Thursday 31 August 2017

Cerpen; Tentang Penjaga Langit

Hujan kembali
bangku taman pun basah
gadis menanti

   Dengan sinar mata meredup, gadis itu menatap lekat jalanan yang dulu dia lalui bersama sang kekasih. Penantian panjang itu dia yakini, suatu hari akan dituai hasilnya. Sesekali diliriknya jam tangan. Berharap senja kali ini, sang kekasih pulang dengan penuh kerinduan.

    Dia selalu berdiam diri di batas kota, menunggu seorang lelaki yang telah mencuri hatinya. Yah, sepotong daging itu tak ada di rongga dadanya, hingga dia tak bisa merasakan kebahagiaan. Harinya selalu hampa, getir, nestapa. Keadaannya bisa dibilang sangat menyedihkan.

   "Tunggu aku di sini, suatu hari nanti aku akan kembali."

   "Kau hendak kemana memang?"
  
    "Aku akan pergi ke langit, menggantikan Kakak yang sudah meninggal. Pekerjaan keluarga."

    "Apa yang akan kau lakukan di sana? Tak ingin kah kau mengajakku?"

    "Bukan tak ingin hanya saja ...di sana hanya ada tempat untuk satu orang. Pekerjaanku di langit, membangunkan matahari untuk mengelilingi dunia, saat sore melukiskan senja dan menjaganya agar tak ada seorang pun yang merobek dan mencuri kanvasnya. Lalu malam hari, meletakan bintang-bintang dan rembulan ke tempatnya."

    "Kapan kau akan pulang?"

    Lelaki itu tak menjawab, dia hanya menatap mata gadis itu dalam-dalam. Hingga ada semacam virus yang menyebar di udara, masuk lewat hidung, melewati tenggorokan, melaju menuju paru-paru dan jantung, mencemari darah dan pada akhirnya, gadis itu benar-benar terjangkit cinta, memutuskan menunggu selama apa pun, hingga laki-laki di depannya kembali.


   Jika kau berkunjung ke kotaku, dan melihat seorang nenek menatap langit saat pagi, sore dan malam dengan mata penuh kerinduan. Kau telah menemukan gadis yang menunggu kekasihnya pulang, setelah bekerja dari langit.

Bandung Barat, 2017

.

Saturday 19 August 2017

Cerpen; Matamu bintang terang, bibirmu bulan sabit dan rambutmu gelombang laut pasang

  Matamu bintang terang, bibirmu bulan sabit dan rambutmu gelombang laut pasang

 
   Di matamu kuletakkan bintang, aku menemukannya saat bangku taman tengah menunggu pagi, dia bosan sendirian. Di antara daun-daun jambu, bintang yang jatuh itu bersinar, kelap kelip seperti lampu yang hampir mati. Kumasukan dalam plastik hitam agar sinarnya sedikit meredup, lalu menyimpannya ke dalam tas. Tak seorang pun melihatnya, lagi pula tak akan ada yang menyadarinya hilang, toh di langit bintang masih banyak. Lagi pula mereka pasti tak peduli, buktinya tak ada seorang pun yang menjaganya.

   Agar orang-orang yang masih melewati taman ini tak menganggapku gila, (aku tak berhenti tertawa sendiri, menyadari memiliki hal yang tak mungkin orang lain miliki. Bukankah mereka tak mungkin memiliki bintang seperti aku?) aku akan pergi ke pantai, mungkin di sana aku akan menemukan kata yang lain, kata yang pas untuk cerminan bidadariku. Sekalian untuk mengurangi rasa senang yang berlebihan, agar semua terkesan normal adanya.

   Kupacu motor dengan kecepatan standar, melewati jalanan berkelok yang bawahnya jurang, atasnya perkebunan teh. Pantai memang lumayan jauh dari kotaku, dan pergi sendirian merupakan sebuah kesenangan juga ketakutan tersendiri.

   Lampu-lampu jalanan sebagian telah mati, rumah penduduk pun hanya beberapa saja yang dibangun di pinggir jalan, hingga jalanan terkadang terasa sangat mencekam. Beberapa jalanan bolong juga semakin membuat kehati-hatian perlu ditingkatkan. Pembangunan tempat ini hanyalah omong kosong yang dikemas dengan kata-kata meyakinkan di bibir para calon pejabat yang telah dibaluri banyak gula. Seribu kemustahilan tercipta dari mimpi-mimpi gila, yang keluar dari mulut berbusa nan berbisa.

   Debur ombak, embus angin dan wangi khas pantai menyambutku, malam masih kelam, bulan sabit pun tersenyum kepadaku. Terpikir ide jahil untuk menjatuhkannya dari langit sana. Setelah memarkirkan motor, kuambil sebilah bambu, kusodok-sodok bulan hingga terjatuh di sisi pantai. Aku tertawa semakin keras, lalu berlari menerjang ombak agar bulan tak terbawa hingga ke tengah lautan. Meski beberapa kali terjatuh hingga  kuyup dan mataku perih terkena air laut, tak mengapa, toh bulan sabit ini bisa menjadi senyum bidadari yang aku impikan.

   Pasir-pasir pantai memasuki sela-sela rambut, meskipun telah kubilas dengan air tawar di masjid terdekat. Mereka seolah tak pernah habis, mungkin tersesat di kepalaku, atau juga memilih tinggal di sana, mmm entahlah.

   Dan gelombang ombak akhirnya kupilih sebagai rambutmu, masih terdengar riaknya saat kuselipkan di antara halaman buku. Langit kini tak memiliki bulan, satu bintang pun hilang dan laut, tak terdengar lagi deburnya. Sedangkan aku tertawa-tawa, menyaksikan bidadari lamunan tumbuh dari
buku. buku yang kutulis dengan penuh keharuan.

   Aku terbangun dengan tubuh kuyup di atas ranjang. Merasakan pasir-pasir putih di kepala. Mengingat lagi sinar matamu yang bening, pada malam hening. Embus angin menyeret mimpi-mimpi yang hilang bersama kenyataan yang tak hangat. Kini aku termenung, menyaksikan subuh masih menggigil dari bingkai jendela.

   Di depan sana, kulihat seorang gadis tengah melipat sayap, lalu berjalan menuju rumahku. Mirip seperti bidadari yang kuimpikan.

Bandung Barat, 19/08/2017





Apa Yang Kau Lakukan, Jika Jadi Aku?



Sa, tadi malam. Ada wanita yang mengetuk jendela dunia lewat ponselku. Dia sahabat kecilku, yang sekarang sudah remaja sama seperti aku. Dia meminta nasehat, tapi aku sendiri bahkan tak tau harus berbicara apa. Katanya aku sedikit bijaksana, padahal sangat ceroboh luar biasa. Tapi sebagai sahabat, aku mendengarkan semuanya sebisaku. Sekarang Nia mau kan jadi pendengar (pembaca) yang bijaksana?

(Pov Wanita)
Apa artinya perjuangan jika seseorang yang kita kejar malah berlari menjauh? Harusnya dia ngerti kalimat ini sepenuhnya. Bagaimana pun, pernikahan itu bukan dua orang yang jadi satu, melainkan dua keluarga menjadi satu. Ar, apa aku salah jika pergi, agar dia tak berharap lebih pada hatiku? Karena rasanya, tak mungkin melanjutkan perjalanan antara aku dan dia menuju satu titik yang diimpikan setiap pasangan, pernikahan.

Ar, bukankah kita tak bisa memaksa ladang menumbuhkan padi? Bukankah kita tak bisa menanam teh di pasir pantai? Jadi, Ar, apa salah jika sebagai perempuan aku menolaknya? Meski dia berjuang sekuat tenaganya, jika keluargaku tak bisa bagaimana?

Aku merasa salah di dua sisi. Menerimanya, berarti memaksa kehendak tanpa restu orang tua, dan menolaknya, sama dengan menyakiti sahabatku sendiri. Jadi apa yang akan kau lakukan, seandainya kau jadi aku, Ar?


Bandung Barat, 2017

Friday 18 August 2017

Cerpen; Kita Memang Berbeda

 Kita Memang Berbeda



   Menghitung ribuan partikel di udara, berisi atom-atom kerinduan itu rasanya sungguh gila. Berusaha membekukannya dengan diam, atau mencairkannya dengan pelukan. Namun untuk saat ini, rasanya tak mungkin. Jarak yang harus ditempuh dengan belasan menit kecepatan cahaya itu terbentang memisahkan raga kita. Kak, barang kali benar adanya. Kita berbeda, meski sama-sama bertahan untuk menjadi satu selamanya.

***

   "Kenapa memilih merantau, Kak? Di sini semua kebutuhan kita telah tersedia. Meski sederhana aku rela, Kak."

   "Aku tak ingin melihatmu kerja keras demi kita. Lagi pula, aku ingin mempunyai kehidupan yang lebih cerah dari ini di masa depan. Hingga anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apa pun untuk menjadi anak yang sukses dunia akhirat."

   "Apa kau tak meŕasa sedih meninggalkanku?"

   "Sebutkan padaku, Dik. Selain Tuhan, para nabi, orang tua kita, dan saudara-saudara kita. Siapa lagi orang-orang yang paling aku cintai, Dik?"

   Gadis di depanku diam. Kediaman yang dingin. Perlahan, kini matanya bercucuran air mata. Aku mendekat, lalu membelai rambutnya.

   "Tak akan ada yang bisa mengubah rasa ini. Percayalah, di sana aku akan setia."

   "Berjanjilah, Kak! "

   Aku tersenyum, senyum paling tulus yang aku bisa berikan. "Aku berjanji."
.
   Akhirnya, kita pun berpelukan di bawah sinar rembulan yang terang malam itu.

***

   Kuhirup napas panjang. Kenangan itu terus-menerus berkejaran di otakku. Hingga kesedihan itu kini menerpa jiwa, seolah-olah menghisap semua kebahagiaan.

   Ternyata benar adanya, bahwa kota-kota besar lebih buas dibandingkan hutan belantara. Manusia-manusia bersikap manis, yang taringnya disembunyikan, para penjahat yang terlihat seperti malaikat, atau gadis lugu dan manja yang jadi liar di antara keremangan. Semua itu tak akan merubah pendirianku. Aku harus bertahan, tak akan tergoda dengan segala macam tipu daya seperti itu. Karena kebahagian kita, menunggu sentuhan tangan dalam bentuk pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran.

   Aku tak pernah rela melihatmu banting tulang membantu, meski kau selalu bilang, 'aku rela, asalkan setiap hari dapat menatap wajahmu'. Mungkin benar adanya, Dik. Kita berbeda, walau terus berusaha berjuang untuk berada di jalur dan menuju ke arah yang sama denganku.

***

   Hati kita akan selalu terpaut, tak peduli berada pada sebuah kemelut, karena bagi kita, cinta itu terus berjuang dan bertahan. Memegang erat semua janji, bahkan saat tangan-tangan kita patah karenanya.

   Angin bertiup menghembuskan kedinginan pada semua mahluk. Kini subuh mulai berjalan pada pagi. Matahari hangat yang telah terbangun dari tidurnya mulai memecah kegelapan, dan kita mulai bersiap menyambut pagi. Aku di kota, kau di desa. Kita memang berbeda, tapi cinta membuat satu ikatan yang tak akan terurai hingga maut mendatangi kita.
.
Bandung Barat, 17-07-2017
  Ardian Handoko (#Ar_rha)




Foto Rahmat Hidayat. 

Ardian Handoko adalah tokoh fiksi, dari seorang laki-laki kelahiran Bandung barat, tahun 1996. Lelaki yang mempunyai hobi bernafas, menulis, mendaki dan tidur itu kini sedang aktif-aktifnya menulis di blog (Ardi-niffa.blogspot.com) twitter https://twitter.com/ dan facebook https://www.facebook.com/profile.php?id=100003162016228

Salam literasi, imajinasi dan lestari. Salam kenal.

Saturday 12 August 2017

Flashfiction; Yang Fana Adalah Waktu (Juga kita), Hujan Kenangan, Aku dan Persimpangan, Lintah Darat, (dan) Mungkin, lelaki Itu Lebih Buruk Dari Sampah

 Yang Fana Adalah Waktu (Juga kita)


Yang Fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
"Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu
Kita abadi

 Sapardi Djoko Damono

   "Sahabat, jangan pernah lupakan perjalanan ini," ucapku sambil merangkul Agara, Doni dan Dian.
     Dan aku mengingat lagi itu. Langit cerah menyambut kita, empat pemuda yang tengah asik berhaha hihi tentang dunia. Menyuling waktu-waktu bersama menjadi kenangan, lalu memasukannya pada sebotol kecil dan menyimpannya dalam memori.

    Agara, meski dalam perjalanan menuju puncak ciremai itu kita banyak berdebat, tentang melanjutkan perjalanan atau istirahat. Aku tetap menganggapmu sebagai pemimpin kelompok ini, bukan bermaksud membantah perintah, hanya saja, Doni dan Dian sudah terlihat sangat payah. Bahkan untuk sekadar berdiri pun, goyah.

    Pada perjalanan itu, kita berempat terpesona dengan cantiknya edelweis, yang menari-nari, ke sana, ke mari, seperti anak-anak. Kita tertawa bersama di sana, sesekali hembusan angin menerpa wajah kita. Pengalaman sempurna yang dipahat waktu untuk kita bukan? Aku bahkan selalu tersenyum mengingat semuanya.

    Meskipun, hari ini aku berada di puncak sendirian, karena kalian telah pergi meninggalkanku terlebih dahulu. Agara kecelakaan motor, Dian over dosis dan Doni hipotermia di puncak rinjani, lalu kubacakan puisi SDD untuk mengenang kalian, namun edelweis yang mendengarkan malah tertawa, "Bukankah yang fana adalah waktu?" ejeknya, lalu aku termenung, mengenang lagi kita di kepalaku.

    "Apa aku harus mati agar menjadi abadi?"

    Edelweis hanya mengangguk, kudekati jurang dan bunga cantik itu tertawa. Tawa yang menggema, mungkin saja sampai surga, memanggil kalian untuk menjemputku.


Bandung Barat, 2017

Hujan Kenangan

   Tak pernah kupikirkan, bahwa hujan sore ini akan membawa lagi namamu. Aku kuyup oleh air mata yang jatuh dari pelupuk-pelupuk awan. Tirai-tirai yang selama ini menutupi kenangan pun terbuka, tak bisa kututupi lagi dengan berbagai macam kesibukan, begitu jelas di depan netraku.

   Aliran tangisku melewati jalan, masuk ke gorong-gorong, sebagian lainnya menggenang, mengisi hati yang sebagian telah kosong . Sial sekali rasanya. Aku melihat wajahmu di sana, terpantul dari cermin genangan. Wajahmu sama seperti dulu, manis, dengan rambut terurai sedikit basah.

   "Aku ingin melupakan semua tentangmu, Nona. Meski tak bisa melepasmu seutuhnya, mengurai tali-tali yang begitu kuat menjerat leher. Menyesakan. Nona, maafkan aku yang telah memakai tubuhmu ini. Seandainya, dapat kuputar lagi waktu. Aku ingin kembali ke tubuh asliku, mati san dimakan cacing-cacing tanah dengan rasa bahagia."

   Dan genangan itu memantulkan wajah seorang gadis yang tengah menangis, mungkin kau, mungkin juga aku yang telah memakai jasadmu. 

Bandung Barat, 2017


Aku dan Persimpangan


   Apa kita memang sudah tak mungkin, menjadi satu seperti saat sebelum kemarau ini berlangsung? Kini, kita hanya bisa saling memandang dari dua ujung yang terpisahkan sekotak ladang yang tanah tengahnya retak.Meski pun, aku tau apa yang telah menyebabkan kita saling berpisah. Tapi tetap saja, hati ini tak dapat menerima semuanya.

   Aku masih sering menengok persimpangan, yang menjadi ujung tempat perjumpaan kita.

   'Apa kita harus berpisah di sini?' teriakku dalam hati, kuhirup nafas dalam-dalam, untuk meredam dadaku yang mulai bergemuruh.

   'Jika ini takdir Tuhan, kita hanya bisa saling mendoakan. Semoga kau bahagia, di sana.' kukecup keningmu, lalu membiarkanmu pergi, ke tempat peristirahatan terakhirmu, di bawah tanda jalan, di persimpangan.
.
Bandung Barat, 2017 

Lintah Darat

    "Ayo bayar, Par. Kau sudah satu bulan tidak membayar!"  bentak Darman.

   "Maaf juragan, tapi saya sedang tak memiliki uang, bahkan sepeserpun,"

   Darman mentap wajah hingga ke kaki wanita bernama Parmi itu, menghampirinya, lalu menyerang bibirnya dengan sebuah ciuman yang begitu mendadak. Wanita berkulit hitam manis itu gelagapan,  berusaha berontak namun kekuatan wanita itu tak sebanding dengan sang lintah darat. Tubuhnya lalu melemas, terkapar.

   Selesai menciumnya,Damar menyeka darah di bibirnya. Memerintah kedua bodyguardnya untuk membereskan semuanya. "Untuk stok makanan aku dan keluarga selam beberapa hari."

   Mereka bertiga lalu pergi, meninggalkan jasad Parmi  yang kering, karena darahnya habis disedot.
Bandung Barat, 2017  

Mungkin, lelaki Itu Lebih Buruk Dari Sampah 

   "Copet! Copet!" teriak seorang wanita dari jauh, saat melihat Xabil memasukan dompet itu ke dalam sakunya. Lelaki itu gelagapan dan langsung berlari. diterjangnya apa pun yang menghalangi. Seorang nenek terjatuh dan tiga orang anak kecil menangis setelah bertabrakan dengannya. Dia tak bergeming, lelaki itu tak mau menjadi bulan-bulanan masa.

   Dia menengok sebentar, sepuluh orang bahkan lebih tengah mengejarnya. Teriakan amarah dan beberapa botol yang dilempar gagal mengenainya.

   "Sial! Salah jalan," kutuknya saat mendapati ujung gang yang di kanan dan kirinya dihiasi tong sampah.

   Dalam kekalutan, salah satu tong sampah membentaknya, meski suaranya sedikit berbisik, "Siapa kau? Jika orang busuk masuklah! Tinggalah di dalamku."

   "Aku? Aku ...."

   Derap langkah kaki itu semakin mendekat, dengan perasaan was-was, perlahan mulut tong sampah itu terbuka.

   Uhuk-uhuk!!

   Xabil terlempar keluar dari dalamnya, "Kau lebih busuk dari sampah." Di depannya, para warga sudah bersiap dengan segala kemarahannya.   
Bandung Barat, 2017