Thursday 16 July 2020

Cerpen: Bungkam

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_29
#NomorAbsen_302
Jumkat : 478 kata

Bungkam

    Dunia mendadak hening. Hanya terdengar suara deru kendaraan, air hujan yang menyentuh asbes, dan gemeresik dedaunan digoyang angin. Sisanya sepi. Tak ada suara yang dapat keluar dari mulut manusia. Semua mulut kompak bungkam. Hanya terbuka untuk makan atau minum. Sesekali tertawa, meski masih tanpa suara.

    Hari ini kata-kata menghilang, lesap, atau mungkin bersembunyi di liang-liang yang tak terjangkau manusia. Mereka hanya bisa berkomunikasi lewat mata, tetapi tak menyadari ada keanehan yang terjadi hari ini. Kehidupan berjalan normal saja. Lagi pula, manusia-manusia sekarang terlalu individualis. Tak pernah berbincang, bercengkerama, bahkan sekadar basa-basi pun tidak. Jadi, mereka merasa tak memerlukan kata-kata.

    Seminggu berlalu dengan cepat. Mulut-mulut masih enggan menampakkan kehidupannya. Beberapa orang mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dan merasa masih butuh mengobrol dengan orang lain, membawa kertas dan pena ke mana-mana. Namun, itu hanya segelintir saja, mayoritas manusia masih abai dan merasa tak peduli akan adanya kata atau suara yang keluar dari mulut mereka. Mereka pikir, kebutuhan paling dasar bagi manusia hanya bernapas, makan, minum, dan beberapa hal lainnya. Mengobrol bukanlah suatu kebutuhan, itu hanya variasi. Ada atau pun tak ada, bukanlah sesuatu hal yang harus dipermasalahkan.

    Minggu berkembang cepat menjadi bulan. Beberapa orang –bahkan sekarang kelompok--mulai terbiasa dengan kebiasaan baru, membawa-bawa buku kecil dan pena, yang tentu saja berdampak pada permintaan kertas yang seiring berjalannya waktu terus naik. Para pengusaha berbondong-bondong menginvestasikan uangnya dan membuat pabrik kertas. Penebangan pohon terjadi serampangan, tetapi tidak diimbangi dengan penanaman kembali. Hutan-hutan menjadi gundul, menyebabkan permasalahan yang menjadi semakin kompleks.

    Kelangkaan air saat kemarau, banjir dan longsor ketika musim penghujan. Semua terjadi di semua tempat. Orang mulai bertanya awal mula segala masalah itu terjadi. Mereka mulai saling menyalahkan dalam hati. Rakyat mencurigai pemerintahan yang—kata mereka—tak dapat mengontrol penebangan hutan dan keserakahan manusia. Pemerintah menyalahkan para rakyat—yang menurut mereka—terlalu boros menggunakan kertas, hingga triliunan uang kas Negara harus dikucurkan untuk menstabilkan harga kertas. Demo terjadi di mana-mana, menyebabkan banyak tempat menjadi arena baku hantam. Tak ada sarana dan prasarana untuk mendamaikan semua pihak. Mereka terus saja saling menyalahkan, tanpa mau mengoreksi diri.

    Namun, mulut-mulut itu masih kuncup saja seperti puteri malu. Masih enggan mengeluarkan suara-suara, bahkan jika itu adalah suara kebenaran. Bisu, kaku dan gagu. Istilah kebenaran dibungkam tak relevan lagi, sebab mulut-mulut itu sendiri yang sudah mogok bekerja.

    Mulut-mulut itu sebenarnya sedang melakukan aksi protes, tetapi bingung harus berkeluh kesah pada siapa. Hingga suatu malam, sebelum aksi diam seribu bahasa itu terjadi, mereka melakukan pembicaraan dari mulut ke mulut.

    Kata-kata dan suara sudah diletakkan pada tempat yang sangat buruk. Orang-orang sudah tak peduli tentang benar dan salah. Yang ada di pikiran mereka hanya uang dan kekuasaan. Jalan apa pun akan ditempuh, asal tujuan busuk mereka tercapai. Saling mencaci, menipu, membicarakan aib-aib orang lain menjadi hal lumrah. Para mulut jengah, lalu menghunuskan perlawanan lewat sebuah kediaman. Mereka akan kembali mengeluarkan suara saat para manusia telah menyadari kesalahannya. Bungkam!


Photo by Oleg Magni from Pexels


Bandung Barat, 29/06/2020

Saturday 4 July 2020

Promo Buku : Santri Love Story


Santri Love Story


    “Aku nggak menyangka, Mbak Wirda akan segera menjadi seorang istri,” ujar Kamila seraya meletakkan tas di meja dan membuka jilbabnya. Gadis itu menghempaskan pantat di kasur hotel yang empuk.

    “Suatu saat, kamu juga akan menikah.”

    “Entahlah, aku nggak yakin.” Kamila merebahkan tubuhnya ke ranjang sambil memeluk guling.

    “Apa maksudmu dengan nggak yakin?” Wirda memeluk sang adik.

     “Mbak Wirda tahu apa maksudku. Apakah akan ada seorang pria yang mau menerima keadaanku?” Kamila menatap sepasang iris hitam kelam di depannya.

    “Tentu saja! Hanya pria picik yang mempermasalahkannya. Itu bukan salahmu sepenuhnya.”

    Kamila mendesah. “Sudahlah, jangan membicarakan sesuatu yang belum terjadi. Bagaimana dengan Mbak Wirda sendiri? Apakah merasa deg-dengan?” goda Kamila.

    “Deg-degan sudah pasti. Kita tak akan pernah merasa siap, untuk hal yang satu ini, bukan? Apalagi jika melihat kegagalan-kegagalan pasangan karena berbagai sebab.”

    “Membicarakan pernikahan membuatku ngantuk.” Kamila menguap. “O, ya, Mbok Manah mana?”

    QWirda mengacak kepala sang adik. “Mandilah dulu, biar tidak gatal, katanya. “Mbok Manah ada di kamar sebelah. Besok saja ketemunya. Mungkin beliau sudah tidur. “

    “Bagaimana Mbok Manah hidup di Medan?”

    “Mbok manah sangat senang. Beliau suka belanja di pasar. Selalu memborong ikan-ikan segar dan pisang barangan.”

    Kamila tertawa. “Mbak ....”

    “Hmmm ....”

    “Tentang mandi ... aku malas.”

    “Bau, tahu! Kebiasaan!”

    Kamila tertawa, tapi gadis itu berkeras untuk langsung tidur. Tak berapa lama gadis itu sudah terbang ke alam mimpi. Wirda hanya bisa geleng-geleng kepala kemudian menyelimuti Kamila dengan penuh kasih sayang. Tak ada yang lebih berharga di dunia ini dibanding kebahagiaan sang adik. Kata itu yang selalu menjadi landasan dari berbagai keputusan yang diambilnya selama ini.

    Wirda menatap wajah Kamila yang terlihat polos saat tidur, kemudian merebahkan diri di sampingnya. Bagaimana kehidupannya kelak bersama Farhan? Wirda tidak ingin terlalu memikirkannya. Dia akan menjalani semua seperti air yang mengalir. Dia akan berusaha sebaik-baiknya. Bagian tersulit dalam hidupnya akan dipasrahkan kepada Allah. Ya, Allah-lah yang mengatur segala sesuatu di muka bumi ini. Bahkan air yang jatuh dari pucuk daun pun terjadi atas izin-Nya.


    ===Cattleya==



    Kamila melangkah pelan, diikuti Naya dari belakang. Suasana terasa tegang dan kaku. Kamila tidak tahu kenapa. Biasanya Mirza selalu santai. Apakah ada hal gawat yang telah terjadi?

    Kini Kamila dan Mirza duduk berhadapan, di antara mereka terbentang sebuah meja dari kayu yang di atasnya tergeletak stetoskop berwarna hitam dan beberapa buku. Gadis itu mendesah pelan. Telapak tangan dan kakinya kini mulai terasa dingin.

    Naya duduk di kursi belakang Kamila, yang bersandar pada dinding. Dia melihat seorang santri laki-laki duduk beberapa langkah di belakang Mirza. Santri itu mengangguk hormat dan malu-malu padanya.

    “Bagaimana profesi barumu?” tanya Mirza memecah kebisuan.

    “Baik, Gus, saya sudah mulai terbiasa.”

    “Adakah kesulitan yang kamu temui?”

    “Sejauh ini tidak.” Kamila memandang wajah Mirza sejenak, kemudian menunduk memandang meja.

    Sejenak keduanya terdiam, seolah dicekam waktu, bahkan detik-detik terasa berjalan sangat lambat. Kamila mulai gelisah. “Gus, kita di sini bukan untuk membicarakan profesi saya sekarang, bukan?” Suara Kamila terdengar menggema.

    Mirza mendesah. “Aku ... aku nggak tahu bagaimana harus memulainya.”

    “Katakan saja, Gus. Apakah Gus Mirza menginginkan bantuan saya?”

    "Aku hanya ingin bertanya.” Mirza menatap kedua mata Kamila lekat. “Maukah ... maukah kau menjadi istriku?”

    Seperti petir menggelegar di sing bolong, Kamila terkejut setengah mati mendengar apa yang dikatakan Mirza, hingga membuat gadis itu terpana. Dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata yang diucapkan Mirza adalah kata-kata yang ingin sekaligus tidak ingin didengarnya. Ketakutan dirinya akan kenyataan masa lalu membuat jantung Kamila bertalu.

    “Kalau boleh, saya akan memikirkannya dulu, Gus,” kata Kamila sambil menunduk. Ada kesedihan yang mengaduk-aduk hatinya. Mengapa dia harus menghadapi dilema cinta? Apakah Mirza bisa menerima keadaannya? Mungkinkah dia dan Mirza bisa hidup bersama?

    “Baiklah, aku akan menunggu,” kata Mirza lega karena telah berhasil menyatakan lamaran tak resminya. Meskipun Kamila tidak langsung mengiyakan, tapi setidaknya gadis itu telah tahu, Mirza mencintainya.

    “Nggih, Gus, kalau begitu, saya permisi dulu.”

    Mirza mengangguk, membiarkan Kamila dan Naya meninggalkan tempat itu.

    Di koridor menuju asrama putri Naya tidak henti menggoda, tetapi ditanggapi Kamila dengan diam seribu bahasa. Naya menjadi heran dengan reaksi Kamila. Sebenarnya gadis itu mencintai siapa, Mirza atau jangan-jangan ... Aqmar?

    “Mil, kamu kok ketoke gak bahagia mendengar lamaran Gus Mirza?” tanya Naya.

    “Mbuh, Nay. Aku gak iso mikir. Sirahku mumet!” (Entah, Nay. Aku nggak bisa berfikir, kepalaku pusing)

    “Lho kok mumet, sih, Mil? Kudune kamu seneng, tho?” (Lha kok pusing, Mil? Bukankah seharusnya kamu senang?”

    "Kowe nggak ngerti."

    “Kasih tahu aku kalau gitu!”

    Kamila tidak menjawab dan hanya berjalan tergesa menuju kamarnya. Seandainya bisa, dia ingin segera menghilang dari sana. Masih adakah tempat sempurna bagi gadis yang tak sempurna sepertinya? Hatinya kembali diremas perih.


====Cattleya===


    Gadis itu menemukan pohon cemara kemudian duduk bersandar di bawahnya. Terdengar notifikasi dari ponselnya. Sebuah pesan dari Mirza masuk. Pria itu bertanya di mana Kamila berada.

    [Saya belanja, Gus, tapi mampir ke pantai sebentar. Sudah lama saya nggak ke sini.”

    [Haruskah seformal itu terus memanggilku ‘gus’?”]

    [Saya seharusnya memanggil begitu dari dulu. Gus Mirza adalah putra Kyai Farid. Panggilan apa yang pantas selain memanggil ‘gus’?]

    [Terserah kamu saja. Aku ingin bertemu denganmu.]

    [Ajaklah seorang santri laki-laki dan Naya bersama Gus Mirza.]

    [Baiklah, Ustazah.] Mirza menyematkan emotikon menyeringai.

    Kamila menghela napas dalam-dalam. Dia belum menyiapkan jawaban untuk Mirza. Apa yang harus dikatakannya pada pria itu? Kamila berdiri dan melangkah menuju bibir pantai, meninggalkan barang-barangnya di bawah pohon. Dia berjalan di pasir yang basah, sambil menunggu datangnya lidah ombak. Wirda pernah bercerita, semasa kecil, kedua orang tua mereka sering membawa mereka ke pantai. Mereka senang bermain pasir, mendirikan istana dan menjadikan kerang-kerang sebagai hiasan. Namun, kenangan itu hanya tinggal kenangan. Istana pasirnya telah hilang ditelan ombak, bersama papa dan mama yang berlalu bersama sang waktu.

    Tak berapa lama kemudian, Mirza, Azhar, dan Naya menemukan tempat di mana Kamila berada. Naya dan Azhar membiarkan Mirza mendekati Kamila. Mereka melihat dari jarak yang tak terlalu jauh.

    “Assalamu’alaikum, Bu Ustazah.”

    Kamila menoleh.”Wa alaikum, Gus. Ada perlu apa?”

    “Apakah kau telah mempunyai jawaban untukku?” Mirza langsung pada inti pembicaraan.

    Kamila mendesah, melemparkan pandangannya jauh di batas cakrawala. “Kenapa Gus Mirza menginginkan saya sebagai istri?”

    Mirza menghela napas dalam-dalam. “Semua orang pasti tahu, dasar seorang melamar adalah karena dia mencintai dan merasa bisa membangun keluarga bahagia bersamanya. Apakah kau punya perasaan yang sama denganku?”

    “Sayangnya, saya bukan wanita yang tepat untuk Gus Mirza. Seharusnya Gus Mirza menikah dengan seorang ning, seperti Gus Aqmar menikah dengan Ning Bilqis.”

    “Katakanlah, aku sebuah pengecualian. Aku ingin menikah dengan gadis yang kucintai, bukan gadis yang dijodohkan.”

    “Saya merasa tidak pantas menjadi istri Gus Mirza.”

    “Kepantasan di mata manusia tak sama dengan kepantasan di mata Allah.”

    “Gus, kau seorang yang hebat. Gus Mirza bisa saja mendapatkan seorang yang lebih segala-galanya dari saya. Seorang dokter misalnya, atau bahkan seorang ning yang sekaligus seorang dokter. Percayalah, saya hanya gadis yang tak sempurna. Saya punya banyak keburukan yang tak Gus Mirza ketahui.”

    “Bukankah nggak ada manusia yang sempurna?”

    “Saya bukan hanya nggak sempurna. Bahkan untuk berbicara dengan Gus saja, saya merasa nggak pantas. Jadi, buanglah harapan Gus Mirza untuk menikah dengan saya.”

    “Maksudmu ... kau ... kau ....” Mirza tidak melanjutkan kalimatnya dan memandang Kamila lurus-lurus, berharap bisa melihat kedalaman hatinya, melihat kejujurannya.

    “Ya, Gus, saya nggak bisa menikah dengan Gus Mirza, karena saya merasa nggak pantas.”

    Mirza tertegun. Dia merasa berada di pusaran waktu dan tergulung bersamanya di palung kenyataan pahit. Jadi Kamila benar-benar menolaknya? Sesungguhnya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Selama ini Mirza melihat perdar-pendar cinta untuknya dalam sorot mata Kamila. Apakah itu hanya delusi? Apakah selama ini dirinya hanya dipermainkan khayalannya sendiri? Rasa perih tiba-tiba menusuk tepat di jantungnya. Setelah menghela napas dalam-dalam dia berkata, “Baiklah, Kamila, jika itu yang kamu inginkan.”

    “Maafkan saya, Gus,” ucap Kamila dengan suara serak.

    Mirza berlalu, menelusuri pantai, menjauh dari Kamila. Di tempat yang tidak mungkin terdengar orang, dia berteriak keras, meluapkan segala sesak yang memenuhi dada. Dua kali dia patah karena cinta.


    Bagaimana kisah cinta ini menjalani takdir dan berakhir? Jawabnya ada di novel Santri Love Story yang saat ini sedang masa PO. Ada bonus TASBIH DIGITAL lho.


    Pemesanan bisa menghubungi :

    Penulis : Cattleya

    No Watsapp : 0852 1648 6786

    Atau langsung melalui Penerbit LovRinz

Wednesday 1 July 2020

Cerpen : Konspirasi

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_30
#NomorAbsen_302
Jumkat : 874 kata


Konspirasi


    Perempuan itu menghisap cerutu yang terselip di jemarinya, lalu mengeluarkan asapnya dalam bentuk bulatan-bulatan. Sudah setengah jam ia menunggu seseorang. Matanya gelisah bolak-balik menatap jalanan yang lengang. Sedangkan senja sedari tadi telah pamit keperaduan. Ia sudah jengah menunggu.

    Orang-orang yang berada di rumah itu mulai berbisik-bisik. Perempuan itu memang terkenal dengan nama panggilan Killer Sang Pembasmi. Ia pernah membantai segerombolan penjahat seorang diri. Dan, satu hal yang terkenal akan dirinya. Mayat-mayat musuhnya selalu hangus terbakar hingga menjadi debu.

    “Terserah apa yang mereka katakan, yang penting bayaran dan pekerjaannya sesuai.” Itu adalah kata yang seringkali ia ucapkan menanggapi lelucon atau gosip-gosip. Perempuan itu sangat acuh dan tak pernah memedulikannya.

***

    Tatanan dunia hancur, saat sebuah virus yang diam-diam dikembangkan oleh sebuah lembaga bawah tanah bocor, dan menyebar lewat udara. Masuk ke tubuh manusia, merusak dan menular begitu cepat, bahkan jika itu tanpa sentuhan atau paparan langsung. Para dokter kewalahan menganalisis dan diperparah dengan tak adanya gejala berarti, kecuali jika sudah merusak beberapa sel dalam tubuh.

    Semua Pemerintah dunia mengumumkan agar tak ada seorang pun yang boleh keluar rumah selama beberapa hari. Bahkan para dokter sekali pun. Mereka yang terjangkit dibiarkan hidup, kesepian, sebelum mati dalam keadaan mengenaskan. Mereka diperintahkan untuk masuk ke sebuah bungker dan menunggu ajal di sana.

    Namun, tidak begitu dengan Dokter Steve. Dibantu beberapa asistennya, ia menampung semua penderita itu di ruang bawah tanahnya, mengobati mereka meski dengan peralatan seadanya, dan terus menyemangati para pasien itu.

    Para penderita itu setiap pagi disuntik sebuah serum yang membuat mereka seperti tersengat ribuan volt, lalu tak sadarkan diri. Mereka tak pernah tahu apa yang dimasukan ke dalam tubuh. Yang mereka tahu bahwa mereka sedang diobati dan ingin disembuhkan. Tidak lebih, tidak kurang.

    Meskipun, hanya dua sampai tiga orang saja yang berhasil selamat, di antara seribu orang. Dan, bagi sebagian orang itu adalah keajaiban. Sebab, semua orang sudah terdoktrin bahwa terkena berarti mati. Tak ada keselamatan lagi baginya.

    Hingga Pemerintah menyatakan bahwa virus itu telah lenyap dari muka bumi. Orang-orang kembali mengerjakan kehidupan normal yang sebelumnya terganggu. Peradaban kembali menuju porosnya. Namun, itu tak berlangsung lama. Sebuah kasus baru yang mencengangkan muncul dan langsung menggemparkan.

    Di sebuah desa terjadi penyerangan yang memporak-porandakan tempat itu dalam beberapa jam. Sebuah kabar burung yang datang mengatakan bahwa itu adalah ulah alien, sebagian lainnya bilang bahwa itu adalah ulah seorang pasien yang sembuh akibat virus itu.

    Hingga kota Santeria ini menggunakan jam malam dan pengecekan ketat di batas kota untuk menghindari kemungkinan terburuk. Bahkan, jika ada yang memaksa masuk, ia akan langsung ditembak di tempat, lalu dibakar di sebuah rumah tua.



Photo by . MCLT from Pexels


***

    Perempuan itu melihat jam di tangannya. Ia menyadari negosiasinya tak sesuai dengan yang diharapkan. Dipanggilnya pelayan, lalu membayar minuman yang telah dipesannya. Memakai jaket dan topi koboinya. Sebelum sampai di depan pintu, pelayan itu memperingatkan bahwa sedang diberlakukan jam malam. Namun ia hanya tersenyum dan berlalu. Meninggalkan rumah makan yang merangkap jadi hotel itu dan keluar lewat jendela.

    Ia berlari di atas genting, meloncat dari satu bangunan ke bangunan yang lainnya seperti sedang *parkour. Memperhatikan situasi sebelum masuk ke rumah yang paling besar. Rumah Wali kota.

    “Maaf, Pak. Sepertinya pembicaraan gagal. Tak ada seorang pun yang datang dari pihak sana.”

    “Lalu apa yang harus kita lakukan?” Wali kota berpindah tempat dan mulai berjalan mondar-mandir. Merapatkan tangannya, lalu melihat sekeliling. Menunggu jawaban perempuan itu.

    “Bakar seluruh perbatasan. Agar para zombie itu tak bisa masuk ke kota ini.”

    “Itu bisa saja saya lakukan, Ann. Tapi itu terlalu berisiko. Seluruh warga kota akan curiga dengan apa yang terjadi.”

    “Itu terserah Anda, Yang Mulia.”

    Perempuan itu kembali menyelinap keluar, menuju perbatasan kota. Jika ultimatum itu benar, seharusnya para zombie itu sudah sampai ke tempat ini. Namun, tak ada sesuatu yang mencurigakan di sini. Dan, ia mulai berlari dari satu tempat ke tempat lainnya, tetapi tetap saja nihil. Tak ada masalah yang terjadi di perbatasan-perbatasan itu.

    Hingga perempuan itu menyadari ada sesuatu yang aneh di tangannya. Diendusnya pelan dan sebuah siluet-siluet keluar dari ingatannya. Ia limbung, terjatuh dan tak sadarkan diri.

    Sementara itu, kota berada diambang kehancuran. Seluruh perbatasan terbakar, asap mengepul di mana-mana. Dan, para zombie mulai berkeliaran. Bukan masuk dari luar kota, tetapi dari dalam.

    Perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat dari belakang kepalanya saat terbangun. Ia tatap sekeliling yang telah penuh dengan asap pekat. Ia tersadar akan sesuatu dan mulai mempersiapkan senjatanya. Hari ini ia akan berburu zombie, sepuasnya.

    Ia berlari sambil menembak siapa pun yang berpapasan dengannya. Tak peduli zombie atau manusia normal. Ada satu tugas yang perlu ia kerjakan. Ada ingatan yang selama beberapa waktu tertidur dalam dirinya. Maka dari itu ia harus bergegas.

    Dalam ingatannya tadi, ia melihat mayat-mayat bergelimpangan, sedangkan Wali Kota yang sangat ia hormati sedang asyik mabuk bersama beberapa politisi lainnya.

    Maka dari itu, ia dan Sang Dokter akan bertemu setelah kota hancur. Membangun ulang kota ini dengan tangan mereka berdua. Pelayan itu adalah salah satu anak buahnya yang mengoleskan virus di gelasnya. Perempuan itu telah beberapa kali disuntik dengan serum memuakkan itu. Itulah sebabnya ia sudah kebal dan tak menjadi zombie seperti yang lainnya.

    Di sebuah tempat yang lain, Dokter Steve melihat dengan mata berkaca-kaca. Kota yang selama ini dicintai sekaligus dibencinya telah berhasil dimusnahkan. Itu berkat Ann, asisten, istri, juga percobaannya yang telah sempurna.


Bandung Barat, 30/06/2020


    *Parkour (baca: Paar-kuur, kadang-kadang disingkat PK) atau l'art du déplacement (Seni gerak) adalah aktivitas yang bertujuan untuk melewati rintangan dengan efisien dan secepat-cepatnya, menggunakan prinsip kemampuan badan manusia. Itu berarti untuk menolong seseorang melintasi rintangan, yang bisa berupa apa saja di sekitar lingkungan dari cabang-cabang pohon dan batu-batuan hingga pegangan tangan dan tembok beton yang bisa dilatih di desa dan di kota.(wikipedia)