Friday 24 January 2020

Kumpulan Puisi; Rumah Terakhir


Kepada Puisi

; Kukira Rumah Terakhir


Aku ingin
jadi senja
mengukir ribuan kenang
pada ruang waktu
dan diam dalam keabadian
di kepalamu

Adalah angan
menjadi dasar ingin
sebagai tapak-tapak
perjalanan panjang
di atas daun-daun gugur

Melewati hamparan
harapan
tak peduli berapa jauh
tak peduli berapa rapuh
aku bergerak
menuju sungguh
dan tangguh

Doa-doaku gagal mengikat
kau lepas dari jerat
ditinggalkan saat sekarat
tak selamat

Kita seumpama
laut dan langit
kita seumpama
Api dan lumut

Kita membiarkan kata-kata
tergeletak; membiru
dan akhir cerita
menjadi pilu

Mencoba memahami takdir
meski sama-sama tau
bayangan masa lalu 
yang mana
akan selalu hadir

Bandung Barat,23/11/2019

Hilang

Waktu menjauh
menatap mata tangguh
yang perlahan pergi
basahi ruang-ruang
di pipi


Sebab ia matahari
di kehidupan gelap
menerangi gang-gang
jalang

Meski terkadang
wajahnya jadi awan
hitam; tak terbantahkan
dan aku anak kecil
yang tertawa menunggu hujan

Kini, ketika ia hilang
dan tubuhnya tak masuk bilangan
pelukan

Bandung Barat, 17/03/2013
ia menjelma sungai
di kepalaku
setiap kali aku ingat
ia mengalir
lewat sela-sela mataku
Bandung Barat. 25/11/2019

Jalan Diam




Ada jejak tawa
menggema
menertawakan
kita yang bisu
kita yang terbujur kaku
di lorong waktu

kita lelah melangkah
dan memilih jalan diam
pada kesempatan-kesempatan
terbantahkan

Aku menatap jalanmu
berharap kembali
dan kita melangkah
bersama lagi

Anganku hanya bunga
gugur, berharap
dijadikan lebih berharga
Bandung Barat. 2017


Saturday 18 January 2020

Cerpen; Lewat Mata Kita Berbicara



 Lewat Mata Kita Berbicara




   "Mata itu jendelanya hati, dan setiap orang yang peduli kepadamu, pasti dapat mengintip perasaanmu dari sana." Kata-kata itu kembali kepadaku, setelah menemukan seorang gadis pramuniaga cafe.

   Kalian mungkin selalu melihatnya tersenyum saat memberikan kopi itu ke meja kalian, tapi apakah kalian tahu, bahwa matanya selalu saja seperti itu, sayu, dan tidak ada sedikitpun lagi kegairahan di dalamnya. Dia pernah kehilangan segalanya, dan kini gadis itu bertekad untuk tak ingin memiliki apa pun lagi.

***
   Sedikit terang untuk mengungkapkan ini sudah malam, tapi waktu di tanganku menunjukan lebih dari cukup untuk menyatakannya. Ah, benar kata seseorang dari masa lalu, bahwa waktu bisa menjadi relatif dalam segala aspek. Terkadang, dia bisa menjadi siput, di lain tempat juga bisa secepat kilat.

   Baru sekali ini aku mengunjungi kota tempat gadisku berasal. Kota Tim, kota di mana salah satu impianku hidup dan tumbuh. Sekarang aku tengah menunggunya di cafe. Ada banyak muda-mudi yang sengaja meluangkan waktunya seperti kami untuk bertemu dan membicarakan banyak hal di sini. Namun, ada hal yang sama-sekali berbeda bagiku.

  Entah kenapa aku memperhatikan gadis pramusaji itu. Dia memang cantik, tetapi di hatiku ada yang terasa sangat mengganjal dari setiap tingkahnya. Ada roman yang sulit dijelaskan, pada setiap gerak dan tingkahnya. Aneh, kenapa aku menjadi memperhatikannya?

   Dia seperti pada umumnya pramusaji lain. Menuliskan pesanan, memintanya pada bartender atau koki, lalu menyajikannya untuk para tamu. Sesekali dia tersenyum menanggapi lelucon dari para pengunjung, tapi kuyakini senyumannya palsu.

   Suara musik yang mengalun hanya angin lalu. Telingaku sepi, dan mataku tak bisa lepas dari wajah gadis itu. Gadis pramusaji yang sedang menatap langit-langi cafe sambil terpejam. Ada yang tengah mengganjal hatinya, meskipun aku tak tahu apa.

  'Ar, aku akan sedikit terlambat sampai di sana. Tak apa kan? Maaf membuatmu menunggu, di sini aku terjebak hujan deras dan belum bisa melanjutkan perjalan. *Gomen.'

   Itu adalah pesan yang kuterima beberapa detik yang lalu dari kekasihku, Naya. Aku hanya membaca pesan itu, tanpa membalasnya. Fokus tentang Naya menjadi pecah, setelah aku melihat gadis pramusaji. Ingin rasanya menyapa dan membiarkannya duduk di sini menemaniku, tapi  rasanya mustahil. Dia sedang bekerja dan aku pasti di larang untuk mengganggunya.
   Sial rasanya terjebak dingin sendirian di tempat seramai ini.

   Tanpa di duga, gadis itu menghampiri dan duduk di sebelahku. Berbasa-basi sedikit lalu, meninggalkanku untuk melayani pelanggan lain yang datang. Jujur saja aku merasa gugup. Aku takut dia seperti diperhatikan lebih ---dalam artian yang buruk. Bisa saja dia mencurigaiku karena menatapnya terlalu lama.

   "Menunggu seseorang, kah? Boleh saya temani, Kak?"

  Bukan enggan menjawab, hanya saja ada yang sangat mengganjal di lidahku. Rasanya kami pernah bertemu. Rasanya kami pernah bercerita, tapi kapan? Aku tak mengenalnya, tapi kenapa rasanya seperti pertemuan yang ke berapa kali. Lelucon yang buruk, saat aku tak bisa menjelaskan siatuasi yang kuhadapi seperti ini.

   "Nunggu kamu beres melayani pelanggan, biar aku bisa ngobrol lama sama kamu."

   "Saya free di sini, Kak. Tenang." Gadis itu lalu memanggil teman pramusajinya yang lain. Berbisik, membicarakan entah apa. Namun, kupikir itu cukup untuk membuatnya terbebas sementara untuk tak mengerjakan beberapa hal.

   "Hanya perasaan saya, atau memang kita pernah bertemu, Kak? Rasanya sangat familiar dengan wajah Kakak. Maaf jika saya bicara langsung pada intinya."

   "Kenapa samaan, ya? Pernah ke kota Bi mungkin, dan kita papasan? Karena ini baru ke tiga kalinya aku ke kota Tim, dan baru pertama kalinya ke tempat ini."

   "Saya belum pernah keluar dari kota Tim, Kak. Aneh juga, ya. Mungkin ini yang dinamakan de javu? "

   "Tidak berlebihan sepertinya."


   Kami berdua lalu tertawa, meski itu hanya basa-basi belaka. Apakah waktu memang pernah mempertemukan, atau hanya perasaanku saja? Aku diselimuti perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan dengan kata, dan kewarasan yang ada. Kesialan macam apa ini?


***


   Hampir pukul satu pagi, dan Naya belum sampai ke tempat ini. Kemacetan macam apa yang membuat seseorang belum datang hingga selarut ini? Demo? Car free day? Atau mungkin yang lebih parah, macet di atas kasur?

   Perasaan macam apa yang bisa menjelaskan bahwa aku dan gadis pramusaji bisa sedekat ini? Padahal kami baru bertemu, baru pertama kali berbincang, dan kami bisa selepas ini menceritakan perihal luka. Dia dengan gamblangnya menjelaskan kesendirian yang selama ini ia nikmati. Gadis itu berkata, bahwa mata yang kumiliki sayu, mirip matanya. Jadi, kami berdua bisa saling memahami bahkan tanpa kata sekalipun.

   "Cafe ini milikku, Kak. Pemberian suamiku yang saat ini sedang berada di istri pertamanya. Aku tahu jalan yang kulalui salah, tapi cinta kadang setega itu menjerat hatiku dengan tangan besarnya."

  "Setiap orang pasti pernah salah, tapi yang terpenting adalah memperbaiki diri. Benar, kan?'

   Gadis pramusaji itu tersenyum, menggenggam tanganku. Ada semacam kepercayaan lebih yang ia berikan padaku. Ada banyak hal yang lolos dari logika, dan tak bisa dicerna.

  Ponselku berbunyi saat pesan dari Naya masuk. 'Maaf, Ar. Suamiku tak jadi pergi ke luar kota. Mohon maaf untuk segalanya. Tak apa, kan?'

  Benar, sekarang sudah tak apa Nay. Jika kamu lebih memilih suamimu, biarkan aku juga gadis pramusaji yang saat ini berada di pundakku.

 


Lewat Mata kita berbicara

Bandung Barat, 01/11/2019


Saturday 4 January 2020

Prosais; Lembar-lembar Penantian


 Perempuan yang Memeluk Sepi


  Biar kuceritakan lagi semua pada sang waktu. Karena hingga kini, kau masih berdiam sebagai sebuah puisi, dan aku seutas tali. Kita baru bisa menggantung impian di langit sana, dan berusaha sejalur untuk menggapainya. Aku sedang berusaha, aku sedang berusaha.

   Kita berdua menempuh malam-malam dingin dengan khitmat. Membaca doa-doa pengantar tidur sebagai pembuka mimpi yang ingin diwujudkan. Kita berdua tak berniat menjadi mentari, atau hujan, atau apa saja yang diinginkan saat ini. Kita berdua hanya berusaha menjadi kita yang sesungguhnya, hanya versinya jadi lebih baik.

   Terlebih, kita menyadari bahwa angan yang terlalu besar selalu menjadi sakit pada sabar. Menikamati senja, pagi, atau siang terang dengan rasa yang ada. Kita tak harus pura-pura selalu bahagia, kita hanya perlu berbicara tentang masalah yang sedang diderita. Terlebih, kita hanya satu kesatuan yang mengharap petunjuk darinya-NYA.

  Pernah suatu ketika, bulan tenggelam dalam kubangan sehabis hujan. Ia bersemayam pada jalanan retak yang tak pernah tau apa itu pembangunan. Kau membiarkannya begitu saja. Kau bilang masih nyaman dengan sepi, masih asik merayakan malam-malam panjang dengan kesendirian. Namun, yang terdengar di telingaku, kau masih menungguku yang asik menari di dekat api.

   Bulan itu padahal menyiapkan hangatnya pelukan, indahnya kebersamaan dan sebuah kata bernama cinta. Namun yang tanpa kita. Kau masih enggan merentangkan tangan dengan banyak pilihan hidup. Kau memperkecil kemungkinan dengan terjerat pada pembelaan-pembelaan. Membuatku bingung harus merasakan apa, tersenyum karena merasa berharga di hatimu, atau merasa brengsek membuatmu menunggu terlalu lama.

   Memang benar, aku ingin berbagi resah di pelukmu, merebahkan gundah, di antara bening matamu, tapi haruskah aku memberi makan ego lebih dari ini? Membiarkan kau menunggu dan memeluk dingin itu lebih lama.

   Luka dan sunyi itu seperti piring dipukul sendok, terus berdentang di malamku, dan rasa bersalah ini hampir menenggelamkanku dalam matamu.

Bandung Barat, 15/11/2019


Pict; Lembar-lembar Penantian



Sebuah Kisah Perihal Menunggu


  Perihal hidup yang angan, yang ingin, yang angin.  Atau perihal doa-doa panjang yang jadi aamiiin. Atau perihal hal-hal yang sudah lama hancur dan ingin diperbaiki kembali, dan entahya harus di mulai dari mana.

  Manusia selalu menjadi pendamba paling rapuh, yang mencintai dan berharap utuh. Atau berharap luka-luka itu sembuh, dengan obat paling ampuh. Ia berusaha mencintai orang lain dengan mengorbankan dirinya, atau mencintai dirinya dan mengorbankan orang lain. Mereka menjalin kisah yang rumit untuk diungkit, terlalu laknat untuk khianat, dan mati dengan mengucapkan selamat  saat sekarat.

  Aku, kamu, dan mereka yang melintas pada keabu-abuan. Yang mencoba duduk dengan sungguh, tapi tak berniat singgah. Menjadi segenap pelipur lara yang mengobati luka. Kita sama-sama mencari pengobatan penyakit bosan berada di kehidupan.

  Ada kalanya, kita tersenyum saat menangis, atau menangis dalam senyum. kita berusaha menjadi diri sendiri, memaklumi apa yang terjadi, dan mencari celah untuk tak kalah. Kita semua membiarkan ego memakan segalanya.

  Dan di titik ini, kita berusaha membiarkan takdir menarik apa yang hendak datang, dan membiarkan pergi apa yang tak ingin terjadi.

Bandung Barat, 15/11/2019

 

Thursday 2 January 2020

Cerpen; Seorang Gadis Patah Hati


 Seorang Gadis Patah Hati


   "Ingin rasanya lebih lama bersamamu, Kak. Namun, jika ini akhirnya, rasanya ... rasanya ...."

   Tangis menutup kalimat yang harusnya tak pernah gadis itu ucapkan. Ia masih meyakini tentang pilihannya. Ia masih mengharapkan lebih perihal seorang lelaki yang sangat dicintainya. Lelaki itu pernah menguatkan saat rapuh, mengajaknya bersiri saat terjatuh. Mengajarinya lagi tawa setelah kecewa.

   "Dasar bodoh!" Di sela tangisnya yang terisak, umpatannya terdengar serak. Terlambat gadis itu menyadari, ia telah jatuh bahkan tanpa nyeri. Terperangkap dalam senyuman yang begitu memabukkan.

  "Dia cuman sok dewasa, gak pernah mikirin aku, egois, meyebalkan dan ..., dan ..., aku mencintainya."

   Kembali ia mengingat semua hal tentang si lelaki. Senyumannya, caranya berbicara, dan caranya diam ketika marah. Terkadang menyebalkan, egois, pengatur. Jadi bagaimana bisa ia mengambil hati yang selama ini terkunci? Bagaimana ia bisa membobol, lalu membawanya?

   Sebelumnya, gadis itu hanya menganggap si lelaki biasa saja. Ia berpikir bahwa datang dan pergi memang sebuah kewajaran, hingga tak perlu terlalu dalam mencintai. Agar kelak, ketika waktu telah memisahkan, gadis itu masih bisa mengucapkan selamat dengan senyuman.

   "Kak, aku suka." Terdengar lirih tanpa kepercayaan. Air mata berjatuhan, dan perlahan ia terlelap. Entah masuk ke dalam mimpi, atau kesedihan yang ia pendam sendiri.

***

   Awan menutup segala bentuk cahaya matahari agar tak sampai ke bumi. Hujan mengetuk kaca jendela, mengantarkan setipa kenangan pada para pemiliknya yang sengaja diacuhkan. Berusaha dilupakan.

   Sebuah pesan masuk lewat sebuah aplikasi ke dalam gawainya. Di sana muncul nama seorang lelaki yang dikenalnya. Rudi. Gadis yang sedang melambungkan imajinasinya jauh sembari menatap kaca berembun itu segera membuka, lalu membaca pesannya. Susah lama sekali ia tak mendapatkan pesan dari Rudi. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka berdua renggang, mereka berdua tau ada yang salah, tapi tak berani meminta maaf dengan segenap rasa bersalah.

   (+) Non, Rudi masih punya hutangkan, ya? Boleh gak, sangat berbeda dengan yang dijanjikan?
   (-) Tentu aja, Kak. Kukira kakak lupa
   (-) tapi jangan dengan hal sedih
   (-) eh, tapi terserah deh
   (+) Emang selain sedih dan romance, tulisan apa yang Rudi bisa?
   (-) Em ... gak tau hehehe
   (-) terserah aja deh. Aku mau ngerjain dulu beberapa tugas. Mau ketemu jam berapa?
   (+) Sore. Di tempat biasa
   (-) Oke kak

   Gadis itu segera menghabiskan kopi yang masih tersisa, menutup layar gawainya. Ia ingin menghilangkan kekakuan di antara mereka, menciptakan suasana hangat yang sudah lama pudar. Hingga ruang dan waktu yang sering kali memisakan tak berarti apa-apa. Namun, ia pun menyadari posisinya saat ini. Jika ia terlalu memaksa, dan salah bertindak, hubungan ini bisa retak

   Meski terkadang bersikap tak dewasa, tetapi sebenarnya ia telah mengambil beberapa kewajiban yang tak semua orang seusia dengannya bisa melakukannya.

   Kesehariannya sangat tak mudah, bahkan bisa dibilang sangat melelahkan. Ia berusaha melakukannya sebaik mungkin, untuk menjawab beberapa omongan miring tentang dirinya.

   Beberapa ketukan pintu, membuatnya berhenti sejenak.

   "Iya?"

   "Kak Ame, tolong segera turun. Yona sama Sagara harus segera ke sekolah."
   "Kakak segera turun, maaf membuat Yona menunggu."

   Ia lalu teringat pada beberapa keponakan yang dicintainya. Ia lalu berpikir, apakah ia akan diingat sebagai  bibi yang baik, atau sebaliknya? Tak terasa, beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Panas, sesak, tapi ini adalah jalan hidup yang telah gadis itu pilih. Ia segera menghapus air matanya, dan bergegas turun.

***

  (+) Rudi sudah di taman
  (-) Maaf jika harus menunggu agak lama. Boleh?
  (-) masih ada pekerjaan, hehe
  (+) siap

   Rudi menarik napas berat. Dia tahu hadiah ini akan menyakiti gadis itu. Namun, ada banyak hal yang harus laki-laki itu ceritakan, dan berhenti menyembunyikan. Kejujuran mesti diungkapkan, meski berisi kepahitan sekalipun.

   Ditatapnya langit. Awan-awan mulai berjalan bergandengan, tapi angin membuat celah di antara mereka. Hingga terpisah dan harus saling merelakan.

  "Ini keputusan terbaik. Jika aku benar-benar menganggapnya adik, dan berharap ia bersikap lebih dewasa. Tolong mengerti, Ame," ucapnya berbisik pada diri sendiri.

   "Maaf membuat kakak menunggu."
   "Santai, Non. Rudi lagi free kok."

   Canggung. Sesampainya gadis itu di taman, ia langsung duduk di samping Rudi. Mereka berdua hanya terbatas sekat besi sejengkal. Taman kota sengaja membuat bangku taman seperti itu agar para muda-mudi yang sedang melakukan pendekatan tidak terlalu berhimpitan.

   "Silahkan dibaca. Maaf jika tak sesuai ekspektasi dan juga agak lama, hehe."

   "Gakpapa, Kak. Terima kasih. Aku baca dulu, ya?"

   Angin berhembus, suara orang-orang lalu lalang, dan kalkson kendaraaan menjadi lattar yang memecah kejanggalan di antara mereka. Rudi bisa melihat, ada raut muka yang berbeda dari gadis di sampingnya. Ia sudah tahu pasti akan seperti ini, dan menunggu kemarahan Ame.

   "Jadi begitu, ya?" Ame berdiri, lalu melangkah menjauh dari lelaki yang mengisi lamunanya beberapa purnama terakhir. Gadis itu tak bisa lagi berpikir tenang setelah membaca tulisan yang diserahkan Rudi. Ada air mata yang memaksa untuk jatuh ke pipinya.

   "Dasar bodoh!" gerutunya pada diri sendiri. Dia sadar telah melakukan sebuah kesalahan dengan tak mengakui perasaannya selama ini. Namun, haruskah perbuatan itu dibalas secepat ini.



 Sedikit menikam untuk diceritakan
Namun, terlalu berdarah untuk disimpan sendirian
Aku tahu kamu kuat dan selalu berusaha menjadi yang kamu inginkan
jadi, sebelum kamu membaca tulisan ini sampai akhir
aku mohon ...
agar pertemanan ini terjalin hingga akhir.

Ada jalanan sepi yang mulai
dilupakan. Tak ada lagi pejalan yang mau
melewatinya. Takdir membuatnya kesepian.

Waktu merambat menggerayangi kalender 
bergambar tak senonoh toko emas.
Kini jalanan itu telah diubah menjadi rumah
sederhana. Ia telah dimiliki.
Ia menerima takdirnya, sebagaimana langit
menerima hujan dan panas bergantian

Kamu dan beberapa orang lain, serupa pejalan
yang berharap bisa menemukan jalanan sepi.
Aku adalah jalanan itu sendiri.


Mei, 2019



Wednesday 1 January 2020

Tips; Bagaimana caranya membuat cerpen yang menarik?

Bagaimana caranya membuat cerpen yang menarik?

  

   Ini adalah pertanyaan yang sering kali jadi perhatian penulis pemula. Berbagi tips? Sebenarnya saya juga baru --dan sedang-- belajar. Tapi bolehlah, nasihat dari mentor ini saya share-ing di sini. Sudah siap? Ini dia 3+1 tips membuat cerpen menarik. Go!

1) Opening Cerita Yang Menohok

    Ada yang pernah baca cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma? Atau cerpen sureal gaya A. Muttaqin? Apa isi paragraf-paragraf pertama yang tercantum di sana?


Saksi Mata
(Karya Seno Gumira Ajidarma)

   Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.


Sepotong Senja Untuk Pacarku
(Karya Seno Gumira Ajidarma)

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Kisah Semprul Seputar Matahari
(Cerpen A. Muttaqin)

Satu yang amat kubenci dari matahari adalah kegemarannya memberi teka-teki. Pagi tadi, ia tiba-tiba turun, menyaru sebagai lelaki tampan kemudian mencium bunga sepatu di depan rumahku. Terang saja bunga sepatu itu menjadi merah, merah kemalu-maluan, kemudian mengembang sebesar corong. Seperti uap, si lelaki jelmaan matahari lalu lenyap. Bunga sepatu yang merah kemalu-maluan oleh ciumannya itu pun menjawil lenganku dengan batang benang sarinya yang menjelma jadi tangan. 

Batu
 (Cerpen A. Muttaqin)
Begini, Saudara, kuceritakan semuanya secara berurut saja. Betul, ini tentang lelaki yang kini menggegerkan kampung kita itu. Maaf kalau cerita ini membuat tidak enak Saudara yang kebetulan kerabat, kawan kental, atau kolega lelaki itu. Ketimbang banyak gosip menyembul seperti bisul, izinkan aku membeberkan kisah yang betul.

   Keren? Tentu saja. Itulah magic word yang membuat pembaca penasaran dengan isinya, menjadi lentera dalam membangun sebuah dunia dalam kata. Kita bisa langsung menancapkan konflik di kalimat pertama, atau hal-hal di luar logika. Sangat saya garis bawahi, opening seperti pembawa berita cuaca sudah terlalu banyak, sekuat apa pun pilihan kata yang dipakai. Rasanya sudah sangat sulit untuk menarik perhatian pembaca. Jadi, sebisa mungkin jauhi ) agar pembaca tidak merasa bosan dengan karya kita.


.

2) Pemilihan Diksi Untuk Alur Yang Mengalir Dan Ciamik

   Dalam pemilihan diksi, setipa orang mungkin akan melakukan banyak improvisasi dalam melakukannya. Dalam dalam hal ini, Admin belum memiliki contoh yang dapat menjabarkan, atau menjelaskannya secara rinci. Jadi, mohon dimaklumi hohohoho.



3) Penutup Twisted


  Hmmm, sebenarnya, ada beberapa cara memilih menutup sebuah cerpen. 2 hal yang akan saya coba rincikan perihal penutup.

1 Kalimat Penutup Yang Menggantung


   Seperti halnya fiksi-fiksi pendek seperti FiksiMini (FM) dan FlashFiction (FF) {di kedua jenis tulisan ini, saya belajar banyak hal tentang kekuatan mengefektifkan kata, melogika-kan cerita fiksi, juga cara mengemas cerita dengan sudut pandang yang berbeda) ending gantung sebenarnya tak akan terlalu sulit dibuat, selama poin satu dan dua kita tulis dengan sukses. Perihal ending gantung ini, saya pernah 'berguru' pada seorang perempuan yang bisa dibilang (hampir) selalu membuat cerita dengan ending yang tidak menjelaskan secara rinci dan tergantung pada sudut pandang pembaca.


   Contoh tulisan ending gantung

Mendaur Ulang Sampah Menjadi Karya

   "Tak perlu, Bu. Dikasih obat merah juga nanti sembuh," ucapku sambil  berusaha menahan sakit. Kuambil gawai dalam saku celana. Membuka watsapp  dan mencari kontak Satria, temanku yang senang membuat patung berbentuk  manusia.
 

  Sat, di daerah yang sedang kugarap ada sampah  masyarakat besar yang bisa jadi bahan. Mau dibungkus? Segera kuketuk  pilihan kirim, sambil memegang bibir yang terus berdarah.


2 Penutup  Yang Tak bisa Diprediksi Pembaca Sebelumnya

    Perlu diperhatikan, dalam membuat ending ini, kita harus bisa memberikan beberapa poin dalam bentuk puzzle-puzzle pada opening dan alur, hingga di akhir cerita, kita bisa merangkum awal, tengah dan penutup. Hingga pada akhirnya, akan membuat pembaca meng-amini bahwa tulisan kita tidak seperti orang yang ngopi tiba-tiba digampar (istilah Mbak Ajeng Maharani) atau tidak membuat dahi pembaca mengkerut, terus bilang, 'Ini gak masuk logika, deh.'



3+1 


   Ini hal terakhir dan yang paling penting, paling harus dilakukan. Mulailah menulis! Ini poin maha penting, karena sebaik apa pun opening, alur yang mengalir dan ending yang menghentak, selama itu hanya ada di bayang-bayang, bagaimana mungkin orang lain bisa membaca karya kita. Ke tiga poin di atas bukanlah hal baku dan pakem membuat cerita baik, karena setiap penulis, suatu saat nanti, harus memiliki ciri khasnya sendiri, seiring kebiasaan menulis-membaca dan terus seperti itu. Saya sebagai pemula, terkadang saran-saran di atas bisa menaikan rasa percaya diri, dan suntikan motivasi seperti tulisan di atas semoga bisa menjadi pemacu kita --aku dan kamu, ehemm-- terus berkarya lebih baik lagi. Salam Literasi, Imajinasi dan lestari.