Saturday 30 May 2020

Cerpen; Rindu yang Kutangisi


Rindu yang Kutangisi



   “Apa yang hendak kita bicarakan?”

   Aku menarik napas berat. Pikiranku yang mencari kata, beradu cepat dengan ragu. Semua yang kulakukan kali ini tak boleh berakhir sia-sia.

   “Aku masih mencintaimu, Han.”

   Terjadi hening yang kaku. Aku benci situasi ini, tapi tak ingin kembali menjadi pengecut dengan melarikan diri lagi.

   Gadis di depanku pun terlihat resah. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja kayu. Sesekali ia melihat ke arah jam tangannya. Seperti menunggu sesuatu.

   “Han, aku serius. Mari kembali mengulang kisah-kisah yang lalu. Aku tahu aku pernah salah, dan itu mungkin akan membekas di pikiranmu, tapi Han, aku ... aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku harusnya sadar, bahwa kamu begitu berharga. Aku gak bisa menipu diri sendiri.”

   “Tunggu sebentar, bisa?”

***

   Hari itu, tepat setengah tahun yang lalu kita bertemu di cafe ini. Aku ingat semua yang terjadi, menempel dengan jelas dalam pikiranku. Terasa segar dengan segala kepahitannya yang tersisa.
Lampu yang sengaja dinyalakan redup. Suara seksi seorang perempuan ditemani gitar akustik, menciptakan suasana romantis yang dicari sepasang muda-mudi yang sedang terombang-ambing di lautan asmara.

   Kita duduk di tempat yang paling pojok, dekat jendela yang menyediakan suasana taman kota. Kau kerap berceloteh, bahwa satiap hari yang kita lalui tanpa bersama, selalu memberikan jeda untuk rindu menyerang, melahirkan air mata yang menggenang.

   Kita dikuatkan perasaan dan sebaliknya. Menyangkutpautkan setiap hal yang terjadi dengan hati, dan detak kegelisahan yang tak pantas disesali.

   “Kita sudah menjalin hubungan ini cukup lama, kapan kau akan melamarku?”

   “Sabar, Han. Aku sedang berusaha menabung untuk mencapainya.”

   “Kamu bisa meminta pada keluargamu, padahal.”

   “Aku lelaki yang sedang belajar mandiri, Han. Lagi pula, melamar adalah hal sakral yang harus usahakan sendiri sebagai bentuk tanggung jawab. Meskipun, ya harus kuakui, keluargaku pasti akan membantu juga, pada akhirnya.”

   Gadis manis bernama Hanisa Putri itu membalas kata yang kuucap dengan senyum paling mempesona. Tangannya mencengkram jemariku erat.

   Seorang gadis pramusaji datang membawa pesanan kami. Namun, tanpa disangka, gadis itu adalah Dawai, seseorang yang selalu kusembunyikan dari Hani. 

   “Angga?”

   “Da .. dawai?”

   “Siapa perempuan ini, Ga? Lagi ngapain kalian berdua di sini? Kenapa berpegangan tangan mesra gitu?”

   “Sebentar Han, kenalin ini Dawai, dia ....”

   “Aku pacarnya Angga, Hanisa. Lo sendiri siapa ganguin kencan kami?”

   “Oh, maaf. Aku juga pacarnya Rangga, Dawai.”

   Kedua gadis itu lalu beradu kata, menyebabkan keributan. Para pengungjung lain menatap bangku kami penasaran, lalu seorang manager melerai dan menyiapkan sebuah meja di ruang staff agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung lain.

   Sial sekali rasanya tertangkap basah seperti ini. Padahal, beberapa hari yang lalu aku menyiapkan perpisahan untuk Dawai, beserta segla alasannya.  Namun, takdir memberikan kejutan untukku terlebih dahulu.

   Hani menolak negoisasi, menarikku keluar cafe dengan tergesa-gesa. Dawai menangis di sana, ditenangkan oleh temannya –para pegawai cafe. Aku merasa malu telah membuat tragedi di cafe itu, lebih malu lagi tak bisa melakukan apapun di antara perdebatan kedua kekasihku.

   “Cukup sudah, Ga. Ini akhirnya.”

   Gadis itu menjauh, menghentikan taksi dan pergi. Ia juga pasti sekarang sedang menangis di sana, sambil mencaci bahwa aku ini bajingan, atau aku lelaki yang paling buruk yang pernah ada. Hani membenciku, aku membenci diriku sendiri.

   Setiap kalimat yang kubuat untuk pembenaran, terasa mencekat di kerongkongan. Merasa bersalah tak akan mengubah apa pun, tetapi rindu yang kumiliki malah semakin menjadi. Rindu selalu punya pemikiran yang tak bisa kukendalikan. Sial!

   Aku tak pernah bisa menunjukan kesedihan pada siapa pun, termasuk pada keluarga dan para sahabat. Mereka sering meminta pendapatku, itu membuat aku tak bisa menambah masalah mereka, bukan?

   Namun, rindu ini serupa hujan yang kera membasahi ingatan, sedangkan tubuhku serupa cawan. Ketika rindu yang kutampung sudah tak bisa ditahan, ia akan menetes perlahan lewat mataku. Setelah senja pamit, aku sering memeluk bingkai fotonya. Malam selalu jadi tempat paling aman menyembunyikan rahasia. Tangis-tangis kecil sering lahir dari mata, yang kuayun-ayun dengan segala penyesalan yang ada.

   Di sinilah aku sekarang, terjebak dalam dalam percakapan yang tak berkembang bersama seseorang yang tak bisa lagi kutahan langkah kakinya.

   “Halo, Bro. Lama gak ketemu.” Seorang laki-laki menepuk punggungku, lalu kami bersalaman.

   “Eh, Drik. Lo ke sini sama siapa?”

    Situasinya mungkin semakin buruk, tetapi semoga saja tak semakin memburuk lagi.

    “Mau ketemu sama cewe yang ada di depan Lo, Bro.”

   “Kamu kenal Angga, Beib?”

   “Tentu saja, Han. Dia temen baik aku, semua rahasiaku  juga kayanya dia tahu.”

   “Baguslah, jadi aku gak perlu repot-repot lagi ngenalin kamu. Ga, ini pacar baru Gue.”

   “Hidup adalah lelucon buruk yang sadis, dan kita kita dipaksa tertawa saat menerimanya. Quote siapa itu, Bro?”

   “Entahlah, Ane juga lupa.”

   Aku ingin menyembunyikan rasa sedih yang kurasa. Aku tak mungkin menangis di depan Hendrik atau Hani. Kucoba ingat-ingat setiap hal lucu yang pernah terjadi, tentang keluarga, tentang sahabat, tentang Hani, atau tentang Dawai. Rasanya tak ada, entah berlarian ke mana pikiran-pikiran lucu itu. Atau mungkin, aku harus menertawakan kebodohan, ketololan, dan kediamanku selama ini?

   Ah, aku hanya ingin tertawa saat ini, sekeras-kerasnya.

Bandung Barat. 10/02/2020


Saturday 9 May 2020

Cerpen; Surat Tanpa Alamat Penerima


Surat Tanpa Alamat Penerima




   Terdengar bunyi nada dering, sebelum suara  serak seorang lelaki menggantikannya.

   “Ha ... halo?”

   Sejenak  gadis berkulit sawo matang  itu menjadi ragu. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan kata-kata, lalu berbicara,  “Boleh kita bertemu?”

***

   "Ini hanyalah sebuah lelucon," ucap seorang lelaki petinggi kantor yang bertugas mengirimkan amplop  nahas itu. Salah satu anak buahnya telah berputar-putar mencari alamat penerima yang ternyata tak dicantumkan. 

   “Dasar iseng,” gerutunya lagi. Amplop itu ia buang lewat celah  jendela. Terbang  ke sana ke mari, lalu menumpang di atas sebuah  mobil box. Angin menurunkannya di suatu jalan sebelum pada akhirnya tergeletak dan diacuhkan, mirip seperti perasaan pengirimnya.

   Empat hari si surat terabaikan, sebelum ditemukan oleh seorang gadis berkerudung biru setelah pulang dari tempatnya mengajar. Ditepuknya beberapa kotoran yang menempel, lalu menyimpannya dalam  saku  baju.

  Amplop itu kini berada di meja kamar. Sang gadis yang ternyata berambut panjang itu memperhatikan amplop yang telah berwarna kecokelatan. Menerka-nerka isinya.

   “Maaf untuk penerima yang sesungguhnya, jika rasa penasaran ini membuat anda menjadi orang kedua yang menerimanya,” ucapnya pelan seperti berbisik pada diri sendiri, lalu merobeknya.

   Dengan terbukanya surat ini, saya sebagai pengirim ingin menjalin silaturahmi serta berkenalan. Sebab ada sebuah pribahasa yang mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang, setelah sayang, mari kita ke pelaminan.”

   Oleh sebab itu, saya mencoba memberanikan diri untuk mengirim surat yang tak tahu akan sampai pada siapa dan di mana. Namun, satu tujuan saya mengirimkan surat ini adalah mencari jodoh. Sebab dalam sebuah firman, segala di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan dan saya yakin, bahwa jodoh bisa datang dari mana saja, dari arah yang tak terduga-duga. Dan ini adalah bentuk ikhtiar saya untuk memenuhinya.

  Kurang dan lebihnya saya cukupkan sekian.
  Selamat pagi, siang,atau malam. Tergantung kapan anda membacanya.
Tanda tangan pengirim


   Dada gadis itu berdebar  kencang setelah  membaca surat. Dilihatnya lagi kertas dalam genggaman, ada tiga catatan kecil di ujung. Dengan terburu-buru ia membacanya. Seolah-olah,  jika surat itu tak segera dibaca, rumah yang ia tempati akan diledakkan.

   *Surat ini hanya surat biasa, bukan surat tanah. Jadi tolong jangan di bawa ke pegadaian

   *Surat ini bukan lelucon, jadi mohon jangan ditertawakan. Tetapi seandainya ingin tertawa pun, saya tak akan menyalahkan, karena hidup yang sulit ini selalu menjadi ironi dan tertawa adalah cara terbaik menyembunyikan  luka.

  Catatan ketigalah yang membuat senyum gadis cantik itu merekah. Membuatnya segera mengambil gawai, membuka pola, lalu mengetikkan beberapa angka.

   *Pengirim: Jaka nomer yang bisa dihubungi 08xx-xxxx-x197

   Di mulai dengan cara aneh. Sepasang muda-mudi itu menjalin kisah demi kisah, hingga terjalin menjadi selembar kain yang mengikat kedua hati jadi satu.

  Benih-benih harap disemai di hamparan langit., tumbuh jadi tunas dan utuh. Lihat daun-daun sayang yang rimbun itu! Pengibaratan antara mereka yang kini dirundung rasa butuh.

Bandung Barat, 11/01/2020


Saturday 2 May 2020

Kumpulan Prosais; Cara Rindu Bekerja


 Cara Rindu Bekerja

Aku mencoba mengerti perihal  cara rindu bekerja. Ia terkadang menjadi seorang psiko, yang bisa memotong perasaan dengan tenang, lalu mengirisnya tipis-tipis. Agar aku yang merindukanmu habis. Sudah tabiat rindu itu sadis, kekasih, jadi jangan segan meneteskan air mata padanya.

Aku mencoba mengerti, bagaimana mungkin waktu yang kulalui tanpamu beranak-pinak. Aku harus menghabiskan tiga sampai empat kali lipatnya. Mungkinkah, itu cara pandang waktu pada rindu? Atau hanya perasaanku? Entahlah ....

Aku mencoba memahami, setiap tindakan atasmu yang katanya berdasarkan perasaan. Seperti hilang dan sulit dilupakan, atau datang saat membutuhkan. Kupikir, aku sudah tak peduli tentang arti hadirmu, jadi biarkan aku pergi saja saat kau benar-benar ingin memiliki.

Bukan pendendam, hanya saja, ini caraku menenangkan perasaan yang pernah terombang-ambing, diacuhkan. Aku ingin, kamu lebih menghargai siapapun yang saat ini di samping dan menguatkan. Peluk ia sekeras yang kamu bisa, dengan cinta tentu saja.

Dan aku masih mempelajari, cara rindu bekerja, di sini.


Agustus, 2019



Aku meraba-raba dada sendiri. Tak ada yang salah, tak ada yang berubah. Namun, kenapa setiap kali mengingatmu, sesak tumbuh dan aku jadi orang paling rapuh. Aku tak begitu mengerti bagaimana kata rindu bisa begitu memuakkan.

Setiapa kali kurasakan rindu, ratusan wajahmu berguguran di langit-langit pikiran. Ada sebuah keresahan yang janggal, seperti meminta tumbal air mata.

Api unggun, kopi, dan sebatang kretek menemani pertemuanku dengan tanah Tangkuban Perahu sendirian. Aku melangsungkan perbincangan dengan sepi begitu khidmat. Sepi menjadi langit malam dan senyummu menghiasinya seperti bintang-bintang. Menerangi semangat hidupku yang pernah redup.

Enggan kuakui, tapi aku masih mencintaimu.

Di langit, bintang-bintang tengah mencari tempat dan membentuk sebuah rasi. Kamu pernah menjelaskan namanya, hanya yang menempel di kepalaku adalah semua tentangmu. Kamu lebih mempesona dari nama mereka, kekasih.

2019

 Pict; Cara Rindu Bekerja


Saat Kamu Cemburu



Kau terlalu berlebihan menyikapi semua ini, kekasih.

Ada derak yang terdengar serak, ketika suaramu menembus langit-langit kamarku. Kita tak seperti mereka yang bebas mengucap dan merasa. Kita terjebak pada situasi sulit yang kita ciptakan sendiri. Aku tahu, langit mendung kotamu tersebab cemburu. Namun, kamu juga harus tahu bahwa hujan tak mungkin bisa aku curahkan.

Kau terlalu berlebihan menyikapi semua ini, Kekasih.

Ada sekat tak terlihat yang menghalangi kita. Sejauh apa aku berusaha menggapaimu, pada akhirnya hanya kandas saja yang akan tercipta. Aku baingan memang, menambahkan bubuk kopi pada gelas air putih yang hendak kamu suguhkan. Aku takut kehilangan, tetapi lebih takut menghancurkan hubungan yang telah lama kamu pintal lama.

Tidur yang lelap malam ini. Terbangunlah nanti ketika matahari sudah bersiap pergi dan langit tak segelap kopi hitam yang sedang kusesap ini.

Aku sangat mencintaimu, meski hanya kita saja yang tahu.

 Bandung Barat, 22/03/2020