Saturday 28 March 2020

Kumpulan Puisi; Perihal Kata

Kremasi



   Cinta adalah abu yang
   ditabur ke laut. Terlihat
   kecil, masuk matamu
   jadi air mata.


   Kau dikremasi hari ini, padahal
   kau mati esok.
   Hidup yang kau jalani, hanya
   napas. Kesedihan
   menggerogoti tubuhmu.

   Orang-orang terdekatmu bersulang
   air mata. Aku menyuling
   kenangan. Mata air yang
   tak kering di musim kemarau.

   Laut mendekap tubuhmu
   seksama. Kulihat ikan-ikan
   menjemputmu suka cita

Bandung Barat, 26/12/2019

Kremasi (2)


   Ruh-ruh api menjilati
   tubuhmu. Penuh
   kebahagiaan. Asap pekat terbang
   meninggalkan doa-doa yang
   kami panjatkan. Nada
   tangisan mengakhiri musim
   kehidupan.

   Anak gadismu menahan
   tangis. Seiring dengan
   kedatangan laki-laki yang tak
   kau restui. Ia tenggelam
   di bahunya.

   Kau telah menjadi
   abu. Kembali
   menuju ketiadaan.
Bandung Barat, 09/01/2020

Gadis Penjual Cerita

  Gadis itu menangis
  di depan pintu rumahmu.
  Air matanya. Hujan
  rintik, membiaskan
  mata jendela.

  "Badai, Puan." Ia menawarkan
  dagangan. Mulutnya
  bercerita penuh pertimbangan.

  Tunggu sejenak, biar
  air matanya lesap, dalam
  sanubarimu. Kamu mengelus dada

  "Hari ini senja pamit, ayahmu pasti
  pulang sebentar lagi. Kita
  rayakan kesunyian."

  Lilin dinyalakan. Doa
  dipanjatkan. Angin bertiup
  kencang. Gadis itu menceracau

Bandung Barat, 26/12/2019

Kata-kata


   Meski hurup yatim piatu, ia
   melahirkan kita, dari rahim
   bahasa
 Bandung Barat 03/01/2020

Saturday 14 March 2020

Cerpen; Bulan Bermekaran di Halaman


 Bulan Bermekaran di Halaman




   Suatu hari, seorang laki-laki mencangkul tanah di halaman rumahnya yang tak seberapa luas. Hanya beberapa meter persegi, hanya cukup untuk parkir mobil barang tiga biji. Itu pun, jika ia memiliki uangnya.

   Sebenarnya, dia adalah laki-laki pemalas. Kesehariannya hanya dihabiskan duduk di depan jendela. Memandang luas dunia dengan pemikiran sempit yang dimilikinya. Ia memiliki pemikiran, bahwa dunia yang dilaluinya terlalu rumit. Hubungan individu dengan individu lain, dengan kelompok satu wilayah, dengan kelompok nasional dan internasional. Hubungan semacam itu, terlalu berbeda, terlalu jauh jarak perbedaannya. Seperti ada jurang pemisah, meski ada beberapa individu mencoba membuat jembatan di antaranya.

   Lelaki itu, lebih ingin hidup sederhana. Ia membayangkan, dunia di isi oleh orang-orang yang pergi ke ladang di pagi hari, pulang saat siang sambil membawa kebutuhan secukupnya. Lalu sore melakukan rebahan, hingga malam mengais-ngais mimpi. Seperti seorang ibu yang menenangkan bayinya yang menangis.

   Ia membayangkan hubungan manusia itu sederhana. Tak perlu ada pabrik yang meracuni udara, air, dan tanah. Tak perlu ada pembukaan lahan yang mengganggu ekosistem. Tak perlu ada sepasang kekasih yang harus terpisah hanya karena tahta, jarak, dan harta. Ia membayangkan dunia yang seperti itu.

   Namun, pagi hari itu, si lelaki yang namanya tak ingin disebutkan begitu giat menggemburkan tanah. Cangkul adalah teman pertama yang ia ajak berdiskusi untuk melakukan hal yang ia pikirkan.

   Di malam sebelumnya, ia mendapat penglihatan. Bulan di langit sana sedang mekar. Namun, angin meniup dan menjatuhkan spora-spora bulan di kamarnya. Ia yang begitu idealis tentang lingkungan hidup, mau tidak mau harus menanam lagi bibit-bibit bulan, agar tak punah. Agar sepasang kekasih yang saling merindukan, yang sedang duduk diam di dalam kamar sambil menangis, masih bisa melihat hal yang sama. Sebab bintang tak seperti bulan, bintang-bintang seperti anak kecil yang terlalu senang berlarian di lapangnya langit.

   Di tanah yang sudah gembur, ia membuat lubang dan memasukkan bibit bulan. Diberi jarak agar tumbuh dengan baik. Keringat turun di pelipisnya. Lelaki itu sebenarnya malas mengerjakan hal-hal melelahkan seperti berkebun. Namun, semua hal di pikiran mewajibkannya untuk melakukan hal itu. Ia  bekerja rodi, dengan tuan di kepalanya sendiri.

   Beberapa tetangganya yang melihatnya tak acuh, sebagian lagi ketakutan. Mereka terlalu sering memikirkan hal-hal buruk yang sebenarnya tak akan pernah terjadi. Mereka pikir, lelaki itu sudah lama gila dan dibiarkan hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya, sehingga ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menanam batu. Apakah batu bisa tumbuh dan bisa dimakan? Atau ada tengkulak yang akan menerima buahnya saat panen raya?

   Semua orang tenggelam dalam pikiran dangkalnya sendiri-sendiri.

   Bulan timbul tenggelam di langit, seperti batu apung yang dimainkan anak-anak di dalam ember. Dan lelaki kita yang masih tanpa nama, dengan setia -- ia tidak benar-benar mencintai kegiatan berkebun, bahkan bisa dibilang benci. Merawat halamannya. Ia memberikan air dan pupuk rutin. Berharap bibit bulan segera berkecambah, lalu tumbuh subur di pekarangan rumahnya.

   Perayaan tahun baru telah beberapa kali terlewati dan belum ada tanda-tanda bibit bulan itu tumbuh. Meski begitu, ia masih sabar dan memberikan semua hal terbaik. Membersihkan halaman dan tak membiarkan rumput liar tumbuh di sana. Lagi pula, ia tak memiliki keahlian untuk menjinakkannya.

   Di suatu malam yang lain. Terdengar suara banyak orang di depan rumahnya. Telepon genggam yang ia miliki juga tak berhenti berdering. Bising! Lelaki itu sudah sangat akrab dengan sunyi dan tak ingin berdekatan dengan bunyi. Ia takkan pernah mau sunyi pergi.

   Hingga setelah perpidahan hari, ketika ia hendak tidur dan menenangkan mimpi-mimpinya. Ia masih terganggu dengan suara-suara ribut di luar halaman rumahnya. Berniat mengusir mereka dan mengembalikan malam-malam yang sunyi. Lelaki itu membuka jendela dan terpesona. Melihat bulan bermekaran di halaman rumahnya.

Bandung Barat, 08/12/2019

Pict;
 Bulan Bermekaran di Halaman