Tuesday 30 October 2018

Prosais; Kepada Puan

Kepada Puan



   Puan, langit kelabu itu hampir selalu mengisyaratkan hujan akan turun, bukan? Jadi, kenapa kita memilih sudut yang bermuram? Bukankah kita sedang berjuang demi segala hal yang kita cita-citakan?

   Puan, kita berdua terlalu lama menghisap aroma kecurigaan, di dadamu terlalu banyak yang mengendap. Tak terutarakan. Mengapa tak kau ucapkan segala resah? Mengapa tak kita bicarakan segala pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di langit pikirkanmu?

   Terlalu naif untuk diam. Terlalu marah untuk tenggelam.

   Kita adalah dua orang yang konyol yang selalu saling mendoakan dalam setiap keheningan. Kita tidak saling mencari, tapi berharap dipertemukan.

   Dalam abjad yang tersusun rapi. Cinta pernah bermekaran warna warni. Lewat kata dipertemukan, tanpa kata dipisahkan.

   Puan, kembalilah ke sini untuk berbincang. Tentang segala hal. Keseharianmu, tentang masa lalu atau apa pun yang ingin kau bicarakan denganku.

   Kita berdua sudah terlalu lama menutup diri. Menutup segala kemungkinan, baik dan buruknya kebersamaan. Padahal, bayangan tahu betul perkara apa yang dirindukan.

   Di pagi nanti, kita pasti akan kembali terbangun. Dengan, atau tanpa perasaan ini bersamaan. Oh iya, Puan. Maaf selama ini aku sering kali memanggilmu, Puisi.



Foto
Sumber Gambar; Google+



Bandung Barat, 02/10/2018

Saturday 27 October 2018

Puisi; Dibatas sesal

Di Sinilah Luka Berpesta, Taman Kata-Kata

 

Gemericik gerimis yang jatuh
terdengar seperti suara rebana ditabuh
oleh para peri, di atas selembar daun
hari ini, di taman kata-kata
akan terjadi pesta
antara diksi dan rasa; kata-kata
yang tumpah dari air mata seorang pujangga
yang patah hatinya karena wanita

Serangga malam, embus angin dan bintang-bintang
berkumpul, bernyanyi penuh keceriaan
para bidadari berjubah langit
sedang mandi di danau, bersiap menghadiri undangan

Pena mulai diangkat
riuh air mata semakin menghangat
parade luka mulai berjajar
menarik perhatian mata-mata yang gusar

Hujan semakin deras
di bawah rintiknya
seorang pujangga tengah menangis
menuliskan luka yang asik berpesta


Bandung Barat, 2017


Foto
Sumber Gambar; Google+


Jika Cinta Hanya Sebatas Kata


Angan; sebuah pangharapan yang mendasari perjalanan
kita pernah memeluknya hangat
di mimpiku, dalam pikiranmu
meski semua harus berakhir pilu

'Kita ini apa?' tanyamu

Aku menginginkan pengikat
kau tak ingin terjerat
kita lalu membiarkan kata-kata membisu
sama-sama menjauh

'Aku ingin pertemuan,' katamu di suatu waktu

Tapi yang kita rajut perpisahan
dan kita, kini
terlalu asik memintal kesunyian

Bandung Barat, 2018 

Tuesday 23 October 2018

Dwigrafik; Rahasia Semesta



Ini Pagi ke Berapa?


Seorang pemuda tersesat di sebuah hutan. Seberapa keras dia berusaha keluar, hasilnya tetap sama. Dia tak bisa kembali. Pepohonan yang rimbun dan semak-semak yang menutupi pandangan. Sumber air sulit dan makanan di dalam tasnya semakin sedikit. Situasi yang sulit untuk di laluinya sendiri.

Setiap beberapa kilo meter dia berjalan, dicarinya sumber penghidupan. Buah, pucuk pohon atau apa saja yang dia anggap tak beracun. Tertidur di bawah bivak seadanya, ditemani api unggun kecil sekadar untuk tetap menghangatkan diri.  Hingga di suatu titik. Di dalam hati kecil dia bertanya ‘ini pagi ke berapa?’. Padahal, di tempat itu waktu tidak berfungsi sama sekali.



 



Gadis Kesepian


Dia kesepian. Menggores tanah berdebu dengan ranting-ranting pohon yang patah. Sedangkan di sebelahnya, banyak sekali manusia yang hilir mudik ke sana ke mari. Tertawa, berbincang, atau sesekali menghela napas dengan berat. Bangku taman ini selalu menjadi tempat favorit si gadis, tak peduli pada apapun.

Dia semakin merasa kesepian, setelah sekian lama tak ada yang mengajaknya bicara. Gadis itu kini berpikir untuk mencari teman. Tak peduli jika dia harus membunuh satu atau dua barang kali. Baginya, kematian tak terlalu buruk, asal tak kesepian.


Pada Akhirnya, Kata-kata Akan Kembali pada Pemiliknya


Seorang pemuda menyumpahi takdirnya. Menganjingkan dirinya sendiri, menganjingkan kelemahannya sendiri, menganjingkan lingkungannya sendiri. Hingga pagi ini, dia ditemukan mati mengenaskan. Di tubuhnya, tak ada sedikit pun tulang yang melekat.

 Mungkin saja, anjing-anjing yang selama ini dilepaskan dari mulutnya, menerkamnya tadi malam.

Agustus, 2018

Monday 22 October 2018

Prosais; Maaf untuk 2 tahun Mengenangmu

 

 Maaf untuk 2 tahun Mengenangmu


    Aku selalu terpikat untuk merindukanmu, Nona. Entah sudah berapa lama aku terjerat pada parasmu. Aku merasa nyaman dipeluk malam, karena dalam kesepian, doa yang tercurah untukmu terasa lebih dalam.

    Kujilati waktu-waktu penantian. Menunggu jawaban yang datang untuk menguatkan. Membuat kita saling menggenggam satu sama lain, membuat kita memiliki ikatan batin.

    Kita ditakdirkan berbeda. Kamu kerap berpikir mudah, menitik beratkan bahwa pasti ada celah untuk setiap masalah. Lain halnya denganku yang sering menjadikannya beban, tak akan berhenti sebelum semua terselesaikan.

    Kita percaya, Tuhan tak kebetulan mempertemukan kita di sebuah jalan, melainkan ada satu alasan, mungkin untuk mengkaitkan, atau upaya penyatuan. Siapa tahu.

    Dulu sekali, Nona. Kupikir indahnya cinta hanyalah bualan para Pujangga. Namun, setelah mengenalmu aku mengerti. Cinta adalah pondasi yang membuat langit tetap berdiri.

    Satu pertanyaan yang ingin kubagi, seberapa kuat kita saling meyakini?

2016 


rittiner&gomez auf Instagram: „#zeichnung #skizze #sketch #doodle #sketchbook #drawing #blackandwhite #sketchzone #sketchaday #urbansketchers #USK #uskswitzerland #niesen…“
Sumber gambar Google+


    Meski pada kenyataanya, aku terlalu bodoh untuk terus menggenggam jari lentikmu. Maaf pernah mengganggumu dengan banyak masalah, yang seharusnya tak kau pikirkan. Maaf telah menjadi aktor jahat yang membuat masakanmu gosong waktu itu. Maaf untuk segala hal yang telah kau korbankan, menjadi sia-sia.

   Maaf, hingga saat ini, aku masih mencintaimu dengan sebegitu dalam. Padahal, kita tak pernah menginginkan dendam. Maaf untuk segalanya. Maaf untuk segalanya.

    Maaf untuk belum bisa melupakanmu. Semoga nanti aku terbiasa.
    Aku tengah berusaha, Puisi.  Aku tengah berusaha.


 Bandung Barat 22/10/2018

Wednesday 17 October 2018

Cerpen; Lelaki yang Menghitung Luka-lukanya di Balik Meja



Lelaki yang menghitung luka-lukanya di balik meja



Di bawah meja, lelaki itu kerap menghitung luka-lukanya. Tak pernah ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang peduli. Lelaki itu terlalu pendiam untuk bercerita pada seseorang, atau dia tak ingin membagi kesedihannya pada siapa pun.

“Bisakah kita mengulangnya dari awal, Kak? Kamu bukan lelaki pendendam, kan?”

“Pernah gak, kamu ingin melupakan seseorang tapi gagal. Ingin membumi hanguskan kenangan, tapi pikiranmu gagal melakukannya. Ingin pergi, tapi malah tinggal. Jawabannya kurang lebih sama seperti itu.”

“Masa bodo! Aku gak peduli.” Gadis bermata coklat itu malah pergi sambil menggerutu. Sial bagi si lelaki. Gadisnya memang type yang tak pernah ingin peduli.

Lelaki malang itu kembali menghitung luka. Lukanya yang lain, luka yang didapatkannya dari masa lalu. Masa di mana waktu adalah lautan yang setiap saat bisa dijelajahi.

“Jadi ini artinya selamat tidur, mimpi indah? Selamat untuk kalian berdua. Sya, anggap ini terakhir kita berbincang. Semoga bersamanya kamu bisa bahagia. Selamat tinggal!”

“Tunggu, Raf! Aku mohon!” Sya berlari mengejar lelaki malang kita, dan  berhasil menghentikan langkahnya.

“Aku sama dia cuman ...,”

“Temen, yang jalan berduaan malam-malam. Fine Sya. Fine!” dipotongnya kalimat yang belum selesai. Sya, gadis yang dikenal lelaki malang kita saat SMA itu menangis bersimpuh di kaki Raf. 

“Aku tahu aku salah, tapi please ada penjelasan yang perlu kamu denger.”

            “Udahlah, kalian emang serasi. Yang satu cantik, yang satu gagah plus ganteng pula. Jangan pikirin perasaan, Raf. Sebelumnya juga emang gitu, kan? Bro, sini Lu! Jagain Sya baik-baik. Cewe ini milik Lu sekarang.”

“Gue bisa jelasin semuanya, Men. Ini cuman salah paham.”

            “Basi!”

Kali ini tak ada yang bisa menghentikan Raf. Lelaki malang itu kini kembali tersadar, bahwa dia sedang berada di bawah meja. Mengingat lagi lukanya. Mengingat lagi setiap kepahitan yang pernah dia jalani karena cinta.

Lelaki yang malang, yang menghitung luka-lukanya di bawah meja. Berharap tak ada seorang pun yang mendengarnya. Berharap orang lain tak pernah mengetahuinya. Namun, di lain waktu. Dia akan kembali berjongkok di bawah meja, sambil menghitung luka-lukanya.

rittiner&gomez auf Instagram: „#skizze #sketch #doodle #sketchbook #drawing #blackandwhite #sketchzone #sketchaday #urbansketchers #USK #uskswitzerland #niesen #lakethun…“
Google+


Bandung Barat, 12/10/2018
Sumber gambar; google+

Saturday 6 October 2018

Puisi; Hidup Merdeka

Hidup Merdeka


Kita dipaksa tutup mata
melihat pesawahan tinggal sejengkal
petani-petani mati
disuruh makan batu, juga besi

Merdeka. Katamu!
seorang bayi mencari ibunya di tempat sampah
menangis ia kehausan
kasih sayang


Merdeka, katamu?
cerobong asap pabrik. Merdeka!
pembakaran hutan. Merdeka!
dan seorang teman yang menunggu bantuan
di antara puing-puing bangunannya sendiri
atau seorang pengangguran
yang berniat bunuh diri
lihat tenggorokannya! Telah diikat caci maki

Merdeka lagi, katamu?
perempuan telanjang
mencari matamu untuk dikoleksi
atau seekor politikus licin
di dalam kubangan yang digalinya sendiri

Merdeka? Katamu!
mereka terkubur dalam harapan
kau tenggelam dalam emas


Hasil gambar untuk gambar sedih bencana 


Bandung Barat, 01/10/2018
Note; *sumber gambar di sini