Rindu yang Kutangisi
“Apa yang hendak kita bicarakan?”
Aku menarik napas berat. Pikiranku yang mencari kata, beradu
cepat dengan ragu. Semua yang kulakukan kali ini tak boleh berakhir sia-sia.
“Aku masih mencintaimu, Han.”
Terjadi hening yang kaku. Aku benci situasi ini, tapi tak
ingin kembali menjadi pengecut dengan melarikan diri lagi.
Gadis di depanku pun terlihat resah. Jari telunjuknya
mengetuk-ngetuk meja kayu. Sesekali ia melihat ke arah jam tangannya. Seperti
menunggu sesuatu.
“Han, aku serius. Mari kembali mengulang kisah-kisah yang
lalu. Aku tahu aku pernah salah, dan itu mungkin akan membekas di pikiranmu,
tapi Han, aku ... aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku harusnya sadar,
bahwa kamu begitu berharga. Aku gak bisa menipu diri sendiri.”
“Tunggu sebentar, bisa?”
***
Hari itu, tepat setengah tahun yang lalu kita bertemu di
cafe ini. Aku ingat semua yang terjadi, menempel dengan jelas dalam pikiranku.
Terasa segar dengan segala kepahitannya yang tersisa.
Lampu yang sengaja dinyalakan redup. Suara seksi seorang perempuan
ditemani gitar akustik, menciptakan suasana romantis yang dicari sepasang
muda-mudi yang sedang terombang-ambing di lautan asmara.
Kita duduk di tempat yang paling pojok, dekat jendela yang
menyediakan suasana taman kota. Kau kerap berceloteh, bahwa satiap hari yang
kita lalui tanpa bersama, selalu memberikan jeda untuk rindu menyerang,
melahirkan air mata yang menggenang.
Kita dikuatkan perasaan dan sebaliknya. Menyangkutpautkan
setiap hal yang terjadi dengan hati, dan detak kegelisahan yang tak pantas
disesali.
“Kita sudah menjalin hubungan ini cukup lama, kapan kau akan
melamarku?”
“Sabar, Han. Aku sedang berusaha menabung untuk
mencapainya.”
“Kamu bisa meminta pada keluargamu, padahal.”
“Aku lelaki yang sedang belajar mandiri, Han. Lagi pula,
melamar adalah hal sakral yang harus usahakan sendiri sebagai bentuk tanggung
jawab. Meskipun, ya harus kuakui, keluargaku pasti akan membantu juga, pada
akhirnya.”
Gadis manis bernama Hanisa Putri itu membalas kata yang
kuucap dengan senyum paling mempesona. Tangannya mencengkram jemariku erat.
Seorang gadis pramusaji datang membawa pesanan kami. Namun,
tanpa disangka, gadis itu adalah Dawai, seseorang yang selalu kusembunyikan
dari Hani.
“Angga?”
“Da .. dawai?”
“Siapa perempuan ini, Ga? Lagi ngapain kalian berdua di
sini? Kenapa berpegangan tangan mesra gitu?”
“Sebentar Han, kenalin ini Dawai, dia ....”
“Aku pacarnya Angga, Hanisa. Lo sendiri siapa ganguin kencan
kami?”
“Oh, maaf. Aku juga pacarnya Rangga, Dawai.”
Kedua gadis itu lalu beradu kata, menyebabkan keributan.
Para pengungjung lain menatap bangku kami penasaran, lalu seorang manager
melerai dan menyiapkan sebuah meja di ruang staff agar tidak mengganggu
kenyamanan pengunjung lain.
Sial sekali rasanya tertangkap basah seperti ini. Padahal,
beberapa hari yang lalu aku menyiapkan perpisahan untuk Dawai, beserta segla
alasannya. Namun, takdir memberikan kejutan
untukku terlebih dahulu.
Hani menolak negoisasi, menarikku keluar cafe dengan
tergesa-gesa. Dawai menangis di sana, ditenangkan oleh temannya –para pegawai
cafe. Aku merasa malu telah membuat tragedi di cafe itu, lebih malu lagi tak
bisa melakukan apapun di antara perdebatan kedua kekasihku.
“Cukup sudah, Ga. Ini akhirnya.”
Gadis itu menjauh, menghentikan taksi dan pergi. Ia juga
pasti sekarang sedang menangis di sana, sambil mencaci bahwa aku ini bajingan,
atau aku lelaki yang paling buruk yang pernah ada. Hani membenciku, aku
membenci diriku sendiri.
Setiap kalimat yang kubuat untuk pembenaran, terasa mencekat
di kerongkongan. Merasa bersalah tak akan mengubah apa pun, tetapi rindu yang
kumiliki malah semakin menjadi. Rindu selalu punya pemikiran yang tak bisa
kukendalikan. Sial!
Aku tak pernah bisa menunjukan kesedihan pada siapa pun,
termasuk pada keluarga dan para sahabat. Mereka sering meminta pendapatku, itu
membuat aku tak bisa menambah masalah mereka, bukan?
Namun, rindu ini serupa hujan yang kera membasahi ingatan,
sedangkan tubuhku serupa cawan. Ketika rindu yang kutampung sudah tak bisa
ditahan, ia akan menetes perlahan lewat mataku. Setelah senja pamit, aku sering
memeluk bingkai fotonya. Malam selalu jadi tempat paling aman menyembunyikan
rahasia. Tangis-tangis kecil sering lahir dari mata, yang kuayun-ayun dengan
segala penyesalan yang ada.
Di sinilah aku sekarang, terjebak dalam dalam percakapan
yang tak berkembang bersama seseorang yang tak bisa lagi kutahan langkah
kakinya.
“Halo, Bro. Lama gak ketemu.” Seorang laki-laki menepuk
punggungku, lalu kami bersalaman.
“Eh, Drik. Lo ke sini sama siapa?”
Situasinya mungkin semakin buruk, tetapi semoga saja tak
semakin memburuk lagi.
“Mau ketemu sama cewe yang ada di depan Lo, Bro.”
“Kamu kenal Angga, Beib?”
“Tentu saja, Han. Dia temen baik aku, semua rahasiaku juga kayanya dia tahu.”
“Baguslah, jadi aku gak perlu repot-repot lagi ngenalin
kamu. Ga, ini pacar baru Gue.”
“Hidup adalah lelucon buruk yang sadis, dan kita kita
dipaksa tertawa saat menerimanya. Quote siapa itu, Bro?”
“Entahlah, Ane juga lupa.”
Aku ingin menyembunyikan rasa sedih yang kurasa. Aku tak
mungkin menangis di depan Hendrik atau Hani. Kucoba ingat-ingat setiap hal lucu
yang pernah terjadi, tentang keluarga, tentang sahabat, tentang Hani, atau
tentang Dawai. Rasanya tak ada, entah berlarian ke mana pikiran-pikiran lucu
itu. Atau mungkin, aku harus menertawakan kebodohan, ketololan, dan kediamanku
selama ini?
Ah, aku hanya ingin tertawa saat ini, sekeras-kerasnya.
Bandung Barat. 10/02/2020