesahmu tentang dunia. Aku adalah bintang itu dan kini sudah saatnya aku kembali. Jika kau merindukanku, tataplah bintang di dari bukit ini. Tatap seberapa bersinarnya aku di atas sana."

   "Semoga kau bahagia, selamat tinggal."

 Tubuh Nayla memudar, serpihan-serpihan tubuhnya lalu berubah menjadi kupu-kupu namun seterang kunang-kunang.




  




Bandung Barat, 2017
#Ar_rha
@Ardian_handoko 

Monday 20 March 2017

FlashFiction; Aku adalah Udara

 Aku adalah Udara


   Kutatap lagi wanita yang sedari tadi tersenyum bersama kedua sahabatnya. Sungguh, wanita berkerudung putih dengan kaca mata tebal itu telah menjerat hatiku, mendiami pikiranku, hingga bayangannya terus berputar dalam khayal.

   "Kalian masih inget Rendi?"


   "Lelaki yang culun itu?"


   "Yang tampangnya mirip alien?"

    Kedua temannya tertawa terbahak, sedangkan ia hanya merenggut.


    Aku merenung mendengarkan percakapan tadi. 'Tak pantaskah aku mencintaimu?'


   "Aku sedang serius. Terkadang pas mau tidur, aku mikirin Rendi. Gak sadar dan apa ya, dia unik menurutku."


   "Cha, coba dipikir lagi. Apa Rendi cocok buat terus jagain kamu?"


   "Gue setuju sama Silvi. Coba dipikirin lagi, Cha."


   "Kamu harus punya pendirian sendiri, Lyn."


   "Kata siapa Gue gak punya pendirian? Pendirian Gue, kan terus setuju sama Lo, Sil. Secara otak Lo paling encer di antara kita bertiga."


   Mereka kembali tertawa, meski tak sekencang tadi.


   "Apa mungkin cinta yang diberikan Tuhan ini salah, Cha?" Aku mulai beranjak, berusaha melebur di antara panas dan lalu lalang manusia di kota ini.


    Namun sebelum aku benar-benar pergi, kudengar Echa berbicara dengan suara sedikit tercekat.


    "Rendi ngilang dari semalem, aku denger kabar dari teman sekostnya. Di kamarnya cuman ada kertas, baju terakhir yang dia pake  sama sebuah alat hasil eksperimennya," -- tangisnya mulai mengisi suara di taman ini -- "seandainya dia tau, aku juga sayang sama dia."


Bandung Barat, 20/03/2017


fiksimini; KISAH SEPASANG MERPATI

KISAH SEPASANG MERPATI



JANJI SETIA - Kedua merpati itu mematahkan sayap, lalu berjalan berdampingan. Kini mereka hidup di antara kita, sebagai manusia.

DIANGGAP GILA - Mereka memunguti remah-remah di jalanan. Kebiasaannya masih tak dapat dihilangkan.

SEBUAH KEPUTUSAN - "Aku harus pergi, agar kita lebih bahagia," | "Kau harus belajar lebih baik untuk jadi seorang di sana,"

BUS KOTA - Perjalanan harus diteruskan. Meski tadi malam bus yang lelaki itu naiki terbakar.

PENANTIAN - Sudah tiga tahun wanita itu duduk di bangku terminal. Menanti seorang laki-laki yang telah mengambil hatinya.


#Ar_rha
@Ardian_handoko
Bandung Barat, 2017

Monday 13 March 2017

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk


   Raja mengangguk tanda mengerti setelah Ip menjelaskan semuanya.
.
    "Para kesatriaku, antarkan Master Ip menuju penyihir yang ada di perbatasan kerajaan kita!"
.
    Semua bergidik ngeri, hingga akhirnya seorang penasihat memberanikan diri berbicara. "Maaf, Tuanku. Bukankah penyihir itu agak sedikit em ... gila?"
.
   Beberapa kesatria mengangguk tanda setuju, lainnya hanya diam memikirkan bagaimana jadinya jika mereka yang diperintah mendampingi Master Ip.
.
   "Tak ada 'kah satu orang pun kesatriaku yang berani mengantar Master Ip?"
.
   Semua kesatria mundur perlahan, kecuali seorang budak lusuh. Terlihat begitu konyol, dengan tatanan rambut acak-acakan nan bau. Dengan senyum aneh mirip keledai yang memperlihatkan gigi-gigi patah dan tubuhnya yang membungkuk, dia mulai memperkenalkan diri.
.
   "Zorgon, Yang Mulia. Tawanan dari Kerajaan Frogitus, siap melayani." dia menghormat seperti salam seorang Yunani, hingga wajahnya hampir menyentuh lantai. "Ini sebuah kehormatan, namun apa balasan yang pantas bagi hamba untuk misi ini, Yang Mulia?"
.
    "Aku tau apa inginmu, Zorgon. Kau kuperbolehkan tidur di kandang kuda sepuas hatimu. Selain itu, akan kubuatkan ruangan khusus untukmu bereksperimen dengan benda-benda luar angkasamu. Apa itu cukup?"
.
    "Lebih dari cukup, Yang Mulia. Terima kasih atas kemurahan hati anda, Yang Mulia." Tubuhnya yang masih membungkuk pun seperti diseret mundur.
.
    Raja lalu menatap wajah Master Ip. "Apa kau siap menghadapinya, Ip?"
.
   "Jika orang pintar harus dikalahkan oleh orang yang lebih pintar. Maka penyihir gila itu hanya saya yang dapat mengalahkannya, Raja. Tiada pilihan lain ...."
.
   "Terima kasih, Ip. Hanya kau satu-satunya harapanku."-- ditepuknya pundak Master itu-- "Pengawal! Sediakan kereta dan perbekalannya untuk Master Ip, Sang Pemberani dan Zorgon tawanan kita!!"
.
    "Ip, berjanjilah kau akan membawa putriku kembali."
.
    "Saya berjanji."

Saturday 11 March 2017

FlashFiction: Semangat Api

Semangat Api!


     "Selamat Mas, akhirnya kita bertemu lagi. Merdeka!"

     "Selamat ... selamat, akhirnya kau sampai juga di sini," ucap Komandanku saat berada dipasukan khusus, beliau menyalamiku.

    Aku masih merasa bingung atas ucapan mereka. Apa mungkin waktu kembali ke masa lalu, saat detik-detik pembacaan proklamasi. Aku hanya tersenyum kepada semua yang hadir dihadapanku. Kepalaku masih sedikit terasa pusing.

    Wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, apa ini efek sinar rembulan yang terpantul pada wajah mereka. Tak ada ketakutan, atau suasana mencekam, kami semua diliputi kebahagiaan. Para prajurit lain pun sedang bersenda gurau dengan yang temannya.


    "Di mana pasukan lain komandan?"

    "Sebagian telah melanjutkan perjalanan, yang lain masih berusaha melepaskan diri dari belenggu"
 
    "Apa Belanda kembali? Atau Jepang masih belum mengakui kedaulatan negeri kita? Ayo kita bantu, Komandan! Saya siap mengangkat senjata kembali!"

    "Tenang-tenang, kita sudah harusnya beristirahat sodaraku, bukan Belanda atau Jepang, tapi sodara kita sendiri" Ia tersenyum sebelum melanjutkan kata-katanya, "biarkan anak cucu kita yang melawan bangsa mereka sendiri"

    "Apa ada kudeta? Kenapa mereka melawan bangsa sendiri?"

    "Tenanglah, kita telah memberikan tugas itu pada mereka. Kini saatnya kita harus percaya!"

    "Kita mungkin sudah pengsiun, tapi kita harus kembali menyatukan bangsa ini! Demi tanah air Ibu Pertiwi. Merdeka!" ucapku sambil berdiri. Tak tahan aku mendengar semuanya. Apa mereka tak tahu berapa banyak nyawa yang harus gugur demi kemerdekaan, dan persatuan ini.

   "Kau mau kemana sebetulnya?"

    "Aku ingin kembali berperang!"

    "Tak ingatkah kau apa yang terakhir kali kau lakukan?"

    "Aku ... aku ingat, aku sedang menceritakan bagaimana perjuangan kita mengusir penjajah. Lalu ... lalu ...." kata-kataku terhenti.

    Benar juga, aku telah mati karena serangan jantung siang tadi. Lalu aku ingat semuanya, komandanku ini telah mati saat terjadi pemberontakan di wilayah kami, dan orang-orang di sekitarku adalah korban dari pihak kami dalam peperangan. Aku masih hafal, tiga orang di dekat tenda adalah korban penembakan Jepang.


    "Tak perlu terkejut seperti itu, kita sudah memberikan warisan berupa tanah air dan semangat persatuan. Selain itu sebagian dari mereka masih mendo'akan kita. Yah walau pun kebanyakan dari mereka hobinya sekarang mengeluh"

    Melintas dipikiranku, seorang kawan pejuang yang kini tak memiliki tanah dan air, padahal dulu dia adalah pejuang. Sama seperti kami yang membela tanah air, namun nasibnya kurang beruntung hingga di usia senjanya masih harus berjuang demi kehidupannya. "Selamat berjuang kawan. Merdeka!"

Bandung Barat 2016

Thursday 9 March 2017

Jangan Katakan Kita Belum Merdeka.


Jangan Katakan Kita Belum Merdeka.



Jika masih merasa risih
Bagaimana ucap terima kasih.

~

Merasa ragu jasa pahlawan
Buat pesimis menatap masa depan.

~

Upacara bukan simbolis kenegaraan
Harusnya menangis mengenang pertarungan.

~

Mari bersatu membangun negeri
Agar harumlah bumi pertiwi.

~

Merdeka bukan berarti senang-senang
Tapi saatnya lanjutkan perjuangan.

~

Janganlah lupa pahlawan dido'akan
Karena mereka adalah kebanggaan.
Bandung Barat 2016
#Ar_rha

Wednesday 8 March 2017

FlashFiction; Cerita Masa Lalu.


Cerita Masa Lalu.

Aku masuki buku diary yang dulu kita tulis bersama, dan kini sulit rasanya menemukan jalan keluar.


(Prosais)

    Aku kembali menemukannya, sebuah tugu yang mengabadikan kisah kita. Sejujurnya aku tak sanggup membacanya hingga akhir, karena setiap kalimat yang terukir, mengandung magis yang membuatku masuki alam yang telah tertulis takdir.

    Dada berdegup, diri gugup, dan bibir ini mengatup.

***

     Aku kembali ke sini. Melihat kau dan aku (beberapa tahun silam) sedang menikmati langit, dengan burung lalu lalang. Menarik nafas dalam-dalam; mencoba menetralisir getaran di dalam dada. "Oh, indah bukan kasih? Hmmm, kamu tahu gak apa yang tak pernah terhitung di dunia ini?" kau hanya tersenyum, dilanjut menggelengkan kepala. Matamu menatapku penuh tanya, berbicara tanpa kata. Meminta sebuah jawaban, dari apa yang tadi aku lontarkan.

     "Yang tak pernah terhitung di dunia adalah banyaknya bintang di langit, berapa luasnya jagad raya dan rasa cintaku padamu." Bola matamu berbinar, dan tangan kanan yang halus itu mencubit lenganku.

     "Gombal!" ucapmu sambil menjulurkan lidah, namun aku tahu. Senyummu begitu merekah dalam jiwa. Kau lanjut menyandarkan kepala ke bahuku, dan tangan kiriku merangkul pinggangmu.



     Hitam sekejap.

     Di tempat berbeda, kau dan aku berada di perpustakaan. Melukis cerita dalam sebuah buku, diselingi tawa. Menambahi tulisan dengan kata-kata memuja. Menulis hal kecil dan konyol yang kita lewati, menempel puisi-puisi, lalu diparagraf akhir menulis titimangsa; berharap ini semua abadi. Kita menyimpan sepasang (kau satu, begitu pun aku) buku ke dalam tas masing-masing.

***

     Terlelap tidak, tersadar tidak. Waktu begitu cepat berlalu, saat aku bermain imaji, masuki kenangan kita berdua.

    Sebagian nyawaku masih berada di dalam diary. Warnanya mungkin memudar, serta menguning. Cover yang mengelupas, tapi tulisan kita tetap saja sama. Mirip seperti namamu yang masih terpahat di sini, di hatiku.

Bandung Barat,. 2016