Saturday 10 September 2016

Cerpen; Antara Laut Dan Gunung.

 Antara Laut Dan Gunung.



         Namanya Dini, wanita berkulit sawo matang dengan tampilan sederhana. Seorang aktifis lingkungan yang begitu mencintai laut. Keprihatinannya berawal dari keluhan nelayan yang penghasilannya berkurang. Dia lantang meneriakan tentang harusnya menjaga ekosistem laut, baik itu terumbu karang, atau biota yang ada di dalamnya. Dan itu membuatnya begitu menarik di mata Arfa.

      Mereka saling kenal dari sebuah lembaga yang menyelenggarakan kampanye tentang pentingnya menjaga alam. Arfa sama seperti Dini, namun dia pecinta gunung, dan menjadi anggota sebuah komunitas yang menamakan diri Komunitas Ngariung Di Gunung (KNG).

***

         "Minggu ada acara penanaman bibit di sebuah hutan, mau ikut?" Arfa bertanya pada Dini.

         "Oke, kayanya aku free Bro,"-sibuk memainkan handphone-"eh bentar, yang ditanam apaan nih?" Dini memasang muka polos.

         "Yang jelas bukan narkoba atau bibit korupsi, wee." Arfa menjulurkan lidah seperti anak usia lima tahun.

          "Yee malah ngeledek," Dini mencubit lengan Arfa.

          "Biarin ... anggota Komunitas Peduli Laut bisa pada ikut?"

       "Bentar, aku tanyain"-mengirim pesan-"anak-anak KNG gimana?" ucapnya sambil meminum air kemasan botol.

            "Sekitar dua puluh yang pasti ikut. Sisanya masih lihat jadwal," balas Arfa.

          Terdengar suara pesan masuk. "Ar, kayanya aku gak bakal ikut. Aku lupa punya janji sama anak-anak KPL buat nanam mangrove di pinggir pantai, sambil bersihin sampah. Sori ya ..." nada suaranya kecewa.

             "Yah, kok ngedadak?" Arfa memasang wajah lesu.

            "Rencananya udah lama, tapi baru bisa terlaksana minggu ini. Sori banget Ar ...."

Mereka saling diam, bergulat dengan pikirannya masing-masing.

            "Nanti kalo ada apa-apa aku kabarin deh, sekarang anak-anak lagi otw ke rumah buat ngobrolin rencana ini," Dini berdiri, bersiap untuk pulang.

           "Oke deh, tapi aku tanggung masih ngerjain projek ini. Gak apa-apa kan pulang sendiri?"

           "Nyantai aja kali Ar, duluan ya."

            "Siip Din!"

****

           "Din lo mau ikut anak-anak KPL atau ikut Arfa nanam pohon?" tanya Sinta ketus.

           "Kok kamu tahu, Sin?" muka Dini bingung.

            "Arfa tadi broadcast tulisannya. Jadi pilih mana?"

            "Gak tahu, masih bingung." Dini berkata jujur. Ditekuk wajahnya, menatap lantai ubin yang dingin.

          "Ikut Arfa aja, meskipun ini ide Lo, tapi anggota KPL tahu kok, Lo suka sama Arfa. Jadi Lo harus perjuangin perasaan Lo sama dia!" Rani ikut nimbrung.

             "Gak bisa gitu dong! Kita udah rencanain ini berbulan-bulan, masa salah satu anggota kita gak bisa hadir cuman gegara cowok. Gue gak setuju!" Sinta mengungkapkannya dengan emosi.

           "Sin, Lo ko gitu sih. Dini selalu ngikutin kegiatan komunitas kita. Sekali-kali boleh dong dia absen. Sekedar nyari waktu buat lebih deket sama Arfa!" Rani membalas tak kalah emosi.

             "Udahlah kawan, aku ikut kalian tapi pliss ... jangan sampe masalah ini memecah kebersamaan kita!" Dini yang dari tadi melamun mengeluarkan pendapatnya.

             Mereka semua kini diam. Dini lalu mengabarkan pada Arfa bahwa dia tak bisa ikut.

***
            "Kenapa lo manyun gitu, Ar?" Roy datang-datang menegur Arfa.

             "Kagak, ini gue lagi mikirin acara komunitas kita," Arfa berbohong.

            "Si Arfa lagi bingung mikirin cewenya. Liat aja mukanya, gak biasanya dia ngelamun. Apa lagi semua persiapan udah oke." Dani yang sedari tadi duduk ikut berbicara.

             "Lo udah lama Dan? Kok gua kagak tahu. Parah lu ngagetin gua aja!"

              "Dari tadi gua di sini. Lo malah asik ngelamun, ya diem aja gua"

             "Parah lu Dan!" Arfa ngedumel.

         "Oh, gara-gara itu. Tadi gua baca kegiatan apa yang mau anak KPL lakuin," Roy menambahkan.

              "Gua niatin ini biar bisa seharian sama Dini. Eh malah gini jadinya," ucap Arfa dalam hati.
***
              Hari sabtu pun datang begitu cepat, Arfa dan Dini pergi ke tempat berbeda, Arfa camping di hutan, sedangkan Dini di tepi pantai.

             "Loh ko merah, bukannya waktu itu fix warna ijo?"

             "Diganti Ar, makanya jangan ngelamun mulu kalo ngumpul!" ucap Dani.

***
            Hari minggu pagi udara terasa begitu bersahabat, sunrice begitu indah, namun tidak dengan hati Arfa.

             "Itu yang pake baju putih komunitas apa? Ko Gue gak tahu mereka ikutan juga!" Arfa bingung.

              "Kenalan aja sendiri, sekalian Lo nyari cewe baru, haha" ucap Roy bercanda.

              "Ah Lo Roy!"

             Terdengar suara memanggil nama Arfa dari belakang, setelah menoleh ternyata itu Dini, dia memakai kaos putih yang sangat serasi dengan wajahnya.

             "Lah ko bisa? Urusan sama anak-anak KPL gimana?" Arfa makin bingung.

             "Aku juga gak ngerti." Dini menatap Sinta dan anggota Kpl lainnya.

           "Bukan salah Gue, tanya tuh Sinta sama Roy, mereka yang bikin rencana ini buat kalian!" Rini menutup mulutnya, dia keceplosan.

             "Jadi?" ucap Dini dan Arfa hampir berbarengan.

***
             Kedua komunitas pencinta alam itu saling bahu membahu untuk menyelamatkan tanah Ibu pertiwi. Pagi menanam pohon di hutan dan sore mangrove di pantai. Dini dan Arfa begitu bahagia bisa menghabiskan waktu seharian bersama.

 Bandung Barat  2016

Puisi; Rintihan Rindu Sang Pemuja

 Rintihan Rindu Sang Pemuja


Bergolak dalam sajak-sajak berjarak
Tertulis bijak di atas hati yang retak
Merangkak, teriak, menghentak
Bergerak, berarak-arak 
Mencari jejak
Ingin kugapai mentari
Tuk sinari mimpi-mimpi
Namun diri terhenti 
Sadari mustahil terjadi 
Lagi, kembali, menepi 
Mentari tak peduli

Cinta ini tak mungkin terbalas
Peduli diksi pada norma batas
Jelas-jelas rindu meranggas
Bergegas, menggagas kertas
Tapi mentari tetap tegas 
Jauhi diri yang beringas, buas

Kubiarkan mentari menjauh
Meski hati merapuh 
Terjatuh, melepuh, rubuh
Tapi mentari tetap angkuh.
Bandung barat, 10/09/2016

Wednesday 7 September 2016

Prosais; MENUNGGU

                                        MENUNGGU


     Aku setia menunggumu di sini, terbungkus aroma senja yang kadang membuat lelehan rasa menetes di pipi. Aku tahu, kau sedang berjuang di sana, demi kehidupan kita di masa depan.

       Terkadang, batinku mengemis, memintamu kembali, karena tak ada bahu sekuat bahumu sayang. Aku yang lemah dan hampir rubuh ini, mencoba menguatkan hati, walau harus ku akui. Kerapuhan masih saja tak bisa ku atasi.

       Kita pernah berjanji untuk saling memberi kepercayaan. Sayang, aku takut kepercayaan itu pecah, karena aku menggenggamnya terlalu kuat. Aku tak punya pegangan selain Tuhan dan kepercayaan. Meski do'aku slalu sertai kamu dimana pun berada.

       Semoga kamu mengerti tentang keadaan yang menyiksa, karena aku tak ingin terus meratap seperti ini. Sayang, jika kamu sempat. Hubungi aku secepatnya, agar rasa was-was ini tertutupi suaramu, seperti aspirin yang mengobati kepala yang pening.

       Berjanjilah, kamu akan menjaga dirimu dengan baik di sana. Berjanjilah sayang! Jangan lupakan Tuhan, orang tuamu dan aku yang begitu mencintaimu.

Salam rindu dari seorang wanita yang slalu menyebut namamu di kegelapan.

Bamdumg Barat, 07092016

Puisi; Orang Ketiga.

Orang Ketiga


Gemuruhnya rasa yang tak tertahan
Sadari mentari tak sepenuhnya milikku
Padahal cinta dan sukma kupasrahkan seutuhnya
Untuk kau! Pacar sahabatku.

Ku akui, cinta ini salah
Meski tersiksa, terjebak cinta dan rahasia
Gejolah amarah sering kali meletup
Racun cemburu mengalir memacu kesakitan
Saat lensa melihat kau dan dia bergandengan
Tapi aku bisa apa?
Cinta ini tetap saja bertahan dihatiku
Meski monster egois terus saja meminta sepenuhnya dirimu.

Terkurung dalam jeruji kesedihan
Kadang dilema atas yang kurasakan
Merenung kala malam temani bintang
Tuhan, apa cinta itu harus kesakitan?


#Ar_rha
~
Bandung Barat, 03/09/2016

Cerpen; Jangan Bilang Aku Jahat.

      Jangan Bilang Aku Jahat

         Salju pun turun
         rasa-rasa membeku
         cinta tak kembali 
****                                            


            "Assalamu'alaikum"

            "Wa'alaikumsalam"

            Lalu terdengar suara pintu terbuka "Kemana aja baru nongol, udah lama kita gak ketemu"

           "Biasa sibuk kerja sob, di rumah siapa aja sepi amat?"

           "Ada ibu di belakang, teh, kopi, susu?"

           "Apa aja asal gak ngerepotin"

          "Bentar, aku ke dapur bentar"

          Lalu datang seorang perempuan paruh baya, dia menyapaku.
          "Eh ada nak Ardian, kemana aja? Gimana kabarnya?"

          "Baik Bu, saya sibuk kerja, buat masa depan"

          "Alhamdulilah kalo gitu, bentar ya Nak, ibu beresin kerjaan dulu di belakang, tanggung!"

          "Silahkan Bu"

            Beberapa menit kemudian.
           "Nih kopinya, gimana keadaanmu Bro?"

          "Alhamdulilah aku baik, gimana sebaliknya kamu sama keluarga?"

          "Alhamdulilah juga pada baik"

******

          Teringat saat pertama kali menginjakan kaki di rumah ini, saat itu hidupku masih kacau balau, urakan, bicara gak dijaga, bisa disebut jaman jahiliyah, tapi sahabat perempuanku ini tak pernah sewot pada semua kekurangan itu, malah dia bimbing aku menuju kebaikan, ajarkan apa arti kedewasaan. Ya dia adalah setitik harap diantara hitamnya hari, dayung kehidupanku menjadi pribadi lebih baik, sabar menuntunku tanpa mengeluh.

          Namun saat kedua orang tuanya tau dia dekat denganku, mereka menjauhkan dia dari ku, bahkan sempat aku dengar dia dikekang, ditampar, padahal saat itu entah pada siapa lagi aku meminta petunjuk tuk jadi pribadi yang lebih berguna di masa depan.

          "Apa yang kamu harapkan dari dia? Liat semua tingkahnya, masa depannya gak jelas, kenapa milih dia?"

           "Dia baik kok Bu, cuman butuh diarahkan, aku kenal dia, dan yakin suatu saat dia bakalan sukses!"
Plakk.

          "Udah jangan bantah, mulai saat ini jangan deket dia lagi! Ibu gak mau denger alasan apa pun, biarkan dia menjauh Nak, tak akan pernah cocok antara dia dan keluarga kita!"

          Mendengar cerita dari teman tentang percakapan itu, rasanya hancur hati ini, remuk semua asa, mimpi-mimpi yang pernah kita bangun hancur jadi debu dan terbang ditiup angin oleh keluargamu. Padahal saat itu, kita baru berjanji untuk saling menyayangi.

          Mulanya ingin ku lanjutkan semua mimpi yang pernah kita bahas dan jadi topik paling seru diantara yang lainnya, namun aku tak sampai hati mendengarmu selalu disiksa, disakiti hingga separah itu oleh keluargamu, sob ... maaf aku harus menjauh dan merubah haluan, meski aku tak tau, apa bisa melawati semuanya jika tanpamu.


*****

          "Heh ngelamun aja, diminum dulu kopinya, maaf gak ada apa-apa."

          "Hehe, makasih sob, aku minum kopinya ya."

           "Ya mangga, eh tadi ngobrol apa aja sama ibu? Kamu katanya rubah banget, gak kaya dulu, kayanya ibu jadi suka sama kamu Bro"

          "Gak ngobrol apa-apa, cuman nanya kabar doang."

           "Oh, oke deh."

           "Sob, hari minggu ini ada acara, gak?"

           "Gak ada emang kenapa? Kayanya serius banget."

           "Hari minggu ini aku jadi nikah. Jangan lupa dateng ya, di gedung samping kantor RW itu loh!"

          "Jadi kamu ke sini buat ngasih undangan?"--suaranya kini seperti tersekat sesuatu--"se ... selamat ya, Bro, aku ikut bahagia, semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah," senyum yang dibuat-buat itu lalu hadir.

          "Amiin, makasih Sob buat doanya, ditunggu jangan sampe gak dateng ya,"-aku mulai berdiri-"makasih juga kopinya, titip salam buat ibu sama yang lain, and maaf udah ganggu waktunya, aku mau ngasih undangan ke temen-temen yang lain. Assalamu'alaikum"

            "Wa'alaikumsalam"

            Setelah pintu ditutup, terdengar isak tangis yang begitu keras dari dalam rumahnya.


Bandung barat 2016 
 #Ar_rha

Prosais; Anugerah Semesta.

Anugerah Semesta


          Menatap ribuan bintang yang hadir di angkasa, membentuk sudut-sudut yang menggambarkan keelokan jagat raya. Cinta . . . keluarlah malam ini, dan tunjuk satu bintang paling terang di antara semuanya. Ambillah cahayanya, untuk menuntun hati dan jiwaku, padamu.

          Pohon-pohon pinus menari, ditemani alunan angin yang membawa dinginnya rindu. Kita pun berlindung dibalik api unggun yang pantang menyerah tuk hangatkan rasa dalam raga. Kini terdengar hewan-hewan malam merengek, cemburui kita yang duduk berdampingan. Lembut jarimu terasa di kulit pipi, membuat degup jantung memburu, sentuhan itu menyampaikan hati yang senang meski dirasuki sedikit kekhawatiran.

              Tangan kita saling menggenggam, kepalamu bersandar di bahu yang tak sekuat baja, tak senyaman tempat peristirahatan terindah; Syurga. Namun aku berusaha menjadi karang meski terkadang kalah oleh belalang; Rapuh.

             Dirimu tau, saat ini ada dua kenikmatan Tuhan yang begitu terasa dan tak mungkin kudustakan. Ketika melihat langit, kutemukan keindahan, kenyamanan, dan ketenangan. Saat menatap matamu, kudapatkan rasa sayang, balasan cinta serta kesempurnaan. Ini anugrah yang tak akan pernah kugadaikan meski 348 tawaran menggoda, meminta tuk merubah pendirianku.

Bandung, 07/09/2016

Cerpen; Anugrah Semesta.

Anugrah Semesta

                                         

           Ranting-ranting kering terbakar, mengeluarkan bau khas yang sedikit menyengat hidung. Rasi bintang begitu jelas terlihat di arah utara. Rembulan  menemani, mengintip di antara celah awan, tak  ingin mengganggu kemesraan yang datang di antara api yang menari, menghangatkan tubuh mereka.

         "Yank, kenapa sih malah milih aku yang jadi pasangan Ayank? Padahal banyak yang mau jadi pacar kamu, mulai dari guru sampai anak orang kaya." Arfa membuka percakapan malam itu dengan kekasihnya.

           "Perlu ya, A, Ayank jawab?" ucap Dini sambil tersenyum.


           "Aku pengen tau alasan Ayank!" suara Arfa sedikit bergetar, karena tak bisa mendapatkan jawaban yang pasti. Inilah karakter khas Dini yang membuatnya selalu penasaran, dan itu yang membuat dia begitu menarik (di mata Arfa).


          Dini hanya menyandarkan kepalanya pada Arfa, dan secara refleks, tangan kanan Arfa membelai kepala Dini yang berhijab, andai kalian tau, rasa nyaman menyelimuti segumpal daging di dada Arfa;Hati. Ketentraman yang dia rasa, tak akan terbeli meski kalian punya dua bukit emas, namun tak memiliki rasa;Cinta, pasangan dan momen yang tepat.


******

         "A, mau bikin mie gak? Enak loh dingin gini kalo makan yang berkuah, hangat. Lagian Ayang udah mulai lapar hehe," kata-kata itu menyadarkan Arfa dari ketentraman hati, "Dini sepertinya mendengar perutku berbunyi," bisik hati Arfa, mukanya menjadi merah;karena malu.


         "Iya Yank, bikin aja. Aa juga udah laper,"-- tangannya sibuk menambahkan kayu kering karena api mulai mengecil--"Ayank mau bikin susu jahe gak? Biar aku juga gak nongkrong doang di depan api unggun."


   Dini hanya melempar senyum, lalu masuk tenda. Terdengar suara kompor *portable yang dinyalakan, lalu suara mangkok beradu sendok mengikuti.

******
            Arfa hanya memandang api kehidupan yang menjauhkannya dari *hipotermia, sambil memanaskan air dengan panci kecil, "Din, aku suka petualangan, begitu pun kamu. Tapi tak pernah sedikit pun terbesit dipikiranku ingin membuat kamu masuk ke dalam berbagai rintangan yang datang karena kebodohanku. Hufft, sejujurnya aku tak memiki persiapan apa pun."


******
           Langkah kaki Dini terdengar keluar dari tenda, sambil membawa mangkok berisi mie yang panas, "Nih A!" ucap Dini sambil duduk di dekat Arfa, "A itu airnya udah mendidih, ngelamun wae (mulu) mikirin apa sih?"

            Arfa tak langsung menjawab, dia mengisi terlebih dahulu gelas yang berisi serbuk susu jahe dengan air panas.


           "Mikirin masa depan. Ngelamun kalo sendainya Aku nikah sama Ayank, rasanya gak tega aja kalo sampe Ayank kekurangan, padahal Ay bisa saja memilih orang lain yang lebih segalanya dari aku, dan gak mungkin kekurangan secara materi," Arfa menjawab pertanyaan itu perlahan.


            Dini menatap mata Arfa dalam-dalam, disimpannya mangkuk berisi mie, lalu memeluk sosok itu. Dini menangis dipelukan Arfa, dilepaskannya lalu berkata "Aa gak yakin sama Ayank?" suaranya parau, tertahan kegelisahan hatinya.


         "Bukan gak yakin, cuman gak mau Ayank terlilit masalah gara-gara kesalahan Aku yang serba kekurangan," Arfa menunduk melihat potongan ranting yang sebagian menyala untuk mengalihkan hatinya yang bingung.


             "A, kita bisa memulai semuanya dari awal. Kita bisa menggapai sukses bersama dengan cara saling membahu, suport, saling mendoakan, karena Ayank tahu ini proses menuju puncak. Seperti sekarang, kita bisa sampai diketinggian ini karena saling menjaga, memperhatikan dan menyayangi. Diperjalan tadi kita lewati tanah berlumpur, tanjakan terjal, licin, meski melelahkan, kita pasti bisa melewati semua dan nanti kita ceritakan pada anak cucu, bahwa perjalanan hidup orang tua mereka tak mudah. Namun semuanya terbayar dengan melihat pemandangan alam seperti ini." Dini menggenggam tangan Arfa, menguatkan pendiriannya.


           Arfa kehilangan kata-kata, sejujurnya dia ingin menangis; terharu, mendengar perkataan Dini, lalu dipeluknya wanita terbaik ke dua yang dia kenal; setelah Ibunya. Mengendurkan pelukannya lalu tersenyum, salah satu senyuman terbaik yang pernah dia tunjukan. "Makan dulu yu mienya, takut keburu dingin," dicobanya mengalihkan topik.


          Mereka pun menghabiskan mie yang rasanya lebih nikmat dari apapun, meminum susu jahe dan dilanjutkan menunjuk-nunjuk bintang, sambil bercerita. Suasana mengalun bagai melodi, nada-nada yang keluar seperti malaikat sedang memainkan gitar. Lalu mereka pergi tidur. Dini di dalam tenda, Arfa diluar, tubuh mereka terbungkus kantong tidur.


            Sebelum terpejam, Arfa mensyukuri anugrah yang diberikan Tuhan padanya, dua hal yang tak bisa dia dustai kenikmatannya;saat ini, bisa melihat jagat raya yang indah, dan memiliki kepingan hati yang begitu membuatnya nyaman. Jika diibaratkan, seperti itu pula perasaan penulis memiliki rusuk;belahan jiwa sepertimu, Cinta.


******

            Mentari merangkak, sinarnya membangunkan umat-umat Tuhan, meski banyak sebagian dari mereka malah mengabdi pada dunia. Begitu pun pada Arfa dan Dini, pagi ini dalam dada mereka ditumbuhi semangat yang membara. Ditemani *sunrise mereka mengikat janji kesetiaan.


Bandung Barat 07/09/16

Tuesday 6 September 2016

(Puisi) Untuknya . . .

Untuknya . . .



Berjuta bintang di tata surya
tak pernah melebihi tanyaku, tentangmu
tentang cinta yang hadir tanpa kumengerti
mengerti mengapa wajahmu begitu banyak dikepalaku.

Pancaran matamu
pecahkan bait cinta yang tertulis di memori
hadirkan rasa hingga berlomba
berotasi  menyayangimu.

Kau tanam bahagia di dada
rawat dan jaga hingga begitu nyata
kini rimbun, merambat di tembok raga
tutupi luka yang dulu menganga.


Mengenalmu
hadiah terindah Pencipta
di sampingmu
mimpi yang tak pernah terlupa.

Sepotong cerita
tak puaskan dahaga
harapan terbesar yang berpusat
milikimu secara utuh


Bandung Barat, 2017


Prosais; Bahagia Yang Kucari.

Bahagia Yang Kucari

         Aku mencarimu ke atas langit, di antara indahnya rembulan, dibalik bintang terang, karena yang kutahu dirimu indah dan terangi hidupku. Namun, belum kutemukan dirimu di sana.

         Aku susuri hutan, pepohonan yang menentramkan. Di kesejukan embun pagi, dikeheningan yang temani sayup-sayup suara malam, karena yang kutahu, dirimu selalu menyejukan, menentramkan. Namun, belum kubertemu denganmu

          Jejak-jejak yang pernah kita tapakki. Ada banyak kebahagiaan yang tercium bersama aroma kenangan. Manis, sungguh manis yang kurasa. Dan aku berharap bisa menemukanmu di tepi jalanan masa lalu. Namun, aku harus kecewa, sosokmu masih belum kutemukan.

         Aku menyerah, terdiam di ruangan yang kita sebut rumah dan kulihat dirimu dengan senyuman termanis membawa secangkir teh, lalu kita duduk bersama. Akhirnya aku tersadar, kebahagiaan tak perlu dicari di langit atau hutan, ketentraman tak hanya hadir di antara embun pagi atau hutan. Karena semua itu lengkap kutemukan saat bersanding bersamamu.

Bandung Barat, 06/09/2016
#Ar_rha