Tuesday 29 January 2019

Cerpen; Sssttt! Berdoalah, Ini Hanya Mimpi Buruk

   "Tolong jangan lakukan itu! Aku mohon!" Sam berteriak, tubuhnya bergetar ketakutan saat menatap sosok samar di depannya. Sosok itu tengah menyeringai, memperlihatkan giginya. Dalam kegelapan, Sam melihat sosok itu hanyalah bayangan hitam seorang perempuan.

   "Aku akan menepati janjiku untuk menikahimu! Tapi tolong, jangan lakukan itu. Jangan!"

   Pisau itu hampir mengenai tubuh Sam. Wanita di depannya tersenyum. Dia mundur beberapa langkah, menyebabkan lantai yang terbuat dari papan kayu menderit. "Kau janji?"

   Lelaki itu mengangguk penuh pengharapan. Wajah Sam yang sebelumnya pucat, berangsur normal. Dia menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu berjalan perlahan menuju sosok di depannya.

   "Baiklah, aku akan bertanya satu hal padamu. Apakah kau mencintaiku?"

    Suara teriakan lalu menyudahi percakapan sepasang kekasih tersebut.


***

   Selusin kelelawar berputar di langit dengan  gelisah. Embus angin menarikan pohon beringin di sebelah rumah tua. Rumah bergaya kuno itu berdiri di tengah-tengah kebun teh yang terhampar sepanjang mata memandang. Tak ada seorang pun warga sekitar yang berani mendekati bangunan tua itu, sebelum matahari benar-benar menghilang. Apalagi setelah malam menyelimuti desa  seperti sekarang.

   Namun di suatu tempat, empat orang mahasiswa sedang berkumpul, merencanakan pencurian barang antik di sana. Sudah beberapa kali mereka ke sana, menggali informasi tentang semua hal yang berhubungan dengan rumah itu. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengetahui seluk beluk rumah. Hingga akhirnya mereka bisa mengumpulkan data, lalu menyusun strategi untuk menjarah isinya.

   “Amira, Sayang. Kenapa kau melamun?”

   “Aku ragu, Sam. Apa semua ini tak akan berbahaya? Cerita di masyarakat tentang rumah itu sungguh ....”

   “Tenanglah, Sayang. Semua cerita itu hanyalah isapan jempol belaka. Tak pernah ada yang aneh, selama kita memeriksanya, bukan?”

   “Tapi saat itu ....”

   “Lagi pula ada aku.”

   “Boleh tidak aku diam saja di sini?"

   “Apa kau tidak percaya padaku?”

   Wanita berambut sebahu itu terdiam. Menutup matanya beberapa detik, lalu mengangguk pasrah. Wajahnya yang cantik terlihat begitu pucat. Keringat dingin pun perlahan menetes dari pelipisnya.

   “Baiklah. Mari kita hampiri Rangga dan Dara. Mereka pasti sudah lama menunggu. Jangan hawatir, semua akan berjalan sesuai rencana.”

   “Apa kalian sedang berdoa sebelum mencuri, hah! Dari tadi Rangga telah menggerutu di ruang tamu.”  Tiba-tiba saja, Dara sudah ada di depan pintu. Dengan tatapan penuh amarah, irisnya menyapu pasangan kekasih yang tengah duduk berpegangan tangan.

   “Apa kamu tidak takut pada cerita  tentang rumah itu, Ra?”

   “Tentu saja tidak! Aku selalu memakai jimat dari Mbah Karto. Jadi, seharusnya penunggu di sana yang takut padaku. Lagi pula, aku pandai memainkan pisau lipat dan tak akan segan-segan memakainya,”  --dikeluarkannya pisau lipat di sakunya-- “sudahlah, ayo kita segera turun!"


***

   Lima belas menit berlalu. Mereka kini telah sampai di sebuah pintu -- lebih tepatnya lubang kecil,  dibuat dengan meruntuhkan beberapa bata. Pintu yang selama ini dipergunakan untuk orang-orang penasaran yang ingin masuk ke rumah tua itu. Sebenarnya, ada gerbang besi berkarat di sebelah utara, tapi para pencuri lebih memilih lubang ini. Menurut perhitungan mereka, akan lebih mudah masuk dan keluar.

   Amira ditinggalkan di sini sendirian.  Dia bertugas  berjaga-jaga. Siapa tahu ada warga yang mendekat karena mendengar dan menyadari mereka masuk ke rumah itu. Meskipun jarak rumah terdekat sangat jauh dengan rumah tua, tetapi mereka harus tetap waspada. Begitu kata Rangga saat mereka membagi tugas.

   "Jaga semua dengan baik, Sayang. Kami mengandalkanmu." Sam mengecup kening Amira, lalu berjalan menyusul Dara dan Rangga yang telah melewati pintu itu  terlebih dahulu.

***

   Lampu senter menerangi jalan mereka bertiga. Setelah beberapa menit melewati ilalang liar setinggi orang dewasa. Mereka akhirnya sampai di teras depan. 

   Di langit, sinar rembulan perlahan meredup, ditelan arakan awan yang berjalan dari barat. Suara burung hantu menambah aroma mistis yang menguar malam ini. Namun mereka sudah tak peduli.

   Dara mengeluarkan peta dari sakunya, lalu memberikan intruksi pada Rangga dan Sam. "Rumah ini memiliki ruang bawah tanah. Aku yakin, ada lebih banyak barang antik di sana, dari pada bagian lain."

   Mereka langsung menuju ruangan yang diperintahkan Dara. Melewati teras, ruang tengah, lalu masuk melalui pintu kecil yang berada di bawah tangga.  Lantai dari kayu itu menderit, saat sepatu Rangga menginjaknya.

   Mereka terpana sekaligus terkejut. melihat ruangan itu, ruangan yang hanya dua kali dua meter itu lembab sekali. Udara terasa lebih dingin di banding di ruangan atas. Beberapa tengkorak manusia tergeletak di sana, di atas sebuah karpet berwarna merah. Dikelilingi lilin-lilin pendek yang diletakkan dengan bentuk pentagram.

   Rangga langsung mengarahkan cahaya senter ke dinding, lalu mengamatinya. Di sana ada banyak sekali ukiran-ukiran kayu yang tergantung. Meskipun beberapa telah sudah lapuk dimakan zaman.

   "Ga, kau sudah puas menatap semua ukiran itu? Sudah tahu benda mana yang berharga dan mana yang tidak?" Sam yang pertama kali membuka mulut, setelah beberapa menit mengamati semuanya. "Aku sudah tak kuat menghirup udara di sini, Ga. Sepertinya benar kata penduduk. Rumah ini pernah dihuni keluarga yang menyembah setan."

   "Pergilah kalian keluar terlebih dahulu! Aku masih memperhatikan benda mana yang harganya paling pantas untuk kerja keras kita berempat malam ini."

   "Baiklah. Kami berdua akan keluar."

***  

   "Sam, apakah hubungan kita akan terus seperti ini?" Dara langsung membuka percekapan, saat dia dan Sam berada di teras depan.

   "Tentu tidak, Honey. Hanya saja, kita tak mungkin mengatakan itu kepada Amira dan Rangga, sebelum uang hasil curian dibagikan. Kita baru bisa mengatakan pada mereka setelah kita pergi jauh."

   "Boleh aku mengatakan sesuatu, Sam? Aku sangat cemburu melihat kalian begitu mesra."

   "Bersabarlah, sandiwara ini cepat atau lambat pasti kita akhiri. Maaf jika hal itu menyakiti hatimu."

   "Tak mengapa. Aku hanya ingin kau tahu saja. Kau mau mengantarku ke kamar kecil?  Padahal tadi aku sudah beberapa kali ke kamar mandi di rumah Amira. Semoga saluran airnya masih berfungsi."

   "Tidak, Honey. Aku akan menunggu di lantai atas."

***

   Baru saja Sam menapaki tangga terakhir. Terdengar suara benda terjatuh. Lelaki itu memperkirakan dari ruangan bawah tanah, tempat Rangga memeriksa. Secara reflek, lelaki itu langsung turun dengan terburu-buru. Memastikan apa yang telah terjadi. 'Semoga hanya benda biasa yang terjatuh,' bisiknya.
Dibantu penerangan dari senter yang dia bawa, Sam melihat Rangga telah mati mengenaskan. Dadanya robek.

   Lelaki bertubuh tinggi itu segera keluar dari ruang bawah tanah. 'Jika bukan ulah hantu, itu pasti pekerjaan orang yang pandai memainkan pisau. Di antara kami bertiga, hanya ....'

   Tergopoh-gopoh Sam berlari menuju kamar mandi. Di sana, Dara tengah membasuh mukanya beberapa kali. Dibersihkannya pisau lipat yang selalu dibawanya ke manapun--sesuai pengakuannya.

   Wanita itu menoleh, dan mendapati Sam tengah memperhatikannya. Mematung.

   "Tadi kamu bilang tak ingin menemaniku, Sam."

   "Jangan berbasa-basi! Kenapa kau membunuh Rangga? Ayolah, meskipun kita akan pergi jauh, kita tak boleh membunuhnya!”

   "Apa maksudmu? Aku sedang mencuci muka, dan kamu datang-datang menuduhku hal yang tak kutahu"
    “Jangan berlagak bodoh!”

   Sam bergerak, menangkap Dara dan mengikatnya. Lalu menyeretnya menuju tempat Rangga tergeletak. Pisau di saku wanita itu dilempar ke halaman. Sam segera memikirkan Amira. Dia takut kekasihnya juga mendapatkan perlakuan serupa. Lelaki itu berlari menjemputnya.

   "Jangan sampai, jangan sampai!" ucapnya sedikit keras.

***

   Semuanya berjalan begitu cepat. Sam dan Rangga kini telah terbujur kaku di ruang bawah tanah. Dara yang terikat kaki dan tangannya menatap sosok di depannya dengan tatapan penuh amarah. Amira lalu mulai menyalakan lilin-lilin di sekitarnya. Mungkin untuk menerangi mereka berdua, atau menyiapkan sebuah upacara.

   "Tak usah membenciku seperti itu, Ra. Sebentar lagi kau akan sama seperti mereka."

   Antara rasa terkejut, takut dan jijik menyatu di wajah Dara. Dia berusaha melepaskan tali yang mengikatnya, tapi tak bisa.

   "Kenapa kau melakukan semua ini, Amira?"

   "Baiklah, dari pada kau terus penasaran apa sebenarnya yang telah terjadi. Akan kujelaskan semuanya padamu, agar kau bisa mati dengan tenang.

   "Sebenarnya akulah yang memberitahu Rangga tempat ini, menyimpan denahnya dalam tasmu, dan memanggil seorang anak kecil untuk memuluskan semuanya. Kau tahu siapa aku sebenarnya, Dara? Aku adalah anak pemilik rumah ini, yang dibakar warga karena difitnah telah memuja setan."

   Tok! Tok! Tok!

   "Naah, kita kedatangan tamu. Pantas selama ini aku tak bisa menyentuhmu, Ra. Aku baru tahu kau memakai jimat, sekarang. Lengkap sudah."

   Dara berusaha mengeluarkan pisau lipat lain di sakunya. Benda yang mungkin bisa menyelamatkan dirinya dan seseorang yang sedang mengetuk pintu ruangan ini

   "Akan kubalas kematian kedua kekasihku!" Dara  berbisik pada dirinya sendiri, sambil melompat, menghunuskan pisau ke arah  wanita di depannya. Dia harus cepat, hanya ini kesempatannya membunuh Amira.

*** 

   Esoknya, para warga mendatangi rumah tua. Mereka melihat empat orang mayat, dan seorang anak kecil lusuh yang diketahui adalah salah satu anak dari warga di sana. Anak itu tak sadarkan diri. Setelah bermusyawarah dengan pemuka agama dan para sesepuh, para warga menguburkan ke empat mayat itu.

   "Syukurlah kau baik-baik saja!" ucap seorang ibu sambil memeluk anaknya yang baru siuman. Dia tak menyadari, tatapan dan seringainya yang menyeramkan.

Bandung Barat, 2017 -2019

Friday 4 January 2019

Prosais; Untuk Seseorang


Untuk Seseorang




   Seolah waktu terbuka. Mengurai ingatan-ingatan perlahan. Aku sadar menyakiti. Namun, pembelaan tentangmu yang datang dan pergi membuat semua ini terjadi. Terserah luka kini, akan hinggap di mana ia nanti.

   Bukan karena perasaan ini telah hilang. Walau jika harus jujur, serupa aroma tanpa udara, musik tanpa telinga dan lautan tanpa air. Seolah keputusan yang telah kuambil menghancurkan dunia. Meskipun jika itu dunia kita, benar adanya.

   Mari pulang sejenak menuju masa lalu, untuk memperbaiki diri. Kau dan aku yang masih menggenggam keegoisan. Menyimpan kejujuran jauh di lubuk terdalam. Seolah lupa tujuan yang pernah kita gambar di peta mimpi. Dihempas kenyataan dengan begitu menyakitkan. Kita berpisah dengan membawa kehampaan.

  Adakah setitik kebencian tersisa? Atau luka memang menetap di dalam rongga? Sehingga kita memutus segalanya, membakar apa yang ada. Menyebabkan langit dipenuhi asap pekat, menciptakan sebuah sekat.

   Aku tahu, kita belajar merelakan. Senja akan habis diganti malam, pelangi perlahan pudar setelah lama hujan. Namun, haruskah aku rela, senyummu diganti tangisan? Apa benar aku bisa rela jika keadaannya seperti itu, Kekasih?

   Gerimis yang menemani, perlahan mengubah diri menjadi badai. Ada banyak yang ingin kukatakan, tapi yang terpenting adalah aku berusaha mengikhlaskan.

 Bandung barat, 04122018


Qingcheng 7-3
Pict by; Google+



   Aku bisa saja menulis puisi paling patah hati, atau sebuah prosa yang di dalamnya terdapat perasaanku yang paling lara. Namun, apa artinya jika itu tak bisa membuatmu kembali.

   Aku bisa saja menabung banyak rindu, menjaganya dengan sepenuh hati. Namun, apa artinya jika kau benar-benar akan hilang pada jarak jangkauan pelukan.

   Aku pernah menggenggam banyak kepahitan hidup sendirian. Memamah luka dengan lapang dada. Namun, pemikiran dan kenyataan hidup tanpamu rasanya hampa. Sejenak, mengulang pertemuan pertama yang biasa, hingga menyisakan kepahitan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata.

  Untuk seseorang  yang pernah hidup dalam tulisanku. Terima kasih, atsa setiap angan yang lahir, atas sebuah senyum yang pernah menghapus getir, atau setiap hal yang kini hanya dianggap satire.



Bandung Barat, 02012019