Tuesday 25 July 2017

Cerpen; Hari Yang Seharusnya Lebih Bahagia

 Hari Yang Seharusnya Lebih Bahagia


   "Seminggu lagi, kita akan melangsungkan pernikahan," aku menggenggam jari kekasihku erat, merasakan detak nadinya. Menikmati hangatnya kebersamaan yang akan bermuara pada samudra pernikahan. "Bagaimana perasaanmu, Clara?"

    Genggaman tangannya semakin erat mencengkramku, seolah tak ingin ada jarak yang akan memisah. Matanya yang bening seperti kelereng itu terpejam sejenak, lalu bergantian menatap wajahku dan senja bergantian. Kudengar lagi gulungan ombak bergemuruh menghempas pantai, teriakan bocah-bocah kecil bermain bola, dan suara lembut Clara memasuki telingaku. "Mungkin, perasaanku kali ini seperti perasaan mentari menunggu senja, meski tahu  waktunya akan tiba, debar itu kerap menghentak dalam dada."

    Mata kami saling menatap lekat, tersenyum, lalu menghabiskan senja di pantai ini dengan sebutir kelapa hijau berdua.


****

    Lelaki di depanku menangis saat menceritakan kisah itu pada tamu undangan. Ini hari pernikahannya, hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan baru yang dijalani bersama. Namun, Tuhan ternyata punya naskah lain yang harus dilewati. Clara, kekasihnya, telah meninggal karena serangan jantung beberapa menit yang lalu. Aku tak tahu, apakah Pras akan terus melanjutkan pernikahan ini, meski dengan mayat Clara? Juga, seberapa dalam perasaan tercabik keluarga mempelai wanita dan pria? Entahlah, yang aku rasakan sebagai tamu undangan, hanyalah, seharusnya hari ini, menjadi hari yang lebih bahagia.

Bandung Barat, 2017
Ardian Handoko

Monday 10 July 2017

Cerpen; Pulang

Pulang

    Aku mengemas sisa-sisa rindu yang masih berserakan, memasukannya ke dalam plastik bening, lalu menyimpannya ke dalam hati. Aku harus segera menggugurkan tangis karena jarak di wajahmu. Karena harus kuakui, bahwa rindu ini bertambah berat setiap detiknya.

    Selembar tiket di tangan, hendak merealisasikan sebuah perjumpaan. Beberapa memori tentangmu kini hadir kembali, bermain-main dalam hayalanku. Mengumandangkan kesedihan tentang perpisahan waktu itu. Pahit memang, tapi apa daya. Sejuta mimpi meminta harganya untuk ditebus menjadi nyata.

    "Berjanjilah kau akan kembali, Mas! Jangan biarkan tubuh ini berlumut karena menunggumu!"

    Aku mengecup keningnya, membelai hijabnya, menarik nafas dalam-dalam, meneguhkan hati untuk berjanji, "Aku pasti kembali. Meski rintangan pasti hendak mengelabui."

    Kita berdua lalu berpelukan di antara daun-daun rambutan berwarna kecoklatan yang gugur diterpa angin. Senja kala itu hanya merona merah, seperti cemburu pada kita berdua yang tenggelam dalam sebuah rasa yang dinamakan, cinta.

    Kereta hendak berangkat ketika aku tersadar dari lamunan. Menatap kaca sebelah kiri, mengamati wajah-wajah manusia yang hendak pulang ke kampung halaman untuk menemui ayah, ibu, istri atau kekasih yang mereka tinggalkan demi sebuah mimpi, juga masa depan yang diharapkan. Tentu saja wajah mereka terlihat bahagia. Sebentar lagi, pertemuan yang lama tergadaikan akan dibayar.

    Suara peluit petugas menggiring kereta untuk melaju. Orang-orang sudah mulai duduk. Perlahan stasiun kereta mulai menghilang berganti hamparan pesawahan yang begitu hijau.

    "Tak akan pernah ada yang lain di hatiku, Mas. Karena dari pelukmu dapat kupanen rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Percayalah, aku akan setia."

    "Aku selalu percaya padamu, Dik."

    Yah, itu adalah janji setia yang pernah terucap dari bibirmu yang manis. Dan janji adalah hutang yang mesti dibayar, sekali pun dengan bayaran waktu yang tak ber-ujung, hingga kematian menjemput di ujung jalan.


***

    Kereta melaju bagai angin yang berhembus, melewati cepat pemukiman-pemukiman yang terlihat berlari meninggalkan pandanganku. Rasa rindu ini  menjadi semakin menyesakan dada, karena disetiap persimpangannya terus  bertambah.

    'Meski tubuh kita jauh, aku tak pernah merasa sepi, Dik. Bagaimana mungkin rasa yang terkutuk itu memelukku, sedangkan wajahmu terus saja mengitariku. Tiada pernah rasa ini menyekapku dalam ruang hampa, karena indahnya cintamu terus menerangi sepanjang jalan hidupku. Dik ... bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu, sedangkan janji setia tengah kugenggam begitu erat.' Aku bergumam sebelum benar-benar terlelap.


***

    Tak terasa, aku sudah sampai di kota ini. Kota kelahiran yang telah menyatukan kita dalam sebuah ikatan. Segera aku turun, sambil membawa tas, beserta beberapa kardus sebagai oleh-oleh dari kota.

    Aku berjalan perlahan, sambil memperhatikan manusia-manusia yang lalu lalang di hadapanku. Mencari sesosok wanita berhijab yang senyumnya dapat melelehkan tumpukan es di dadaku. Yang tutur katanya seperti embun, menyejukan kegersangan di sudut jiwa.

    "Nak, di sini!" Kudengar suara ibu di antara berisiknya manusia-manusia di sekitarku yang berdengung seperti lebah. Aku berlari, bersimpuh di kakinya sambil menangis.

    "Sudahlah, Nak. Kuatkan hatimu," gumam Beliau di telingaku. Aku mengangguk lemah dengan pasrah. Kekasihku tak terlihat menungguku, dia telah meninggal beberapa hari yang lalu, setelah aku mengiriminya pembunuh berdarah dingin karena memilih untuk menikah dengan lelaki selain aku.

Ardian Handoko
Bandung Barat, 2017

Cerpen; Surat Untuk Seseorang yang Kupanggil Puisi

Surat Untuk Seseorang yang Kupanggil Puisi

   Dik,  masih kuingat bagaimana pertama kali menemukanmu. Yah, event pembacaan puisi itu yang telah menjadi garis takdir yang menjadi pembuka pada lembaran kisah yang ingin kutulis denganmu, hingga selesai. Event sederhana memang, tapi begitu membekas di jiwaku.

***

" ... daun-daun kering itu pernah bertahan sekuatnya
Menanti si embun pagi; kekasihnya
Matahari, bintang dan rembulan yang menjadi saksinya
Aku ingin setabah itu menunggumu
Hingga pertemuan menggugurkan rindu-rindu di atas dada
Atau Tuhan yang menghapus semua dahaga, juga luka
Dengan kematian tanpa air mata."

    Suaranya lantang mengguncang emosi, menggetarkan relung-relung di dalam jiwa. Pemilik suara itu adalah gadis berkerudung ungu, manis sekali senyumnya, diiringi tepuk tangan yang bergumuruh, dia turun dari atas panggung.


***

    Pembacaan yang sangat indah, di mulai saat itu, aku selalu memanggilmu 'Puisi' -- maaf jika aku mengambil sebutan untukmu secara sepihak-- dan mulai sejak itu, aku mencari tahu semua kesukaanmu, semua tentangmu.


***

    "Namanya Niffa, Di. Gadis dengan ciri khas diksi penuh filosopi, dia udah lama ngikut perkembangan sastra."

    "Boleh minta kontaknya, Bro?"

    Dia mengangguk, lalu menyebutkan beberapa angka.


***

    Pertemuan pun tercipta. Dari dekat kuperhatikan bentuk wajahmu, matamu seperti sebuah kunang-kunang yang bersinar, senyummu adalah sebait puisi yang ranum.

    "Ardi ...."

   "Niffa."

   Kita pun berjabatan, dengan lengan sama-sama bergetar. Kita juga sama-sama diam, sambil sesekali mencuri pandang. Betapa bodohnya aku saat itu, dan apa mungkin wajahku sangat merah seperti wajahmu saat itu?

   Dan semenjak pertemuan itu, aku kerap menulis tentang kesukaanmu, tentang tawamu, tentang senyummu, tentang gaya bicaramu, tentang diksimu, tentang puisi-puisi yang kerap kau bicarakan, tentang cerpen-cerpen keren yang mengusik nurani, tentang harimu, tentang kerjaanmu, tentang orang tuamu, hingga akhirnya tentang kita.

    Pada senja hari, aku memberanikan diri menulis semua cerita ini kepadamu. Hanya ingin menyampaikan sesuatu pada intinya, maukah kamu mendampingiku dipelaminan, lalu berusaha sebisa mungkin mempertahankan ikatan tentang rasa ini?


***

   Kubaca lagi surat itu, esok, akan kuberikan pada Sang Puisi yang telah menemani perjalanan pernikahanku yang telah berjalan selama 3 tahun.

 Ardian Handoko 
Bandung Barat, 2017

Cerpen; Kunang-kunang yang menjadi tanda hilangnya seseorang

Kunang-kunang yang menjadi tanda hilangnya seseorang


   'Tunggu sebentar lagi ya, Kak.'

    Kubaca lagi pesan itu. Entah sudah berapa menit aku menunggunya di taman ini sendirian, hanya ditemani  dengkuran burung hantu, serta iringan suara sayup-sayup angin, aku menanti Kai, kenalanku.

    Cahaya remang-remang dari lampu jalan raya, serta sedikit kendaraan yang berlalu-lalang menjadikan tempat ini favorit bagi pasangan muda-mudi memadu kasih. Tapi entah kenapa,  suasana malam ini terasa begitu sepi, seperti pertanda buruk bahwa akan ada orang yang hilang. Heningnya begitu menggerogoti hati. Kelamnya malam seperti isyarat kesedihan yang dijelmakan langit pada manusia.

    "Kau tahu, Bro? Indah mantan pacarmu di SMA hilang tadi malam."

    "Hilang? Jangan bercanda kau, Rik! Dani, Septi, Angga juga sudah beberapa hari ini tak terlihat. Apa ada satu petunjuk yang menunjukan kehilangan mereka? Misalnya, jam berapa terakhir kali Indah terlihat, atau dengan siapa dia pergi?"

    "Menurut desas-desus yang beredar, terakhir kali Indah terlihat saat Angga mengajaknya makan malam. Tapi tadi kau bilang Angga juga menghilang, jadi tak ada kesimpulan."

    Dan hari itu pula terakhir kali aku melihat Erik di taman ini. Aku merinding sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi pada mereka.

    Kini tampak malam semakin pekat, kuminum kopi yang kubawa sendiri -- para pedagang selalu pulang sehabis magrib sekarang, desas-desus itu membuat mereka menjadi sangat panik --  kuputar lagu payung teduh agar tak terlalu jenuh saat menunggu Kai di sini.

    "Sudah lama menunggunya, Kak?"

    Deg!! Aku yang setengah melamun memberanikan diri melirik ke arah pemilik suara lembut yang memasuki gendang telinga.

    "Lumayan, sini duduk," aku bergeser, memberi sedikit tempat untuk gadis itu duduk. Tercium aroma lembut parfum memasuki indra penciumanku.

    "Sory yah, Kak. Biasa Nyokap sewot kalo keluar malem." Dia tersenyum, manis sekali. Terbuai aku yang melihatnya, senyum yang terlihat begitu tulus. Aku yakin, siapa pun lelaki yang melihat senyumnya itu, pasti akan sama terbuainya seperti aku. Jika ada yang tak setuju, mungkin lelaki itu telah gila.

    "Santai saja ... hmmm, langsung ke intinya ya, Kai. Ada apa?"

    "Jadi gini loh Kak," gadis itu terlihat sedikit gugup, tiba-tiba dia memegang lengan kananku, "kita udah lama jalan bareng, makan bareng. Tapi hubungan kita sampai saat ini masih tanpa status. Apa mungkin Kakak mmm ... gak mencintai aku?"

    Pertanyaan itu terlalu terburu-buru. Lagi pula aku masih tak dapat melupakan mantanku. Sedangkan jika aku mengucapkan hal sebenarnya, aku takut dia berpikir bahwa aku hanya mempermainkannya.

    Saat aku tengah berpikir -- atau lebih tepatnya melamun -- muncul kunang-kunang begitu banyak, entah berasal dari mana. Cahaya kuning kehijauannya begitu mempesona netraku. Meski dengan munculnya mahluk bercahaya itu membuatku semakin merasa tak tenang.

    "Kai, mereka (kunang-kunang) cantik ya?" Aku berusaha mengganti topik pembicaraan. Semoga saja mampu membuatnya melupakan pertanyaan tadi.

    Tak menjawab, gadis itu malah menyandarkan kepalanya ke pundakku. Embus nafasnya begitu terasa di tengkukku.

    Rembulan mulai merangkak untuk menyebarkan cahayanya yang sedari tadi tertutupi awan-awan kelam. Cahayanya menerangi sepasang manusia yang tengah termenung di bangku taman. Cahaya kunang-kunang mengitari kami seperti berbisik 'Pulanglah! Malam ini akan ada lagi manusia yang hilang.'

    Perlahan wajah Kai mendekati wajahku, mataku pun kini mulai menutup. Dan, suara dengkuran burung hantu kembali melatar belakangi tempat ini.


***

    Aku terkapar, berusaha sekuat mungkin membuka mata. Kepalaku rasanya berat sekali. Aku berjalan tertatih kembali ke bangku taman, mengelap cairan amis di bibir, lalu berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi.

    'Aku memang gila, tak membalas cinta Kai, gadis yang begitu cantik serta baik hati. Tapi inilah kenyataan, aku masih mencintai calon istriku yang telah meninggalkan dunia, dan gadis itu adalah korban kesepuluh. Persembahan agar kekasihku dapat hidup kembali.'

Bandung Barat, 2017