Saturday 25 April 2020

Kumpulan Puisi; Tenggelam


Tenggelam



1// Saat dunia mematikan
     lampu. Kau menyalakan ingatan-
     ingatan di kepala

     Kau menyentuh bibir
     sendiri. Mengingat-
     ingat masa lalu yang tinggal
     separuh di meja makan

     Air mata menulis sebagian
     kepahitan, tubuhmu menyelesaikan
     akhirnya dalam pelukan

     Kulumuri kecap
     di bibirmu sebelum kukecup
     agar aku bisa merasakan
     lagi, manis senyummu

     Kau terus bercakap-
     cakap, hingga kukatakan cukup
     kamar hening tanpa kata
     luka berakhir dalam jeda

     Sebelum hatimu jadi palung
     ijinkan aku menjadi hitung
     kelak, ketika dendam, kesepian, atau murka
     menemuimu. Ingatlah aku dalam angka-angka
     hingga membuatmu lupa luka-luka

Bandung Barat, 19/01/2020

2// Kau melebur waktu jadi gelas-
     gelas, lalu menyimpannya di sudut
     kamar, dekat foto mantan kekasihmu

     Suatu hari, kau menemukan wajah
     kekasihmu berlumuran darah dan tergeletak
     di tempat tidur. Gelas itu pecah
     bersama tangismu

     Kini langitmu jadi biru
     kamarmu jadi biru
     dunia yang kau pijak jadi biru

     Setiap malam, matamu jadi sungai
     kamarmu jadi genangan
     rumahmu jadi laut lepas
     dan kau asyik
     tenggelam di sana
Bandung Barat, 20/01/2020

3// Waktu membiru
     kamarmu penuh aroma kenangan
     
     Di atas kertas
     putih, tinta hitam tumpah
     jadi wajah kekasihmu
     yang kausimpan di teras ingatan
     yang kaukenang di dinding penantian
     yang kaulukis pada malam menuju malam
     di kanvas mimpi

     Kau sesak, sebelum
     akhirnya mati keracunan
     rindumu sendiri.

Bandung Barat, 19/02/2020

Saturday 11 April 2020

Cerpen; Menumpahkan Kerinduan

 

 Menumpahkan Kerinduan



   Hujan rintik-rintik turun. Basahi rumah, pohon, beranda dan setiap hal di kota ini. Di balik jendela kamar yang berembun, aku melamun. Memikirkan Ane yang jauh di luar kota sana.

   Ane adalah nama kekasihku. Ini tahun kedua kami berjarak, jarak yang anjing. Seringkali menggigit tulang-tulang hingga ngilu dan rindu. Sampah sekali perasaan ini, berserakan di setiap tempat yang kulalui, hingga tak sedetikpun aku bisa melepaskannya.

   Saat merindukannya, aku sering menggambar wajahnya. Tak terhitung berapa banyak lukisan wajahnya di kamar. Sehingga terkadang, ibu sering mengomel tentang dekorasi kamar yang hanya ada kamu-kamu saja, An.

   Aku sangat hapal setiap lekuk wajahmu, berapa banyak rambut di alisnya -- jika itu tak rontok karena aku sering merindukannya. Juga di mana posisi tahi lalat yang membuatnya sangat manis. Aku sangat tahu apa saja yang sering dia pakai di wajahnya, lipstik bermerk m, kadang pink atau merah tergantung moodnya. Pokoknya, semua yang ada di wajahnya masih tergambar jelas dalam pikiranku.

Pict; Menumpahkan Kerinduan


   Terdengar lagu When you love someone mengalun dari acara radio sore. Memutar balikan waktu menuju perjuangan dan hari-hari di mana aku mengutarakan perasaan. Lagu dari Endah Nd Rhesa itulah yang membuat aku memberanikan diri. Nostalgia sekali.

   Sehelai kertas, beberapa pensil, dan penghapus. Kali ini aku ingin menghabisi rindu sialan dengan menggambar Ane seutuhnya. Mulai dari kepala hingga ujung kaki. Menggambar gadis itu menjadi hal sakral yang kulakukan untuk mengurai kerinduan yang semakin semrawut, menghapus kecurigaan-kecurigaan terlarang, dan menciptakan suasana bersama yang telah lama tak kurasa.

   Ada sesak yang perlahan keluar bersama setiap goresan. Perlahan, air mata menetes. Pipiku basah karena perasaan yang tak terbendung lagi. Sesekali aku menghapusnya, air mata yang berjatuhan di atas kertas itu.

   Entah sudah beres sepenuhnya, atau tidak. Aku sudah tak kuat menggambar lagi. Dibanding harus tertangkap basah menangis oleh orang-orang rumah, lebih baik tertangkap basah dalam hujan. Biar disebut kekanak-kanakkan, dari pada ketahuan menangis tanpa sebab.

   Rindu sedikit demi sedikit terlepas, membuat dada yang sedari tadi sesak jadi bebas. Masuk ke kamar masih dengan gigil dan dingin. Mengambil handuk, dan melihat seorang gadis sedang duduk di atas kasur. Mata telah menipuku! Mata ini menipuku! 

   "Hujan-hujanan gak ngajak, Ar." Ane tersenyum. Manis, seperti terakhir kali aku melihat wajahnya.

   "Ane!" Aku segera menghampiri, memeluknya dan menangis, seperti anak kecil bertemu dengan ayahnya setelah melakukan kesalahan.

   Gadis itu membelai-belai rambutku. Ia pasti tersenyum, melihat sisi kekanak-kanakkanku yang satu ini. Aku tak peduli, rindu ini sudah terlalu berat dan anjing!

   Kubuka mata perlahan. Sisa-sisa hujan masih menempel di kaca jendela, dan pipi. Di dalam pelukan, gambar Ane masih tersenyum, tapi sedikit memudar.

Bandung Barat, 03/12/2019