Santri Love Story
“Aku nggak menyangka, Mbak Wirda akan
segera menjadi seorang istri,” ujar Kamila seraya meletakkan tas di meja
dan membuka jilbabnya. Gadis itu menghempaskan pantat di kasur hotel
yang empuk.
“Suatu saat, kamu juga akan menikah.”
“Entahlah, aku nggak yakin.” Kamila merebahkan tubuhnya ke ranjang sambil memeluk guling.
“Apa maksudmu dengan nggak yakin?” Wirda memeluk sang adik.
“Mbak Wirda tahu apa maksudku. Apakah akan ada seorang pria yang mau
menerima keadaanku?” Kamila menatap sepasang iris hitam kelam di
depannya.
“Tentu saja! Hanya pria picik yang mempermasalahkannya. Itu bukan salahmu sepenuhnya.”
Kamila mendesah. “Sudahlah, jangan membicarakan sesuatu yang belum
terjadi. Bagaimana dengan Mbak Wirda sendiri? Apakah merasa deg-dengan?”
goda Kamila.
“Deg-degan sudah pasti. Kita tak akan pernah merasa
siap, untuk hal yang satu ini, bukan? Apalagi jika melihat
kegagalan-kegagalan pasangan karena berbagai sebab.”
“Membicarakan pernikahan membuatku ngantuk.” Kamila menguap. “O, ya, Mbok Manah mana?”
QWirda mengacak kepala sang adik. “Mandilah dulu, biar tidak gatal,
katanya. “Mbok Manah ada di kamar sebelah. Besok saja ketemunya. Mungkin
beliau sudah tidur. “
“Bagaimana Mbok Manah hidup di Medan?”
“Mbok manah sangat senang. Beliau suka belanja di pasar. Selalu memborong ikan-ikan segar dan pisang barangan.”
Kamila tertawa. “Mbak ....”
“Hmmm ....”
“Tentang mandi ... aku malas.”
“Bau, tahu! Kebiasaan!”
Kamila tertawa, tapi gadis itu berkeras untuk langsung tidur. Tak
berapa lama gadis itu sudah terbang ke alam mimpi. Wirda hanya bisa
geleng-geleng kepala kemudian menyelimuti Kamila dengan penuh kasih
sayang. Tak ada yang lebih berharga di dunia ini dibanding kebahagiaan
sang adik. Kata itu yang selalu menjadi landasan dari berbagai keputusan
yang diambilnya selama ini.
Wirda menatap wajah Kamila yang
terlihat polos saat tidur, kemudian merebahkan diri di sampingnya.
Bagaimana kehidupannya kelak bersama Farhan? Wirda tidak ingin terlalu
memikirkannya. Dia akan menjalani semua seperti air yang mengalir. Dia
akan berusaha sebaik-baiknya. Bagian tersulit dalam hidupnya akan
dipasrahkan kepada Allah. Ya, Allah-lah yang mengatur segala sesuatu di
muka bumi ini. Bahkan air yang jatuh dari pucuk daun pun terjadi atas
izin-Nya.
===Cattleya==
Kamila melangkah pelan, diikuti
Naya dari belakang. Suasana terasa tegang dan kaku. Kamila tidak tahu
kenapa. Biasanya Mirza selalu santai. Apakah ada hal gawat yang telah
terjadi?
Kini Kamila dan Mirza duduk berhadapan, di antara
mereka terbentang sebuah meja dari kayu yang di atasnya tergeletak
stetoskop berwarna hitam dan beberapa buku. Gadis itu mendesah pelan.
Telapak tangan dan kakinya kini mulai terasa dingin.
Naya duduk
di kursi belakang Kamila, yang bersandar pada dinding. Dia melihat
seorang santri laki-laki duduk beberapa langkah di belakang Mirza.
Santri itu mengangguk hormat dan malu-malu padanya.
“Bagaimana profesi barumu?” tanya Mirza memecah kebisuan.
“Baik, Gus, saya sudah mulai terbiasa.”
“Adakah kesulitan yang kamu temui?”
“Sejauh ini tidak.” Kamila memandang wajah Mirza sejenak, kemudian menunduk memandang meja.
Sejenak keduanya terdiam, seolah dicekam waktu, bahkan detik-detik
terasa berjalan sangat lambat. Kamila mulai gelisah. “Gus, kita di sini
bukan untuk membicarakan profesi saya sekarang, bukan?” Suara Kamila
terdengar menggema.
Mirza mendesah. “Aku ... aku nggak tahu bagaimana harus memulainya.”
“Katakan saja, Gus. Apakah Gus Mirza menginginkan bantuan saya?”
"Aku hanya ingin bertanya.” Mirza menatap kedua mata Kamila lekat. “Maukah ... maukah kau menjadi istriku?”
Seperti petir menggelegar di sing bolong, Kamila terkejut setengah
mati mendengar apa yang dikatakan Mirza, hingga membuat gadis itu
terpana. Dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata yang diucapkan Mirza
adalah kata-kata yang ingin sekaligus tidak ingin didengarnya. Ketakutan
dirinya akan kenyataan masa lalu membuat jantung Kamila bertalu.
“Kalau boleh, saya akan memikirkannya dulu, Gus,” kata Kamila sambil
menunduk. Ada kesedihan yang mengaduk-aduk hatinya. Mengapa dia harus
menghadapi dilema cinta? Apakah Mirza bisa menerima keadaannya?
Mungkinkah dia dan Mirza bisa hidup bersama?
“Baiklah, aku akan
menunggu,” kata Mirza lega karena telah berhasil menyatakan lamaran tak
resminya. Meskipun Kamila tidak langsung mengiyakan, tapi setidaknya
gadis itu telah tahu, Mirza mencintainya.
“Nggih, Gus, kalau begitu, saya permisi dulu.”
Mirza mengangguk, membiarkan Kamila dan Naya meninggalkan tempat itu.
Di koridor menuju asrama putri Naya tidak henti menggoda, tetapi
ditanggapi Kamila dengan diam seribu bahasa. Naya menjadi heran dengan
reaksi Kamila. Sebenarnya gadis itu mencintai siapa, Mirza atau
jangan-jangan ... Aqmar?
“Mil, kamu kok ketoke gak bahagia mendengar lamaran Gus Mirza?” tanya Naya.
“Mbuh, Nay. Aku gak iso mikir. Sirahku mumet!” (Entah, Nay. Aku nggak bisa berfikir, kepalaku pusing)
“Lho kok mumet, sih, Mil? Kudune kamu seneng, tho?” (Lha kok pusing, Mil? Bukankah seharusnya kamu senang?”
"Kowe nggak ngerti."
“Kasih tahu aku kalau gitu!”
Kamila tidak menjawab dan hanya berjalan tergesa menuju kamarnya.
Seandainya bisa, dia ingin segera menghilang dari sana. Masih adakah
tempat sempurna bagi gadis yang tak sempurna sepertinya? Hatinya kembali
diremas perih.
====Cattleya===
Gadis itu menemukan pohon
cemara kemudian duduk bersandar di bawahnya. Terdengar notifikasi dari
ponselnya. Sebuah pesan dari Mirza masuk. Pria itu bertanya di mana
Kamila berada.
[Saya belanja, Gus, tapi mampir ke pantai sebentar. Sudah lama saya nggak ke sini.”
[Haruskah seformal itu terus memanggilku ‘gus’?”]
[Saya seharusnya memanggil begitu dari dulu. Gus Mirza adalah putra
Kyai Farid. Panggilan apa yang pantas selain memanggil ‘gus’?]
[Terserah kamu saja. Aku ingin bertemu denganmu.]
[Ajaklah seorang santri laki-laki dan Naya bersama Gus Mirza.]
[Baiklah, Ustazah.] Mirza menyematkan emotikon menyeringai.
Kamila menghela napas dalam-dalam. Dia belum menyiapkan jawaban untuk
Mirza. Apa yang harus dikatakannya pada pria itu? Kamila berdiri dan
melangkah menuju bibir pantai, meninggalkan barang-barangnya di bawah
pohon. Dia berjalan di pasir yang basah, sambil menunggu datangnya lidah
ombak. Wirda pernah bercerita, semasa kecil, kedua orang tua mereka
sering membawa mereka ke pantai. Mereka senang bermain pasir, mendirikan
istana dan menjadikan kerang-kerang sebagai hiasan. Namun, kenangan itu
hanya tinggal kenangan. Istana pasirnya telah hilang ditelan ombak,
bersama papa dan mama yang berlalu bersama sang waktu.
Tak
berapa lama kemudian, Mirza, Azhar, dan Naya menemukan tempat di mana
Kamila berada. Naya dan Azhar membiarkan Mirza mendekati Kamila. Mereka
melihat dari jarak yang tak terlalu jauh.
“Assalamu’alaikum, Bu Ustazah.”
Kamila menoleh.”Wa alaikum, Gus. Ada perlu apa?”
“Apakah kau telah mempunyai jawaban untukku?” Mirza langsung pada inti pembicaraan.
Kamila mendesah, melemparkan pandangannya jauh di batas cakrawala. “Kenapa Gus Mirza menginginkan saya sebagai istri?”
Mirza menghela napas dalam-dalam. “Semua orang pasti tahu, dasar
seorang melamar adalah karena dia mencintai dan merasa bisa membangun
keluarga bahagia bersamanya. Apakah kau punya perasaan yang sama
denganku?”
“Sayangnya, saya bukan wanita yang tepat untuk Gus
Mirza. Seharusnya Gus Mirza menikah dengan seorang ning, seperti Gus
Aqmar menikah dengan Ning Bilqis.”
“Katakanlah, aku sebuah pengecualian. Aku ingin menikah dengan gadis yang kucintai, bukan gadis yang dijodohkan.”
“Saya merasa tidak pantas menjadi istri Gus Mirza.”
“Kepantasan di mata manusia tak sama dengan kepantasan di mata Allah.”
“Gus, kau seorang yang hebat. Gus Mirza bisa saja mendapatkan seorang
yang lebih segala-galanya dari saya. Seorang dokter misalnya, atau
bahkan seorang ning yang sekaligus seorang dokter. Percayalah, saya
hanya gadis yang tak sempurna. Saya punya banyak keburukan yang tak Gus
Mirza ketahui.”
“Bukankah nggak ada manusia yang sempurna?”
“Saya bukan hanya nggak sempurna. Bahkan untuk berbicara dengan Gus
saja, saya merasa nggak pantas. Jadi, buanglah harapan Gus Mirza untuk
menikah dengan saya.”
“Maksudmu ... kau ... kau ....” Mirza
tidak melanjutkan kalimatnya dan memandang Kamila lurus-lurus, berharap
bisa melihat kedalaman hatinya, melihat kejujurannya.
“Ya, Gus, saya nggak bisa menikah dengan Gus Mirza, karena saya merasa nggak pantas.”
Mirza tertegun. Dia merasa berada di pusaran waktu dan tergulung
bersamanya di palung kenyataan pahit. Jadi Kamila benar-benar
menolaknya? Sesungguhnya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Selama
ini Mirza melihat perdar-pendar cinta untuknya dalam sorot mata Kamila.
Apakah itu hanya delusi? Apakah selama ini dirinya hanya dipermainkan
khayalannya sendiri? Rasa perih tiba-tiba menusuk tepat di jantungnya.
Setelah menghela napas dalam-dalam dia berkata, “Baiklah, Kamila, jika
itu yang kamu inginkan.”
“Maafkan saya, Gus,” ucap Kamila dengan suara serak.
Mirza berlalu, menelusuri pantai, menjauh dari Kamila. Di tempat yang
tidak mungkin terdengar orang, dia berteriak keras, meluapkan segala
sesak yang memenuhi dada. Dua kali dia patah karena cinta.
Bagaimana kisah cinta ini menjalani takdir dan berakhir? Jawabnya ada
di novel Santri Love Story yang saat ini sedang masa PO. Ada bonus
TASBIH DIGITAL lho.
Pemesanan bisa menghubungi :
Penulis : Cattleya
No Watsapp : 0852 1648 6786
Atau langsung melalui Penerbit LovRinz