Menuju Senja
Seperti biasa, kita hanya duduk berdampingan dengan mantap, saling
menatap, tapi tanpa kata tetap. Entah apa yang salah, kini di antara
kita ada dinding pemisah, aku bahkan tak sanggup mengatakan sebuah
perhatian yang dulu begitu lancar mencecar. Apa ada yang salah diantara
kita?.
"Dunia ini permainan," ucap papan catur yang berwarna hitam
putih. (kau pernah bilang, itu seperti hidup. Salah dan benar saling
berdampingan, meski tak akan pernah menyatu) Jika ini sebuah permainan,
aku tak pandai mengatur strategi. Hanya mengikuti iringan intuisi yang
dikomandoi hati, meski terkadang logika sedikit menggila karena kecewa.
Harumnya rasa cinta yang dulu menyengat, saat senja di taman kota,
kini begitu berhimpitan dalam dada, seperti terkunci oleh teka-teki
nurani, yang aku tak mengerti.
Jingganya warna langit menandakan
waktu magrib sebentar lagi datang, tapi masih tak ada suara yang bisa
terdengar gendang telinga. Terkunci, membisu, membatu, hah!! Siapa
perduli dengan analogi yang sering keluar, yang pasti ini sungguh tak
mengenakkan. Apa mungkin? Aku tak ingin melanjutkan prasangka buruk ini.
Adzan magrib membelah suara kendaraan, menggiring kita tuk berpisah.
Tanpa kata, tanpa bahasa, berjalan masing-masing, dan tak perduli
sekeliling.
Antara magrib dan isya, ada perang besar
dikepalaku. Koloni logika dan prajurit hati, saling melempar bom
pendapat yang begitu sangat menyebalkan.
"Sudah cari yang lain!"
"Jangan, dia hanya sedikit marah. Itu pun salahmu juga!"
"Lalu kenapa dia dingin sekarang? Halah, jika cinta tak mungkin seperti itu!"
"Kami siap berdarah untuk mempertahankan rasa ini! Ayo semangat!"
Aku bahkan tak bisa menentramkan konflik dalam diri, apalagi harus mengerti, pikiran dan nurani. Kamu! Pujaan hati ....
Apa ada yang bisa mengajarkanku sifat asli wanita? Karena kebodohan begitu menyiksa! Tuhan, aku lelaki dan dia wanita, apa kami salah jika saling cinta? Saling damba? Hingga berharap untuk saling memiliki, menyayangi, menjaga, tertawa bersama?.
"Jangan, dia hanya sedikit marah. Itu pun salahmu juga!"
"Lalu kenapa dia dingin sekarang? Halah, jika cinta tak mungkin seperti itu!"
"Kami siap berdarah untuk mempertahankan rasa ini! Ayo semangat!"
Aku bahkan tak bisa menentramkan konflik dalam diri, apalagi harus mengerti, pikiran dan nurani. Kamu! Pujaan hati ....
Bintang di langit, kurang terlihat karena polusi cahaya
Hati menjerit, sedikit pun tak percaya
Ke egoisan mulai menjepit, amarah begitu bahagia.
Apa ada yang bisa mengajarkanku sifat asli wanita? Karena kebodohan begitu menyiksa! Tuhan, aku lelaki dan dia wanita, apa kami salah jika saling cinta? Saling damba? Hingga berharap untuk saling memiliki, menyayangi, menjaga, tertawa bersama?.
Bandung Barat. 2016
No comments:
Post a Comment