Thursday 29 March 2018

Puisi; Setetes Embun Di Kopiku

TETES EMBUN PADA KOPIKU


Purnama akan lenyap
dan pagi telah terbangun
menjelajah setiap inci
bumi, menyingkap sesal
serta kenyataan

Pada ujung daun
embun menguap; menghilang sebagai kenangan
seperti wajahmu

Secangkir kopi, pagi ini
diseduh embun dari mataku
yang merindukanmu

Bandung Barat, 29/12/2017

BENDERANG


Empat pasang mata
berkata-kata, menguatkan kata
harapan juga kepercayaan
di sebuah sore
di bibir pantai, di tempat matahari lupa daratan

Jalan akan terbentang
lalu terang benderang
gelap menghilang, setelah kita meniup ragu
pada impian. Di kenyataan

Takkan menyerah pada waktu
pada nasib
pada batu sandungan

Sepasang hati  kini mulai berjalan; bergandengan
mengejar seribu impian
dan dua orang itu adalah kita, kekasih

Bandung Barat, 29/12/2017








Tuesday 27 March 2018

Prosais; Tutuplah Mantra Ini Dengan Amin (Nasihat Pernikahan)

 Tutuplah Mantra Ini Dengan Amin



    Bahtera kini mulai berlayar, dan mulailah kalian berdiri sejajar. Tak usah perdulikan kesulitan, selama kalian hidup bersama, itulah sumber kebahagiaan. Kalian harus terus bergenggaman, menapaki tangga demi tangga kesuksesan.

   Tersebab cinta adalah anugrah, teruslah jaga jangan sampai patah. Bukan tentang kesempurnaan, tapi saling melengkapi, memahami. Karena pernikahan, adalah jalan Tuhan yang telah kalian sepakati. Doa istri menjadikan mulus setiap langkah yang ditapaki suami.

   Lihat sepasang merpati yang terbang itu! Mereka tak pernah saling mengkhianati, kesetiaan yang mereka junjung tinggi. Bukalah telinga lebar-lebar, dengarlah apa yang pasangan kalian utarakan. Bukalah hati dengan lapang, hingga tak setitik pun muncul kesalah pahaman.

   Sekarang, tataplah matanya dalam-dalam, lalu ucapkan mantra ini, "Selama kau ada di sampingku, tak sesentipun  aku kan mundur oleh masalah. Tetaplah bersamaku, hingga raga ini lebur jadi abu. Semoga saja, kita bisa saling menuntun menuju Surga milik-Nya."


Bandung Barat, 19 Desember 2017

Cerpen; Air Mata ang Menulis Kebahagiaan

Cerpen; Air Mata yang Menulis Kebahagiaan



   Perihal cerita-cerita panjang yang pernah diangankannya, perihal puisi-puisi yang kini hanya kata, atau perihal sketsa-sketsa wajah seorang gadis yang tergantung di kamarnya. Semua perlahan memudar dan menguap.

   Terlambat. Seseorang yang selalu dia sebut dalam doa telah dimiliki. Ruangan itu telah berisi dan tak mungkin l.elaki itu harus mengetuk, dan mengganggu penghuninya.

   Air matanya jatuh, tetapi dipaksakannya untuk menulis kebahagiaan. Dia tak pernah ingin terlihat lemah di depanmu. Dia akan terus memasang tawa dan tak akan henti-hentinya tersenyum di dekatmu. Egois memang. Lelaki itu terlalu memikirkan perasaan gadis pujaannya, tanpa mau peduli pada hatinya. Dasar lelaki bermuka tembok! Dia terus memaksakan air mata menuliskan tawa, yang sebenarnya tak pernah tercipta.

   Seharusnya lelaki itu mengerti, dunia penuh kesenangan yang diangankannya hanya ada dalam tempurung kepalanya. Meskipun dia bertekad, sekuat apapun itu. Kata-kata, pada akhirnya akan berada di tempat di mana dia berasal, yaitu ketiadaan.


   Lampu putih di kamarnya telah dimatikan. Saat sepi menjadi gaung di telinganya, Tetes air mata menjejakkan langkah pada kertas kusam. Lelaki yang kerap tersenyum di depanmu itu kini menangis. Bukan kecewa padamu, tetapi pada dirinya sendiri yang selalu lambat bergerak.


   Lagi, beberapa tetes air mata terjatuh. Kebahagiaan, juga kesedihan hanyalah perasaan yang datang silih berganti, setelah lelah bermain-main dengan keseharian. Dan lelaki itu hanyalah seseorang yang bodoh, yang percaya bahwa air mata dapat menuliskan kebahagian, jika dipaksakan.


   "Apa kau marah padaku? Setelah apa yang terakhir kali terjadi di antara kita?" Suara itu keluar dari dalam cermin. Pantulan wajahnya berbeda dengan penulis kita yang bermuka datar, meski berair mata. Lelaki -- yang berada dalam cermin itu, terlihat sangat tersiksa.


   "Aku telah berusaha menerima semuanya. Berusaha mengerti, bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang pasti terbaik. Namun, setelah berjuang keras, air mata yang jatuh malah semakin deras. Maaf, kita telah lama tidak berbicara. Bukan karena aku marah kepadamu, hanya saja, kau tahu, aku tak ingin lagi kau kecewa."


   "Seandainya kau dapat melihat apa yang kulihat, betapa menyedihkan kau sekarang. Sebagai perasaan yang kau kurung di sini, di dalam cermin ini. Aku, kecewa terhadap keputusanmu."


   Sunyi kembali menjadi suara yang masuk ke telinganya. Kehampaan kini menjadi kegelapan yang menelan segalanya, bahkan jiwanya sendiri. Gemuruh air mata, menenggelamkan sebuah nama. Nama yang dulu dipercaya sebagai perjalanan panjang yang bisa ditempuhnya. Sekarang tidak lagi.











Bandung barat, 2018






Thursday 22 March 2018

Cerpen; Yang Ingin Kuketahui Tentang Masa Depan

 Yang Ingin Kuketahui Tentang Masa Depan

   Lampu kelap-kelip langsung menyerang mataku. Seandainya saja bukan karena urusan yang sangat penting, rasanya tak sudi melangkahkan kaki ke tempat seperti ini.

   Kuperhatikan objek-objek di sekelilingku yang samar, wajah-wajah penuh masalah, tengah menikmati pengusir rasa jengah, obat stres yang sesungguhnya menjajah. Memang, sebagai penyidik aku sering kali keluar masuk tempat-tempat seperti ini, tapi tetap saja, perasaan muak terus menghampiri. Musik yang menulikan telinga, juga bau alkohol. Mengesalkan.
   "Kau yakin wanita yang kusebut ciri-cirinya sering mampir ke tempat ini?"
   "Tentu saja, dia bahkan pelanggan tetap, dan hampir setiap hari ke tempat itu. Menurutku pribadi, masalah seperti ini harusnya tak boleh terjadi. Semua salahmu, Bung!"

   "Aku tau, maka dari itu aku jauh-jauh ke tempat ini. Agar semuanya selesai dengan baik."

   "Semoga sukses, kau berani bertanggung jawab. Keberanianmu patut kutiru."
   "Kau bodoh jika meniruku. Aku pergi."

   "Hahaha. Jika kau mengenal orang tuaku, sampaikan salam dari Hendri, anaknya."

Yah, percakapan itu yang membuat aku pergi ke tempat ini. Setelah aku menjelaskan semua ciri-ciri kepadanya, dia langsung menyarankanku datang ke sebuah club malam terkenal di kota ini.

*** 

   "Keisya, Gue Arman. Apa Lo inget? Gue temen sekelas Lo waktu SMA," ucapku sedikit berteriak agar didengar wanita itu. Semoga saja dia tak melihat ekspresi konyol wajahku. Kupakai bahasa seperti ini agar wanita di depanku tak curiga. 
   "Hah? Siapa Lo? Gue gak pernah kenal siapa pun di muka bumi ini. Dari dulu Gue gak punya temen seorang pun, ngerti!"
   "Oke, oke ... Gue ngaku. Gue cuman pengen akrab sama Lo, karena tiap hari, Gue liat, Lo selalu murung sendirian."
   "Apa peduli Lo?"
   "Bang, Wine dua!"
   "Lo pikir Lo siapa, hah!"

   "Anggap aja ini tanda perkenalan, dan Gue janji. Gue gak akan bicara apa pun," ternyata,ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Lagi pula, tak boleh ada kekerasan sedikitpun kepadanya. 

    "Terserah, ambil  waktu semaumu, Bung!"

   Dua gelas wine terhidang di atas meja bar. Tanpa basa-basi lagi, Keisya langsung meneguknya.
 

   Suara musik semakin kencang. Semakin memabukkan manusia-manusia yang jiwanya terguncang. Namun telinga ini terus kujaga agar tetap hening, aku tak mau melewatkan satu kata pun, dari bibir Keisya.

   Wanita itu masih diam. Meski sesekali, matanya nanar menatap langit yang samar.

   Mata adalah indra yang paling dekat dengan hati, dan air mata selalu dapat menemukan celah untuk lahir dari perasaaan yang tak bisa diungkapkan. Aku menyadari, kini wanita itu menangis tapi aku harus tetap diam, menjaga emosiku agar dapat mengorek informasi yang tak boleh dilewatkan.

   "Gue selalu nangis setiap malam, dan tempat ini yang jadi tempat teraman buat Gue nyurahin semua kekesalan. Gak pernah ada seorang pun yang peduli, karena dari dulu Gue hidup sendiri."

   "Bukannya Lo masih punya orang tua?"

   "Orang tua?! Gue cuman punya sepasang manusia tua di rumah, yang ngelahirin, ngasih makan dan ngatur semua kehidupan Gue tanpa pernah mau dengerin apa yang Gue mau, apa yang Gue minta!Coba Lu pikir, Gue cuman dianggap kebo yang dicocok hidungnya, buat ngikutin semua yang mereka mau."

   Keisya akhirnya menangis dipelukku. Kini semuanya jelas. Ini informasi yang aku butuhkan untuk jadi orang tua yang baik, karena jujur saja, selama ini aku hanya orang tua yang payah. Meski pernah belajar dari berbagi macam buku dan seminar tentang cara mengurus anak. Tetap saja, ketololan diri ini tak berkurang sedikitpun.

   "Sorry ya, kalo Gue cengeng." Wanita di depanku mulai tenang, di tersenyum.

   "Yang seharusnya minta maaf tuh Gue yang gak bisa ngerawat Lo dengan baik, Sekarang udah waktunya Gue pulang. Semoga setelah ini, Gue bisa jadi pribadi yang lebih baik. Ayah pulang dulu, Nak." Kukecup keningnya, lalu beranjak kembali ke masa lalu

   Maafin Ayah selama ini, Keisya ucapku di depan pintu waktu. 

Bandung Barat, 2017 
 

Tuesday 20 March 2018

DI SINILAH LUKA BERPESTA, TAMAN KATA-KATA

Di sinilah Luka Berpesta, Taman Kata-kata



Gemericik gerimis yang jatuh
terdengar seperti suara rebana ditabuh
oleh para peri, di atas selembar daun
hari ini, di taman kata-kata
akan terjadi pesta
antara diksi dan rasa; kata-kata
yang tumpah dari air mata seorang pujangga
yang patah hatinya karena wanita

Serangga malam, embus angin dan bintang-bintang
berkumpul, bernyanyi penuh keceriaan
para bidadari berjubah langit
sedang mandi di danau, bersiap menghadiri undangan

Pena mulai diangkat
riuh air mata semakin menghangat
parade luka mulai berjajar
menarik perhatian mata-mata yang gusar

Hujan semakin deras
di bawah rintiknya
seorang pujangga tengah menangis
menuliskan luka yang asik berpesta

Bandung Barat, 2017