Thursday 26 April 2018

FlashFiction; Senja Di Tepi Pantai

Senja mulai merayap mendatangi kami. Sudah sedari pagi kami bermain-main di pantai ini. Pasir putih, angin, debur ombak dan segala hal yang indah. Kami melakukan banyak hal di sini.


Kini jingga telah lahir, memaksa kami sekeluarga harus segera berkemas untuk pulang. Liburan yang sungguh berkesan, hingga dengan berat hati kami tinggalkan.


Raut-raut kekecewaan terpancar dari wajah kami. Namun adik bungsuku yang terlihat paling sedih. Sebagai Kakak yang baik, aku mencoba menghiburnya, "Jangan terlalu sedih, Dik. Semoga saja, nanti Ayah punya waktu lagi, hingga kita bisa kembali berkunjung ke tempat ini."



"Bukan masalah itu, Kak."



"Lalu?"


"Aku ... aku tadi tak sengaja menelan ombak."


"Maksudmu?" Segera kulihat laut. Begitu tenang, begitu hening.

SENJA DI TEPI PANTAI - Kami sekeluarga cemas, adik belum bisa mengembalikan ombak.
2016

Prosais; Aku hanya ingin berhenti mencari namamu

Aku hanya ingin berhenti mencari namamu

    Ketiadaanlah, yang mengukur seberapa kuat kita membutuhkan. Kebersamaan pula yang jadi neraca perhatian, bukan kata-kata.

    Seseorang yang pergi, bisa saja tak akan kembali setelah menemukan tujuannya yang baru. Rumah, hanyalah sekumpulan kenangan dan masa depan yang terus dikejar.

    Jangan berbicara rindu pada angin! Dia akan berlalu dan menyampaikannya pada semesta, semesta akan bercerita pada langit dengan berbisik-bisik, dan langit akan terisak menurunkan hujan. Menyebabkan tanah mengeluarkan aroma kegalauan.

    Satu pertiga kehidupan adalah kesedihan, dan sisanya engkaulah yang memilih.

    Yang air mata lakukan hanyalah turun, doalah yang pasti akan sampai menuju langit. Seperti ketika kau berbisik pada tanah saat bersujud.

    Aku hanya berupaya melupakan namamu, yang terselip di semua tempat pada lipatan pikiranku.

Friday 20 April 2018

Cerpen; Tentang Kau dan Aksara

Tentang Kau dan Aksara


   Kata-kata terus mengisi lembar demi lembar kertas. Semakin lama, semakin menumpuk. Ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku, tentang aksara yang berserakan di antara mataku.

   'Haruskah aku melawan lupa, dengan berusaha terus mengingatnya? Nona, sejujurnya aku tak pernah rela berjarak denganmu meski sehasta. Kau adalah lautan yang hendak kupeluk. Kuingin -- sangat ingin, menapaskan namamu pada-Nya. Nona, sejauh kata yang bisa kurangkai, tak ada setitik celah tanpa namamu. Tapi, mungkin inilah yang disebut takdir.



Seberapa jauh jarak kutempuh
Sampan kukayuh
Hatiku merapuh
Aku tak pernah ingin kehabisan semua tentang dunia 



    Bukankah aksara pernah menyatukan kita?

   Kita memang tidak pernah saling mencari, tapi pertemuan pertama dan selanjutnya telah memenuhi pikiranku. Nona, apakah keinginanku terlalu muluk untuk aku yang buruk?

   Waktu pernah terbuai oleh pertemuan kita, hingga ia mabuk --  berjalan terburu-buru.

   Masih bisa kudengar tawamu dari sini, meski benih di musim semi kali ini tak pernah tumbuh di dadamu.

   Aku hanya bayangan bagimu, yang tak akan pernah menjadi nyata. Kau pernah bertanya, "Kita ini apa?"

   Seberapa banyak waktu terukir, menegaskan garis-garis pada dindng takdir. Harus berakhir? Tidak! Aku tak ingin semua habis

   Dua ekor merpati terbang di pikiranku. Kepaknya terdengar riuh pada telaga dada yang sunyi. Dapat kubayangankan, ribuan luka hendak menempel seperti hujan pada november. Namun, tak akan  ada batu yang tak bisa kita loncati, selama kita bersama. Seberapa tinggi dan menjulangpun dia berdiri, kita pasti bisa lewati.

Bandung Barat, 2017



Thursday 5 April 2018

Haiku;

Sore, Luka dan Namamu




Mengenang kita
di peraduan sore
berteman sepi

Setangkai luka
tertancap; tumbuh tinggi
terus menjalar

Bukankah dulu?
kita berharap satu
janji setia

Takkan berpisah
melepas rasa ego
terus bertahan

Semua musnah
perlahan tapi pasti
menuju gelap

Kini kenangan
hanyalah kata-kata
pemantik luka

Dan rasa ini
menggantung; jadi sesal
tak kunjung usai

Menepilah kau
sejenak; jadi aku
Agar mengerti


Bandung Barat, 2017

Wednesday 4 April 2018

Prosais; Lihat aku di sini, Nona

Lihat aku di sini, Nona


   Lihat aku di sini, Nona. Berharap kau akan pulang lagi kepelukku. Mengucapkan lagi cinta, meneruskan lagi cerita, hingga habis usia.

   Suara tawa mencipta kelapangan resah, yang lelah. Mengirimkan pesan terakhir lewat udara. Jika, bukan. Lebih tepatnya seandainya. Kau larut aku hanyut. Kau terluka aku kehabisan tawa dan yang paling menakutkan,  kau pergi, aku mati.

   Hal-hal buruk tak akan pernah terjadi, jika kelakuan terkutukku tak menempel pada diri. Seutas benang kasih, dirajut sepasang kekasih, hingga tercipta bentangan. Kupikir, tak akan ada seorangpun dari kita yang bisa keluar dari lingkaran ini.

   Lihat aku di sini, Nona. Disiksanya hati oleh rindu, candamu, tawamu. Kau tahu, Nona, aku lebih sering memenjarakan diri sendiri pada sepi, hanya untuk menikmati semua bayangmu sendirian.

   Kembalilah ke sini, Nona. Aku tah tahu air mata yang mana lagi yang harus kucurahkan? 

  Padamu pernah kurelakan segalanya. Berharap, suatu saat kita akan terus saling mengerti. Tentang semua kepercayaan ini, kuingin, kurasa, kuharus. Namun sepertinya, aku harus menenggelamkan lagi diri pada kesunyian.

  Kita pernah sejalan, pada keinginan yang sama. Menekan ego yang timbul tenggelam dalam dada. Ada yang jauh dalam dasar, mimpi kita. Kuharap, kuingin, selamanya, hanya kau dan aku.

  Lihat aku di sini, Nona. Tolong ....

Bandung Barat, 12/12/2018

    Tangan yang terbuka itu ternyata tak pernah menungguku, sedangkan anak-anak angin telah menyebarkan benih-benihnya di ladang pengharapan.

    'Tuhan, haruskah kupinta sebuah kemarau panjang untuk menjadikan tanaman yang tengah subur itu mengering?'

    Enggan beranjak, aku terus menatap langit yang mulai didatangi lagi  untaian awan. Hanya sekejap melihat cahaya yang membias, lalu perlahan menghilang. Pekat tak ingin hilang.



   Terima kasih, selamat tenggelam

    Semuanya akan baik-baik saja, ada atau pun tiada dirimu

    Aku pernah berjanji, menemanimu sebagai sahabat. Namun, kau gagal menepati janjimu dan kuanggap *****at

    Selamat menjadi kenangan, biarkan aku manjadi seseorang yang menemani dialog hujan malam ini di kotamu, sebagai rasa sakit yang menelan perlahan segalanya. Menelan titik-titik bahagia, yang coba kau rawat bersama semesta

    Kuanggap kau luar biasa menyembunyikan rasa yang sebenarnya. Sebagai kenangan, berdoalah aku bukan mimpi buruk

    Yang terus menghantuimu, bahkan saat kau membuka mata