Saturday 1 December 2018

Cerpen; Pelangi yang Kehilangan Warna

Pelangi yang Kehilangan Warna


   Sehabis hujan, Lili biasanya langsung keluar rumah sambil membawa kamera kesayangannya untuk mengambil beberapa foto pelangi. Dia selalu tertarik dengan warna-warni dari bias air hujan yang terkena cahaya. Di kamarnya, terpampang beberapa potret pelangi dengan latar berbeda. Pohon-pohon pinus, tebing, daerah perkotaan, di bawah senja dan beberapa tempat yang sering dia kunjungi. Begitu menarik perhatian. Indah dan mengagumkan.

   Gadis itu menatap lekat semuanya, setiap foto memikili  cerita masing-masing. Foto adalah kepingan waktu yang digunting baginya. Dengan begitu, dia bisa membawa kemana saja waktu bersamanya. Seperti foto pelangi yang menjadi latar ilalang ini. Lili mendapatkannya saat kemping ceria (kemcer)  bersama beberapa sahabatnya di kaki gunung daerah Jawa Barat. Bahkan saat itu, dengan badan menggigil karena kuyup kehujanan, dia memaksa mengambil foto, dan sepulang dari kemcer itu dia masuk angin. Dia sedikit tersenyum mengingat kekonyolannya sendiri.

    Namun, berbeda hari ini. Meski pun anak-anak berteriak takjub menatap pelangi, wanita itu hanya berdiam di kamar. Baginya, kini pelangi telah kehilangan warna.

***

    Hujan yang turun terdengar seperti simponi di telinga gadis itu, rintiknya memainkan senar-senar rasa di dada. Ini kali pertama Lili pergi ke gunung, yang kelak di hari-hari ke depan akan menjadi candu bagainya.

   Saat ini, di sampingnya, seorang  lelaki  tengah memanaskan air dengan *kompor portable untuk menyeduh teh. Mereka telah memasang **flysheet  sebelumnya, untuk menahan air yang jatuh dari langit.

   "Kita bikin tenda di sini aja kali ya, Non? Soalnya hujan gak bakal cepet-cepet berhenti."

   "Emang masih jauh puncaknya, Kak Ar?"

   "Gak terlalu, tapi kalo turun kabut kaya gini bahaya terus jalan. Jarak pandang terbatas dan licin. kalo jatuh ke tebing, ya wasalam." Ardi lalu menatapnya dan tersenyum. Di matanya, senyum lelaki  itu selalu membius, melemparkan angannya hingga ke planet Uranus.

    "Oh iya, Kak. Kalo  udah ada hujan di gunung kaya gini, suka ada pelangi gak?"

    "Gak tahu. Gak pernah liat, dan kayanya gak pernah peduli hehe."

    "Huh, dasar!"

    Mereka berdua lalu tertawa.

   Perasaan perempuan itu rumit. Bahkan mereka tak bisa menguraikannya sendiri. Seperti suka hujan tapi takut air. Begitu perasaan Lili melihat lelaki bermata dingin di depannya. Dia ingin hidup bersamanya, tetapi takut untuk mengakui dan mengatakan perasaannya. Lagi pula, dia menyadari bahwa banyak hal dari dirinya yang perlu dia perbaiki.  Meskipun ia tahu, Ardi bisa menerima dia  bagaimana pun keadaannya sekarang, dan berproses memperbaiki diri bersama. Gadis bertubuh kecil itu  terlalu kalut dengan perasaannya sendiri.

  Malam telah larut, dan beberapa gelas air teh telah menghangatkan perut mereka. Di dalam tenda, rintik hujan menjadi pengiring yang romantis untuk memulai cerita. Namun, kata tak kunjung lahir dari mulut mereka. Ardi takut  mengganggu waktu istirahat Lili, sedang gadis kecil itu tengah bergelut dengan pemikirannya sendiri.


***

   Rasanya seperti ada dipelukan seorang ibu. Nyaman dan menentramkan. Itulah perasaan yang Lili rasakan saat pertama kali berada di puncak gunung. Meski angin berembus kencang, lengan Ardi pasti ada di sampingnya untuk menopang. Gadis kecil itu terpesona, meski dia tak mengerti kenapa. Tak ada kata yang dapat mewakilkan perasaannya saat melangkahkan diri di tempat setinggi ini.

   "Gimana? Gak ada apa-apa kan di sini?"

   "Iya, Kak. Di gunung sepi, dingin, perjalanannya juga bikin cape. Tapi kok, betah gitu di sini."

   "Kata yang udah-udah sih, karena apa gak bisa terlihat, belum tentu gak bisa dirasakan adanya. Pelangi emang indah di mata, tapi gak bakalan semempesona kamu, Non."

   "Gombal! Sok bijak pula! huh!" Gadis kecil itu mencubit lengan Ardi.
   "Bukan sok sebenernya, tapi belajar hehe." Jemari lelaki bermata dingin lalu mengacak rambut gadisnya. Lalu keduanya diam, tak mengerti apa yang harus diutarakan. HIngga mereka pulang ke tempat paling nyaman, rumah.

   Meski tanpa kata, cinta yang mereka rasa tak bisa dihitung banyaknya.

***

   Katanya, ada lelaki yang bertipe diam saat mencintai seseorang. Dia tak akan berkata apa pun, dan akan memendam perasaannya sendirian. Dia lebih memilih menjadi sahabat, yang akan selalu ada. Terlalu takut untuk mengungkapkan, karena itu bisa saja menjadi awal perpisahan.

   Kediaman keduanya menjadi sangat melelahkan. Mereka tak bisa jujur pada dirinya sendiri.

***

  Gadis itu kini menyadari. Bukan pelangi yang telah mengubah diri hingga tak berwarna, tetapi perasaan dalam dirinya yang berbeda. Rasa kehilangan yang tak pernah bisa diterima. Lelaki bermata dingin telah pergi jauh dari hidupnya. Yang ia tahu, bukan karena rasa sayang dan cinta telah pergi, tetapi karena kejujuran yang mereka kunci di balik kediaman paling sunyi.





Bandung Barat, 2018