Thursday 4 January 2018

Cerpen; Perjalanan

Aku terus memendam harap yang semakin hari, semakin berjamur. Sedangkan rindu sudah mencapai dada; menyesakkan. Aku masih tenggelam pada sebuah kecemburuan pada takdir.

"Dik, maafkan aku yang masih tak bisa melupakan segala mimpi tentang kita. Mimpi yang pernah kita sepakati akan gapai bersama. Maaf, maaf masih mencintaimu dan tak menghormati keputusan kita waktu itu."

***

"Jangan pernah percaya rayuan para penyair, Nona. Mereka hanya akan menyanjungmu di depanmu, juga di belakangmu keh ... keh ... keh ...."

"Penyair paling gila di kota ini hanya anda.  Apa gunanya anda di dunia ini? Wanita dan alam, akan tetap cantik tanpa perlu anda rayu. Langit juga akan tetap angkuh tanpa anda puja. Jadi, apa yang telah anda berikan pada dunia?"

"Para Penyair adalah sekumpulan manusia dengan pemikiran yang luar biasa, Nona. Seandainya pulau ini hancur karena suatu kejadian, bom atom misalnya, maka orang-orang di seluruh dunia pasti akan mencari kami untuk menuliskan riwayat, juga keindahan pulau ini di masa lalu."

"Tangan anda hanya tahu tentang kata-kata. Anda tak pernah mau mengangkat cangkul untuk membantu petani di sekitar sini, atau, mengangkat batu demi pembangunan."

"Setiap tanaman mempunyai manfaatnya masing-masing, Nona. Begitu juga manusia. Tulisan kami hari ini mungkin saja haya dianggap sampah yang berserakan, tetapi suatu saat nanti, kata-kata kami akan menjadi pengingat untuk anak cucu kita. Bahwa di kampung ini pernah ada padang rumput yang terbentang luas, yang bukan milik orang lain. Nona harus mengerti. Saya juga sama-sama budak Tuhan, sama seperti manusia yang lainnya. Meskipun hanya bisa memuntahkan kata-kata, atau menulis setiap cerita yang lahir dari mulut Ibu-ibu penggosip, atau mitos tentang rumah pencakar langit, yang sampai hari ini belum  menunjukan eksistensinya di kampung kita."

"Rumah pencakar langit? Lelucon seperti apa yang hendak anda suguhkan pada saya?"

"Itu bukan lelucon, Nona, sungguh. Di tempat yang jauh di sana, memang sudah ada rumah yang seperti itu."

"Lalu seperti apa bentuknya?"

"Rumah yang ditumpuk-tumpuk hingga tinggi."

"Bohong! Rumah Tok Dalang saja, yang hanya dua rumah ditumpuk rubuh!"

"Ada yang salah dalam pembangunan rumah itu."

"Dalam hal?"

"Entahlah, sudah kukatakan dari awal, aku hanya budak kata-kata, dan tak akan mengerti hal-hal seperti itu."

"Aku akan pergi ke kota suatu saat nanti. Akan kubuktikan, bahwa semua leluconmu hanyalah bualan."

"Dengan senang hati."

***

Udara, dan bandara
memisahkan Newyork dan Jakarta

Lirik kalimat itu terus aku gumamkan. Kesabaran itu rapuh tanpa kabar. Sepanjang jalan cerita yang pernah kutorehkan, kau adalah satu yang tak pernah ingin kulepas hingga akhir.

Kau benar-benar pergi setelah pertemuan itu ke kota. Meninggalkan aku, dan kota kecil ini yang makin sunyi saja tanpamu. Kau hanya ingin membuktikan, bahwa rumah pencakar langit itu tak pernah ada, seperti cintamu padaku.

Sepucuk surat yang datang siang itu telah meruntuhkan harapan-harapan yang pernah kususun, keping demi keping. Surat itu telah menepis segala keinginan dengan kata. Menukar segal hal yang kucintai menjadi hilang dan tak akan pernah lagi ditemukan.

Semoga kau menemukan seseorang yang selalu mempercayaimu. Bahkan, di saat kata-kata yang i-rasional yang kau ucapkan. Sebenarnya, aku pergi bukan untuk membuktikan kata-kata yang selalu kau lontarkan, tetapi, aku mencoba membuktikan pada diriku bahwa aku tak mencintaimu. Kenyataannya, aku malah sangat-sangat merindukanmu dari sini. Maafkan segala kebodohanku, dan perasaan yang seharusnya kubicarakan padamu."

Sebenarnya sedari dulu aku sangat mencintaimu. Hanya saja, semua orang di pulau kita selalu menganggapmu pembual. Aku sering mengatakan bahwa kau akan selalu berkata, sesuai dengan apa yang kau katakan. Kini, biarkan aku menebus segala dosaku, dan menjauh. Semoga suatu hari nanti, kau akan menemukan seseorang yang lebih mencintaimu dari aku. Tetaplah menjadi penyair, yang menjadi budak Tuhan sahaja.

Prosais; Itu, pasti aku

 Itu, pasti aku


   Daun yang gugur itu pernah mencoba bertahan di atas ranting. Dia pernah menunggumu dengan sabar. Dear, adakah embun-embun pagi itu menyapamu? Dan kedinginan yang membisu ini telah beberapa kali membunuhku.


    Pernah ada ketika, masa-masa langit ditunggu kumpulan awan yang berjalan santai dalam remang. Ada yang menunggu dengan sedikit cemas di bawah sana. Jika kau lihat lebih dekat, itu pasti aku.

   Deru angin dan suara-suara merdu perenjak menghiasi keinginan yang semakin berkabut. Menebarkan uap-uap pagi yang gigil. Masih tentang kamu, cahaya pagi yang kuharap terus menyinari kegelapan takdir esok yang tak pasti. Kau, adalah sebait nama yang aku percaya sebagai masa depan.


 Mentari muncul
 embun pagi menetes
 aku sendiri

 Gunung Putri, Lembang 2017 

Tuesday 2 January 2018

Laporan Perjalanan; Mencari Inspirasi Ke Guinung Tangkuban Perahu

   Siapa sih yang gak kenal Gunung Tangkuban Perahu? Gunug yang memiliki ketinggian 2.084 M di atas laut ini konon katanya adalah perahu yang ditendang oleh Sangkuriang karena gagal mempersunting  Dayang Sumbi -- yang tak lain adalah ibunya. Itu versi cerita yang turun temurun kita dengarkan dari orang tua kita.

   Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung yang meiliki bentuk Straravulcano. Udara di sekitar tempat ini begitu sejuk (Bahkan cenderung dingin) berada di sekitar 17 derajat celcius pada siang, dan 2 derajat celcius ketika malam.

   Gunung Tangkuban Perahu terletak di daerah Sukajaya, Lembang, Bandung Barat. Jika dari daerah Bandung, sekitar 20 kilo meter menuju arah utara.

   Bentangan indahnya Gunung Tangkuban Perahu ditambah suasana perkebunan teh yang asri, membuat wisatawan lokal maupun asing dijamin betah berlama-lama di tempat ini. Apa lagi buat pasangan baru. suasana romantis, ditambah udara yang dingin, dijamin, pasangan pasti terus berdekatan.

   Tempat ini juga cocok buat menenangkan diri, mencari inspirasi, dan tempat yang sangan recomended bagi keluarga. Hanya saja, saya sangat menghimbau bagi kawan-kawan yang ingin bertamasya ke tempat ini membawa anak kecil, agar selalu dalam pengawasan, sebab ada beberapa titik yang sangat curam di sini. So, kapan mau berkunjung ke tempat ini, Sob?

Bandung Barat, 2016

Cerpen; Melahirkan Anak Lewat Mulut

Melahirkan Anak Lewat Mulut

    Seorang laki-laki tak mungkin bisa melahirkan, bukankah seperti itu kondratnya? Namun bagaimana jika di dunia yang kini mulai gila, dan mendeskriminasi perempuan, kehabisan mahluk ber-rahim itu. Pernahkah kau membayangkannya?

     Seandainya dulu, Tuhan tak menciptakan ibu kita -- Siti Hawa -- apa hal yang akan terjadi? Terbayang seberapa menyakitkannya melahirkan lewat mulut, laki-laki pasti akan lebih menghormati kaum wanita juga pada akhirnya. Dan jika ada teman atau suami yang tak menghargai perempuan, maka suruhlah dia membaca kisah ini.

    Di sebuah kota yang telah dikutuk, karena kecintaannya terhadap sesama laki-laki, di mana perempuan -- baik anak-anak atau dewasa -- dibunuh secara tak berperikemanusiaan, hingga kaum yang lebih condong ke nurani saat mengambil keputusan itu punah, dan lelaki-lelaki gila yang otaknya setengah setelah itu merayakan pesta tentang bersihnya kota mereka dari kaum perempuan. 

   "Betapa indahnya hari ini, telah lama aku menunggu kemerdekaan, kebebasan juga terlepasnya batas-batas yang kini hilang," ucap pemimpin mereka, dalam sebuah pidato.

   Di sepanjang jalan, kaum menjijikan itu melakukan banyak hal yang tak bisa mereka lakukan sebelumnya, meminum  arak, bertelanjang, berteriak hal-hal mesum, juga --maaf-- *berkelamin dengan sesama laki-laki. Mereka telah di luar batas, mereka telah melakukan hal menjijikan di luar nurani.

   Apa hal yang terjadi selanjutnya? Sudah pasti, minggu pertama mereka terus berbahagia, begitu juga minggu minggu selanjutnya. Namun, setelah bertahun-tahun hidup di gelapan, seseorang pasti akan merindukan cahaya. Mereka,  para pelaku bejad itu mulai menyadari, tak akan ada seorang pun dari mereka yang memiliki keturunan dengan kebiasaan seperti ini. Tapi apa yang harus mereka lakukan? Tak ada seorang pun wanita kini di kota itu.

   Penyesalan tak akan membuat seorang laki-laki bisa menjadi wanita. Secanggih apa pun teknologi manusia, tak akan pernah sanggup menandingi kekuasaan Sang Pencipta.

    "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

   "Memohon ampun pada-Nya? Bukan kah DIA Maha pemaaf?"

   "Betul, itu yang dulu disebutkan para orang-orang suci. Mari kita kembali, mari kita mengakui segala ketololan diri."

  Mulai sejak itu, semua penduduk bertaubat tanpa terkecuali. Menangis dan mengakui segala kesalahan.

   Tuhan yang Maha Pengasih, akan selalu  memberi kesempatan pada siapapun yang kembali kepada-Nya. Namun, mungkin caranya terkadang tak bisa manusia pahami.

   Beberapa tahun kemudian, setelah mereka memohon ampun setiap hari. Satu lelaki muda di antara mereka merasa mual. Mungkin mulanya dia anggap biasa, namun saat sore hari. Penulis tak sanggup menuliskan hal-hal apa saja yang terjadi, saat lelaki muda itu melahirkan seorang anak lewat mulut. Kalian bayangkan saja bagaimana sakitnya sendiri.

   Setiap lelaki yang di tempat itu, pada akhirnya 'harus' merasakan sakitnya melahirkan lewat mulut. Merasakan kesakitan para perempuan selama ini.

    Ini mungkin hanyalah cerita yang dikarang seseorang beribu-ribu abad sebelumnya, lalu masuk ke telinga penulis. Namun jika seandainya, cerita ini terjadi lagi, apa kalian lelaki yang mencintai sesama lelaki, lelaki yang main tangan pada perempuan, ingin mencoba dahulu melahirkan lewat mulut terlebih dahulu?

Bandung Barat, April, 2017