Saturday 27 July 2019

Cerpen; Disembunyikan

Disembunyikan




   "Kita harus akhiri cerita ini, Sin." Lelaki bermata coklat itu berbicara dengan penuh perasaan kepada gadis berambut pirang di depannya.

   "Gak bisa! Pokoknya aku gak mau!" emosi, Sindi meninggikan nada bicaranya.


   "Kamu harus bisa relain aku, Sin. Maaf, jaga diri kamu baik-baik."


   "Jadi ini akhirnya? Tapi kenapa, Elekto?"


   "Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu." Elekto berdiri, lalu memeluk gadis itu sesaat, "nyanyikan lagu indah, sebelum kupergi dan mungkin tak kembali." Lagu itu keluar begitu saja. Lalu lelaki bermata hitam itu pergi meninggalkan ruang perpustakaan.


   Awan-awan berarak, para pohon menari mengikut alunan angin. Kertas-kertas cerita usang; berdebu. Pemilik rindu di hati Sindi hendak meninggalkan kenangan.


   Hati gadis bernama Sindi remuk saat itu, ruang perpustakaan kini terasa sangat gelap. Lelaki impian yang jadi penerangnya kini telah hilang di hadapannya. "Mungkin, Elekto tersesat di hati gadis lain, atau terlalu lelah menghadapi ke egoisanku," pikirnya.



***

   Jeritan bel sekolah, mempersilahkan para siswa untuk meninggalkan ruang belajar. Buku-buku pelajaran telah memasuki tas para murid, dan seperti biasa antrian membludak di depan gerbang sekolah.

   Namun seorang gadis berambut pirang, malah menangis di sudut kelas 11 Ips, ditemani gadis lain yang bertubuh lebih pedek.


   "Kuat. Kau tak boleh terus menangis. Harusnya lelaki itu yang menyesali semua ini," batinnya berusaha tabah menerima kenyataan, mencoba menyemangati lagi badan dan hatinya yang rubuh.



***
   "Sin, kau telah menangis hampir dua jam. Jika kau terus menangis di sini, maka kita akan menginap di sekolah," ucap Lucy, sahabat Sindi yang sedari tadi menemani.

   "Maafkan sahabatmu yang cengeng ini," masih sesenggukan Sindi menjawab. Lalu tangan mulus itu menyeka wajahnya yang masih berlinang air mata, "mari pulang, Lucy."


   "Tak mengapa, jika aku jadi kau, aku pun pasti menangis."


   Dari luar kelas, sepasang mata hanya memperhatikan dua gadis itu berpelukan.



***

    "Aku akan menginap malam ini bersamamu."

   "Tak usah Lucy, kau sudah lelah berusaha mendengarkan cerita gadis payah sepertiku." Sindi yang berbaring, kini terbangun dan duduk, "istirahatlah malam ini, aku sudah cukup tenang."


   "Tak mengapa, aku pun telah mengabari keluargaku. Jadi, mereka tak akan menghawatirkanku."


   "Terima kasih, kau adalah sahabat terbaik."


   "Sama-sama, kau pun pasti akan melakukan hal ini jika seandainya kita bertukar posisi," berandak, Lucy melihat-lihat buku di atas rak, "Sin, aku bantu menyiapkan pelajaran untuk esok ya?"


   Sindi hanya mengangguk, lalu membaringkan tubuhnya.


   Srett ... tas sekolah Sindi di buka, terselip sebuah amplop berwarna putih. Lucy menatap sahabatnya yang telah berada di alam mimpi.


   "Aku baca duluan. Maaf ya."



***

Dear Sindi
Maaf jika cinta kita harus kandas begitu saja. Namun, kau harus tau bahwa aku sangat mencintaimu. Kenangan-kenangan kita akan selalu kukenang, dan akan selalu kurindukan.
Sin, malam ini aku akan terbang menuju Inggris untuk membantu paman di tokonya, sebagai bayaran atas hutang orang tuaku padanya, dan rasanya tak mungkin aku akan kembali ke negeri ini. Itulah alasan semua harus terjadi, Sin. Semoga kau mengerti.
"Nyanyikan lagu indah, sebelum kupergi dan tak kembali"
Elekto
 
***

   Lucy menghirup nafas dalam-dalam, lalu melirik sahabatnya. "Ini bukan inginku, tapi aku harus," bisik gadis itu, sambil memasukan surat yang dikirimkan untuk Sindi ke dalam sakunya. Meneruskan membereskan buku, lalu tidur di samping sahabatnya.

   "Jangan sampai dia tahu," bisiknya sebelum terlelap.

Saturday 6 July 2019

Cerpen; Perjalanan (2)



 Perjalanan (2)




                Aku sedang duduk di dalam kereta. Melihat-lihat cahaya kota dari kaca jendela. Kota yang kulalui sedang terlelap, dan enggan diganggu. Kesendirian yang kurasa menjelma ilusi yang nyata. Ini perihal seseorang yang pernah singgah, tapi tak benar-benar bertahan dengan sungguh.

Kesepian menjelma pengawas yang kejam, dan aku hanya seorang pandir pada ruang bernama kenangan. Menyeret, dan menenggelamkan kepalaku pada ember berisi ingatan-ingatan. Aku bisa mengingat lagi semuanya dengan jelas. Tentang warnamu, tentang aromamu, tentang gaya bicaramu, bahkan tentang caramu menatapku malu. Sungguh sialan sepi ini. 

“Masih ingat tidak, perihal perlakuan baik kita pada seseorang akan terbalas suatu saat nanti?”

“Iya. Aku masih mempercayainya. Kamu juga-kan, Puisi?”



“Tentu saja. Aku yang berkata, dan aku juga harus yang bertanggung jawab. Ar, seharusnya kali ini kamu mampir dulu ke kotaku. Meski hanya sekadar teman, ada banyak yang bisa kita diskusikan.”



“Mungkin benar, Puisi. Aku bisa saja mampir ke rumahmu, lalu berkenalan dengan setiap anggota keluargamu. Tapi apa mungkin, Puisi, perasaan ini dapat mengecil hingga hilang, sedangkan tanpa menatap matamu secara langsung saja aku sudah begitu kepayahan. Apa lagi jika melihat semua tentang kamu. Aku benar-benar takut menjadi egois. Jika terus memaksamu mencintaku, tanpa memikirkan perasaanmu”

“Sebaiknya kamu membuka hatimu untuk orang lain terlebih dahulu, sebelum kita bertemu, Ar. Kamu boleh mencintai siapapun, karena itu hak kamu yang pernah aku renggut dari kamu. Namun, jika aku boleh, tolong jangan pernah melupakanku.”

Deru roda kereta mengisi kekosongan bunyi di telingaku. Memecahkan kesunyian yang telah menenggelamkan setiap keinginan menjadi satu titik. Sangat menginginkan menjadi nyata, tapi menjauh dari genggaman dunia.

Kereta terhenti di Stasiun Ciawi. Aku turun beseta beberapa penumpang lainnya untuk merokok. Bintang-bintang di langit sana berkedip, mungkin mengerti kegelisahan isi hati, atau berusaha berkata bahwa seseorang di sana merasakan hal yang sama. Entahlah.

“Mas, boleh pinjem koreknya?”

“Silahkan, Pak.”

Kami lalu sedikit berbasa-basi, sebelum pada akhirnya kembali hening. Udara dingin tengah malam tak kami anggap serius. Maksudku, hanya angin lalu.

“Mungkin benar, Ar. Perjalanan ini tak benar-benar bisa kau nikmati. Namun, apa mungkin perjalanan ini akan kau lupakan dengan mudah?”



“Maksudmu, Puisi? Aku benar-benar tak mengerti.”


“Meski perjalanan ini terlihat sederhana, dan sedikit membosankan, tapi kau bisa sedikit menikmatinya. Seperti kisah kita yang pernah terjalin, meski berakhir menyakitkan, tapi percayalah bahwa hal itu pada akhirnya dapat menguatkan. Waktu juga pasti bisa menjawab, bagaimana nanti kita akan terbiasa meski tanpa kata bersama.”

Peluit petugas melengking tajam, dan perjalanan yang melelahkan ini akan kembali dilanjutkan. Para penumpang terlihat mulai terlelap ke dalam impian.

“Berjanjilah, bahwa kamu akan menjadi biasa saja tanpa aku, atau mungkin bisa menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Siapa tahu, Ar. Jangan menutup diri pada gadis-gadis yang berada di sekitarmu. Mengobrollah seperti biasa, sebagaimana Ardi yang selama ini kukenal.”

“Apa itu tak akan menyakitimu, Puisi?”

“Mungkin, sedikit. Tapi ada banyak hal yang aku yakini akan lebih sakit adanya, terlebih, melihat kamu sulit tersenyum seperti dulu. Kamu mungkin bisa tertawa keras, meski hatimu tidak. Tolong jangan jadi apatis, ya? Ardi yang kukenal orangnya sangat baik, dan ramah loh. Hahah.”

Lelucon yang buruk. Namun setelah mendengar penuturan itu, ada bagian yang merasa terampar dalam diriku. Apa mungkin aku menjadi seapatis itu? Apa mungkin, ada perbedaan yang jauh saat aku mengenalnya, dan saat ini aku tak lagi bersamanya? Lagi pula, bagaimana dia tahu?

“Percaya atau tidak, Ar. Ada banyak orang yang merindukan kamu yang dulu. Bukan tak baik menjadi diri kamu yang menutup diri sepeti ini, hanya saja, kamu dan orang-orang yang berada disekitar kam yang akan merasakan dampak paling besar adanya.”

“Aku akan berusaha, jadi tolong biarkan aku beristirahat malam ini, oke?”

“Dia mengecup keningku, lalu melebur bersama waktu.



Pict By Author


Ciawi, Tasikmalaya 2019
Dalam perjalanan Kiara Condong - Purwosari