Saturday 28 October 2017

Prosais; Kepada Puisi

Kepada Puisi


   Kepada puisi, yang kutemukan di antara kelopak bunga mawar senja itu, cantiknya seperti melati, tubuhnya seharum kasturi,yang tatap matanya memancarkan harapan, bahwa kebersamaan akan menjadi sebuah kenyataan.

   Aku mencoba merangkai sajak dari kata-kata yang terjatuh dari mata, rambut, senyum juga tawa dan sedihmu. Menebarnya pada selembar daun yang masih basah dibilas gerimis malam tadi.

   Bila kau jadi bintang, biarkan aku menjadi semesta yang selalu memelukmu dengan setia.

   Kepada Puisi, yang tak lain adalah kamu.
Bandung Barat, 26/07/2017

Barisan Awan yang Riak Siang itu



   Setetes air turun, dari pelupuk mata yang telah lama menjadi gurun. Ada yang luka kala itu, saat kutatap kau dan dia tengah bersanding mesra dengan duka yang tak bisa kukata.

   Dua, tiga, empat bulir melewati wajah, membasahi dada yang resah. Seperti lukisan yang disimpan di bawah hujan, musnah.

   Lalu gemuruh di luar gedung pelaminan, mencuri perhatianmu yang tengah tertawa dengannya. "Mungkin Tuhan hendak menceritakan kesedihanku yang mungkin saja tak pernah usai."

   Dan barisan awan mulai mengumandangkan mendung, mengeluarkan cinta yang jatuh pada tempat yang salah.

   "Tapi yang menggenang hanya jalan, kan?"

   "Tidak, dada ini pun penuh kenangan," ucapku di bawah awan yang riak di pelaminanmu.

Bandung Barat, 27/07/2017

Cerpen; Kenangan


Foto
Kenangan


 

Kenangan

   Aku mengenalnya saat dia berkunjung ke rumahku. Saat itu hujan tengah memayungi kotaku. yang dingin. Senja terlihat murung, ditutupi awan. Begitu pun sosok di depanku. Namanya kenangan, dia mengaku lahir dari masa lalu kita. Aku hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum. Mungkin si kenangan ini lahir dari rahimmu, Puisi? Entahlah ....

   Dia tersenyum ke arahku. Tubuhnya kuyup, mungkin karena hujan, atau air mata kita. Aku tak begitu memahami.

   Matanya mirip matamu, Puisi. Mata yang bening dan damai. Mata yang bisa menyimpan kilauan cahaya rembulan. Wajahnya seperti pernah dipahat waktu. Tubuhnya kini kurus kering. Namun dibeberapa tempat, terlihat lipatan. Mungkin, dia pernah gemuk berisi harapan.

   "Bagaimana bisa kau tau alamat rumahku, Kenangan?"

   "Hatimu dan hatinya adalah tempatku pulang. Tempat di mana aku tinggal dan hidup. Aku tak akan pernah bisa melupakannya, seberapa kuatpun itu kulakukan. Jangan pernah salah sangka kepadaku. Biarkan aku tinggal, sekadar mengingatkan bahwa kalian -- mungkin maksudnya kita, Puisi-- pernah menginginkan waktu-waktu bersama."

   Duh, Puisi. Aku merenung memikirkan kata-katanya.  Dan sangat terkejut saat dia menambahkan kata-kata yang pernah kau tulis, menjadi versinya sendiri.


"Apa benar, kalian akan melupakanku dengan indah?
 Berdamai dengan seluruh tubuh dan saudara-saudaraku?
Aku mohon. Jangan pernah ada setitikpun kebencian di dadaku, juga kalian."

   Kenangan yang tengah duduk di kursi depan, memang tak terlihat membenci takdirnya. Tapi, Puisi. Bukankah kepergian selalu menyisakan lubang? Jadi, haruskah kenangan yang bermata matamu ini mengisisnya?

   "Yang pasti hanya kematian. Sedangkan riwayat bisa saja ber-ubah seiring pasir pada labirin waktu berjalan."

   Hanya kata-kata itu yang dapat kuucapkan padanya. Apa jawabanku salah? Tersebab dia kini menatapku tajam. Seolah meminta rintik-rintik hujan turun dari mataku.

   Oh iia, Puisi. Apa si kenangan ini juga pernah berkunjung ke kotamu? Jika iia, apakah kau memperhatikan luka-luka yang ada di tubuhnya? Tubuhnya kini semakin menyusut, seiring kita yang makin menjauh.

   Tanpa isyarat. Kenangan itu masuk ke tubuhku. --Seperti udara, dia masuk  lewat hidungku.-- Sekumpulan ingatan kini hinggap dalam pikiranku. Memaksaku menciptakan bait-bait luka. Tapi dalam hal apa? Seumpama cinta kita kapal tanpa kepastian, riak gelombang pasti telah menenggelamkannya.

   Beberapa diksi berbaris rapi di hatiku. Maju melewati tangan yang kini tak ingin berhenti meramu. Apa hal? Sebenarnya aku ingin diam saja menanggapi perpisahan ini. Tapi pikiran si kenangan telah merasuk, meminta dengan sangat untuk dicurahkan.
   Harapan kini telah berbotol kosong. Dan kita -- atau mungkin hanya aku-- tengah berusaha melepas; membebaskan diri, mengkafani mimpi. Mengusahakannya agar terurai, membias bersama cahaya, menguap dalam embun, larut bersama gerimis, terkikis debur ombak, lalu hilang ditelan malam.

   Seandainya kehidupan adalah naskah yang bisa kita tulis, Puisi. Maka semua bisa saja berakhir dengan berbeda. Yang tanpa air mata, dan derita. Dan kenangan yang kini tengah menghangatkan diri dengan meminum teh itu mungkin tubuhnya bisa lebih gemuk dari ini. Mungkin dia akan tersenyum tulus, pada waktu.

   "Andai kata, waktu dan jarak yang melatar belakangi semua ini bisi kuganti. Mungkin kita bertiga saat ini tengah tertawa bersama," ucapnya sebelum meminum lagi teh, lalu membakar rokok terakhir jatahku.

Bandung Barat, 2017

Pict by;  https://plus.google.com/u/0/photos/photo/109728286280444521078/6480186544483542050?icm=false&iso=true&sqid=108690291723879541191&ssid=bfb1e53e-136a-4890-b53c-ea311d342ec7




Tuesday 24 October 2017

Cerpen; Secangkir Penuh Lamunan

Secangkir Penuh Lamunan


     Hanya karena sebuah kesalahpahaman, kita menjadi tidak saling sapa, saling melupakan. Apalah arti kerinduan, jika aku, cinta dan kesetiaan ini, kau anggap ilusi. Hanya cangkir berisi coklat panas, yang menemani semua keluh kesah yang terlontar dalam makian-makian kecil bibirku.
    Matamu mamantulkan sendu, jejak-jejak air mengikis harapan yang  habis diterpa waktu.
"Kak, lelaki itu hanya, teman."
    "Kita sudah muak membahasnya, bukan? Jadi kenapa harus diangkat lagi?"
    Wanita itu tak menjawab, dan sepertinya sangat tak ingin menjawab. Tak ingin, kah? Lalu apa artinya semua ini. Dia payah memang, bahkan  sangat payah dalam menyembunyikan sesuatu. Pipinya kini sangat basah karena tangis.
    "Kakak yang mulai, lelaki itu. Mmmm sudahlah lupakan!"
    Aku tertawa meski pun tak ada sesuatu yang lucu. Semenyebalkan itu? Tentu saja, dia hendak membakar api. Untuk menciptakan api yang lebih api dari api. Dan baranya belum padam hingga hari ini. 
    "Kak, aku sudah berusaha melupakan semuanya. Membunuh kita dengan menyibukan diri, karena aku tau. Tugas merindukan itu sangat berat, untuk aku yang payah ini. Tapi kenyataannya, aku tak bisa."
    "Jadi?"
   "Aku yang bodoh menjelaskan atau kau yang pura-pura bodoh untuk mengerti. Tak bisakah kita mulai dari awal semuanya? Aku ingin menjadi sosok yang baru, aku yakin bisa berubah dan tak akan semenyebalkan dulu."
    Ada keyakinan yang terpancar di matanya, meskipun, dia menangis.
    Pada akhirnya, aku luluh dan memeluknya yang hampiur runtuh. Meyakinkannya bahwa kemarahanku hanya untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Gadis di sampingku ini biasanya sangat cerewet, kecepatan kata yang bisa dilontarkannya 140kata perdetik. Lebih dari cukup untuk masuk kategori memuakkan.  
     Sebuah lamunan yang harus kubayar dengan air mata. Aku tak ingin lagi menatap matanya, mata yang selalu membuatku jatuh cinta. Dan kini, coklat panas sudah dingin. 

Bandung Barat, 2017

Saturday 21 October 2017

Puisi; Pada rembulan yang menyaksikan dada kita berguguran (dan) Puisi; Mati

Pada rembulan yang menyaksikan dada kita berguguran


Ribuan dentuman peluru berdetak di dalam dada
Menghujam pilu yang berdarah; diledakan asmara yang masih sama
Dan rembulan kini berwarna merah
Kehabisan alasan untuk tetap berdiri

Pada rembulan yang menyaksikan kita sekarat dijilat nasib
Kita  sama-sama berharap luka itu kering
Sedangkan rembulan bahkan tak menggantungkan tali takdir
Kita sama-sama lupa, wajah yang ayu dan gagah telah kehabisan masa
Kita hanya bisa berharap, sekarat menghapus segala dosa


 Bandung Barat, 2017
 

Puisi; Mati



Ada puisi, Puan?
Di mata, hidung, rambut juga kaki
Yang berteriak kala sepi
Tapi hatimu tuli, Puan?

Masih adakah puisi, Tuan?
Yang riak dari hulu ke hilir
Melewati gunung, bukit, lembah bahkan sudut hati orang-orang kecil
Padahal, air saja tak dapat mengalir di hati mereka

Puisi, Tuan?
Kata-kata hidup
Lalu mati, lalu hidup
Mati-hidup-mati-hidup
Di balik dada yang dipasung baja
Di dalam peti mati
Nurani

Tapi puisi masih hidup, kan Tuan?
Di negara yang hampir mati ini?
Bandung Barat, 2017

Thursday 19 October 2017

Cerpen; Di sebuah desa, sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan

Foto
Pict by google+

 

Di sebuah desa, sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan

 



    Janganlah kecut seperti itu saat rindu mendekat, Kekasih. Ingatlah malam-malam kita yang seperti debur ombak, menghempas beberapa kali tubuh kita. Menjadikannya teguh dan menjulangkan  rasa. 

   Janganlah bermuram seperti kelabunya awan mendung. Aku pasti pulang ke kotamu, memelukmu erat sebelum kita terlelap. Tapi  Kekasih, janganlah kau memintaku hari ini. Tumpukan kertas itu masih meminta waktu untuk dibelai. Kumohon padamu, untuk tidak cemburu.

   Sebagai permintaan maaf. Ingin aku menceritakan senja yang cantik, pelangi yang cantik, atau hamparan pemandangan di kaki pegunungan. Namun rasanya semua tak akan bisa melebihi cantikmu. Ah ... janganlah kau katakan ini gombal, Kekasih. Karena mata indahmu yang bersinar, telah menyinari hari yang telah dan akan aku lewati. Dan akan tetap seperti itu, Kekasih.

   Baiklah-baiklah. Dari pada kau terus cemberut seperti itu, akan kuceritakan saja sebuah desa, di mana sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan. Ya begitulah, Kekasih. Rintik hujan di desa ini selalu membawa sajak-sajak cinta. Menggenang di dada sebagian manusia yang gagal pergi dari kenangan. Airnya mengalir menuju parit, menuju sungai. Di sana terdapat batu-batu besar yang seperti polisi mengatur lalu lintas laju air. Di sungai itulah biasanya para penyair menjaring sajak-sajak dari alurnya yang deras, setiap pagi dan sore.

   Aku pernah pergi ke sana, hanya untuk membuktikan cerita teman kantor. Bersama beberapa penyair muda yang masih malu-malu mengeluarkan karya. Mereka mendapatkan banyak sekali sajak, tentang cinta, tentang kenangan, tentang kesetiaan. Namun tak ada satu pun yang mendapatkan sajak tentang kerinduan. Dan kau tahu apa yang aku dapatkan? Yang kudapatkan dari sungai itu hanyalah namamu. Benar-benar hanya namamu.

   Mereka semua tertawa,. Menertawakan nasibku yang katanya di bawah rata-rata. Kami dapat banyak, sedangkan kamu hanya dapat nama seorang perempuan. Kau akan buat apa, Saudaraku? tanya seorang yang dituakan di antara mereka. Yang lainnya pun tertawa semuanya  mendengarkan ledekan itu. Kubentak saja mereka, lalu kukatakan, namamu bisa tumbuh menjadi apa saja. Kuselipkan namamu dalam selembar kertas, lalu pulang dari sana dengan perasaan jengkel.

    Saat sampai rumah kontrakan, kubuka kembali kertas itu. Dan menemukan, namamu telah berganti. Duh, Kekasih. Janganlah kau cepat cemburu seperti itu. Akan kubacakan saja cepat-cepat untukmu, agar tak ada salah sangka lagi di hatimu. 

"Langit hanyalah selembar ruang hampa, sedang namamu tempatku semayamkan semua rasa. Ingin kuucapkan di telingamu sebuah janji. Aku akan terus memelukmu, hingga tanah memelukku. Kau adalah sosok yang selalu kudoakan. Menemani hari yang lahir, hingga senja menuntupnya

Aku ingin memeluk semua udara yang keluar dari napasmu. Memasukannya dalam botol, dan tak akan kubagi pada siapa pun. Termasuk seseorang yang menatapmu dari atas. Tidak! Tidak juga pada tumbuhan yang memelas itu. Namun, Kekasih. Aku tak bisa melakukan hal itu. Jadi, bolehkan kupinta setiamu saja  untuk menunggu? Bersabar di ruang rindu, menanti temu. Kau setuju, kan?"

   Kau terkejut? Apa lagi aku, Kekasih. Selepas membaca tulisan itu aku tertidur. Lelap dalam mimpi, menembus alam bawah sadar tanpa sadar.

****

   Kekasih. Saat aku terbangun. Namamu tertulis di setiap sudut kamarku. Menjadi sajak yang kubaca setiap waktu. Tuhan adalah Maha dari segala Maha. Kepada-NYA kupinta namamu untuk terus menggenggam erat tanganku. Jangan pernah kau berpikir aku berpaling, tersebab jarak bukan halangan bagi rasaku bermuara di hatimu.

   Namamu akan jadi muara, tempat terakhir yang kutempati sebelum ajal menjemputku. Senyummu adalah tempat pulang. Tempat aku menitipkan segala kebahagiaan, juga keceriaan yang bermekaran dari setiap embus napasmu.

   Di tempatku saat ini, malam telah larut. Jadi, begitulah, Kekasih. Aku tau rindu telah tumbuh sesak di hatimu.  Tapi begitulah, kau tahu alasan apa yang akan kukatakan. Jadi jangan cemberut lagi, iia?

Bandung Barat, 21;07 14 oktober 2017
@ArdianHandoko


Sumber foto; https:///plus.google.com/u/0/photos/photo/107039535848656282712/6477895087445759330?icm=false&iso=true&sqid=110204653047505865313&ssid=0931680f-c61b-46ef-8d8f-9781b5a27b43

FlashFiction; Senyum Penjual Kopi

    "Kita ke pergi Sam. Ayo!"

   "Ke mana?"

   "Warung kopi. Kita cek kasus kemarin."

   "Hah? Apa kau tak salah?'

   "Kudengar, tempat terakhir yang dikunjungi mayat-mayat itu. Sudah jangan banyak tanya!"

    Salah satu kota di Jawa Barat yang sedang kutempati ini, biasanya terasa damai dan tenang. Namun, sudah beberapa minggu ini, kepolisian selalu menemukan mayat di pinggir jalan dengan mulut berbusa. Over dosis! Yap, itu juga yang pertama kali kupikirkan, tapi anehnya, saat mereka --tim khusus devisi kami-- memeriksanya di lab, mereka sedang tak menggunakan zat adiktif macam apa pun. Aneh bukan? Dan Sebagai Intel, kami diperintah untuk memastikan apa yang telah membuat mereka mati dengan keadaan itu.

   "Jika kita berhadapan dengan narkoba jenis baru, sungguh tak etis rasanya diedarkan di warung kopi. Jangan bercanda kau!"

   "Maka dari itu, mari kita pastikan," dengan nada yang sama-sama sewot, dia menenangkanku.

   Kami berjalan menuju warung kopi. Beberapa menit pun berlalu, kami sudah sampai di tempat yang dituju. Sangat sederhana dan sangat jauh dari apa yang aku bayangkan. Beberapa orang sudah terlihat asik mengobrol di sana.

   "Kopi, Kang?" ucap si teteh penjaga warung, sambil tersenyum manis, menyambut kami. Kuperkirakan wanita itu baru berumur 25 tahun.

   "Kopinya dua," kami pun segera duduk di bangku paling pojok. Aku mulai menyalakan alat untuk merekam semua percakan sebagai bukti, dalam tas kecil yang kubawa.

   Entah kenapa, aku merasakan sansasi mabuk saat baru saja terduduk di sini, padahal  belum ada satu makanan atau minuman masuk ke mulutku. Orang-orang di sampingku telah berbicara dengan begitu melanturnya. Tapi, tak ada satu botol pun minuman yang memabukan di atas meja. Apa jangan-jangan ....

   "Ini, Kang, kopinya dua," setelah menyimpan kopi di atas meja, wanita itu kembali tersenyum. Buru-buru kuminum kopi itu, berharap dugaanku kali ini salah. Tetapi aku malah merasa semakin mabuk karena meminumnya.

   "Kau tak apa, Sam?"

    "Pikiranku merasa melayang," kurasakan tubuh ini hampir rubuh.

   "Kenapa, Kang?" sedikit panik, wanita penjaga itu pun menghampiri kami lagi.

   "Tak apa," ucapku meyakinkan, dan wanita itu kembali tersenyum ke arahku.

   Badanku mengejang, kurasakan busa mulai naik ke tenggorokan, lalu perlahan menyebar di mulut. Dalam kesadaran yang tinggal sedikit, kuingat lagi senyuman wanita itu, senyuman yang memabukan.

Bandung Barat, 2017

Tuesday 17 October 2017

Haibun; Harapan menuju sukses

Doa: Lentara yang terus menyinari setiap langkah


     Malam masih menyajikan hening. Ketika bait-bait doa aku rapalkan. Ada ragu menggelayut, pada pohon pinus rindang di depan rumah. Entah seperti apa masa depan, entah jalan seperti apa yang akan aku lalui. Namun, aku percaya. Pengharapan dalam doa-doa adalah lentera yang akan menerangi jalan-jalan menuju kesuksesan. Desir angin masih membelai beberapa daun di pucuk pohon cemara dan langit malam masih menyajikan pekat. Membuat aku merenung tentang kepayahan diri, keserakahan hati, ketamakan jiwa yang terus menghimpit dada. "Tuhan, jika kesuksesan adalah kabut yang menutupi mata hati. Maka, kayakanlah diri ini dengan terus bersimpuh serta sujud pada-MU. Berikanlah lentera yang menyinari hatiku, agar mengenal kasih-MU yang tak pernah terkira."

.
.
.

Malam yang pekat
Diri ini bersujud
Mengaku payah


Image result for gambar orang bersujud
Pict by google
.


Bandung Barat, /2017


    Demi pagi yang mendung, hari ini. Kita tak akan pernah mencapai kesuksesan, apabila kita terus saja berpikir tanpa  bertindak. Jalan-jalan menuju puncak tak akan pernah ada, apabila kita terus berkhayal tentang indahnya awan di atas sana, tapi tak mau mengangkat batu untuk pondasi dari harapan. Harapan itu seperti ladang subur dan kesuksesan adalah buah. Aku tak aka  pernah memetik manisnya kesuksesan, jika tak pernagh mau menanam  bibit, menyiraminya serta merawatnya. Batangnya terbuat dari kerja keras, akarnya menancap dari doa,


   Cicit suara pipit senja ini membangunkanku dari sebuah perenungan panjang. Sukses adalah rangkaian rantai yang saling bertaut dengan masa lalu, serta menyambungkannya dengan masa depan. Adalah kebodohan diri, saat tertawa riang di antara irama duka burung-burung yang  belajar terbang. Pohon kesuksesan itu berhasil diraih, ketika buahnya bermanfaat untuk sekitar dan menggoreskan lengkung-lengkung senyum. Nak, kelak ketika hitam di atas kepala ini memutih. Aku ingin, kau bisa mengepakkan sayapmu setinggi mungkin. Juga menjaga burung-burung renta atau  belajar terbang itu dipelukmu. "Terbanglah!

Monday 16 October 2017

(Prosais) Tentang Kita

     Ada warna-warna yang terus tergambar dibenakku. Tentang kau, tentang dia, tentang kita. Menjadi pelangi pada kertas putih biru, atau abu-abu. Sebuah inspirasi tentang persahabatan, air mata serta titik-titik perjuangan yang menggaris menjadi sebuah rasi bintang.

     Tawa-tawa masih menggema di langit kamarku. Menghibur hati yang entah harus bersedih atau tertawa. Aku tau, ini bukan cerita tentang kehilangan, tapi sebuah titik pijar dari sebuah perjalanan panjang. Sahabat, percayakan semua kenangan itu pada ranting memori. Percayalah, karena tak ada beban yang berat saat kita bersama, karena setiap lelucon konyol atau sedikit kegilaan kita telah menghilangkan galau dan risau yang tengah menjajakan diri demi sebuah tangis.


    Esok, semoga seorang pemimpi seperti aku berada di titik normal seperti manusia lainnya, dan kita bisa kembali berbagi cerita diselingi tawa-tawa (lagi) seperti dulu.

    Jangan pernah melupakan aku, dan semua kenangan kita.
    Mari menggapai sukses, meski jalan yang kita lalui berbeda.


Bandung Barat, 2017
@Ardian_handoko

Saturday 14 October 2017

Puisi Tentang Perjalanan

Edelweis, mengabadikan kita

Derap langkah kita pagi itu
Memeras waktu, menyulingnya jadi kenangan
Pada setetes embun yang ditulisi sajak oleh mentari
Menguap, tapi menetap di sanubari

Di atap Jawa barat
Kita menatap edelweis yang kekanakkan
Bergerak lincah
Ke sana, ke mari, menari-nari

Sahabat, ingatkan aku
Tentang serumpun ilalang yang saling berpelukan
Tentang awan berarak yang tak berjarak
Tentang kita, sebuah masa tak terlupa

Edelweis, si bunga abadi
Pada indahnya kita menyimpan tawa
Menggema di malam-malam gelap
Terus menggoda hingga dunia terlelap

Bandung Barat, 24 Juli 2017


 Foto Ibu

: Rahmat Hidayat (#Ar_rha)
Aku hendak menganyam mimpi
memungut harapan yang hilang di desa kecil ini
merantau, melewati pulau-pulau
jauh dari ayah, ibu bahkan masa kecil
juga kisah-kisah tentang hidupku yang kerdil

Malam kerap membelai rindu
merangkai debu-debu, dari waktu
jadi sebuah lagu yang bisu
diputar pada ruang-ruang kelabu, di sudut pilu

Tapi kupandang lagi potret ibu
senyumnya menambal semangat yang retak

Aku harus kuat!
lukaku berjumlah sekerat
berbeda dengan yang robek di dada ibu
saat dicaci waktu, diteriaki "Bangsat!"

Saat kesedihan, luka juga kebosanan melanda
kupandangi lagi foto ibu
yang tergantung di daun pintu

Bandung Barat, 31 juli 2017

Thursday 12 October 2017

Kumpulan Puisi Hujan

BEGITULAH HUJAN ADANYA


Pada tubuh segumpal awan
kutitip sejumput harapan
tentang rindu-rindu yang biru
tentang kisah sendu, aku dan kamu
kaki kecilnya perlahan menapak
seiring wajahmu yang semakin menjejak
begitulah hujan adanya
terselip doa tentang kita; di antara rintiknya


Begitulah hujan
rintiknya membawa rindu, juga kenangan
dada bumi yang resah
kini basah; diciumi air yang tumpah
menceritakan penantian
yang dikatakan rintik hujan
tentang syair-syair hati
pada kesepian; menghanyutkan sunyi

Hujan tak mampu mengikis wajahmu
apa lagi menenggelamkan pilu
hanya anak-anak genangan yang lahir
sebagai muara rindu setelah mengalir
tak bisa lepas dari dada
rongganya disesaki hampa
embun pagi bermukim pada daun
menanti pagi, untuk menyapa mentari dengan santun





Di Bawah Gerimis, Malam Ini




Kaki-kaki kecil gerimis
mencium tanah rengkah di dadaku
menyelusup; membasahi sebongkah hati yang bertelungkup
pasca kepergian gadis bermata langit, senja kemarin

Cerawat terbang di bawah lamunan
pada malam yang pekat 
senjata mulai diangkat
oleh nurani dan logika

"Dasar apa kita menunggu?"
kata logika, meminta mundur dengan lapang

"Karena kita akan menang!"
kata nurani, menyatakan bertahan seperti karang

Namun di seberang jalan
dekat sebuah jembatan
gadis bermata langit itu sedang menaiki sanggurdi
dibantu lelaki gagah dengan hati-hati

Perlahan, gerimis menjadi hujan
bagai anak panah saat perang
di pelupuk mataku


Bandung Barat, 11/09/2017

Curahan hujan


Aku hanya bisa diam
saat hujan mengingatkanku tentang cerita 
debu-debu masa lalu (bagimu)
yang pernah  terangkai dalam asa masa depan
Di depanmu aku terdiam
melihat tangismu aku terdiam 
melihatmu aku tetap diam
saat kau pergi, aku hanya diam

Langit rusuh, air riuh, bahkan dunia gaduh
mempertanyakan aku yang hanya diam dalam mengenangmu
yang hanya diam ketika kau tersakiti
yang hanya diam saat kau bergerak menjauh
Hatiku berontak dalam diam
otakku berfikir tak berhenti 
badanku bergetar menahan diri 
ini memang kesalahanku
ini adalah dosaku
hukuman yang sebenarnya tak setimpal dengan rasa sakitmu
Saat hujan di bumi Pertiwi
kucoba rangkai huruf untuk putihkan hitam di hatimu
kucoba lukiskan harimu agar cerah seperti dulu
aku ingin pelangi payungi wajah nan ayu yang pernah kupetik
Namun, aku hanya terdiam.
tak mampu melakukan apa pun
bahkan kini langit berubah kelabu
batu-batu tak berdebu
cinta yang hilang, hati tak tenang, badan meriang
sedikit dari kesakitan hatimu

Kini hanya tersisa kecewa dalam benakku 
kala burung-burung bernyanyi
aku terhenti mengingat betapa bodohnya aku
apa daya, aku memang tak berguna
kini kau yang terdiam, untuk selamanya
Dear, sosok terang dalam gelapku
kau yang sempurna dalam kehidupan acakku
cinta yang ingin kembali kugenggam

Bandung Barat, 2017

#FFkamis - Wanita Yang Membawa Batu

   Dengan berlinangan air mata, wanita itu menarik batu besar ke rumahnya. Tak peduli pembicaraan warga desa yang sembunyi-sembunyi membicarakan kelakuan wanita senja tersebut. Baginya, mereka hanya tau masalah, tanpa pernah mau membantunya.
 
    Sesekali pembicaraan para ibu-ibu terhenti, saat wanita tua itu berjalan di dekat mereka. Namun saat dia telah jauh dari pandangan. Siulan-siulan bernada miring itu kembali dilantunkan.

   "Jadi, isu itu benar." Suara seseorang di ujung gang masuk ke telinganya. Memang menyakitkan baginya mendengar hal itu, tapi apalah daya. Pembelaan tak akan menghentikan mereka.

    Tak lama berselang, dia sudah berada di rumah. Dengan lemas dia berkata, "Malin, ibu menyesal sungguh."

*Sumber foto; http://dongengceritarakyat.com/cerita-malin-kundang-singkat-dongeng-legenda/

Hasil gambar untuk sketsa malin kundang
Pict by google

Saturday 7 October 2017

FlashFiction; Hujan Darah bulan Agustus .


    "Lihat! Hujan ini merah!" pekik Gajuz di depan istana. Dua orang teman menghampirinya, lalu menatap tetes-tetes yang turun dari langit.

    "Ini darah!" teriak Nanas. Mereka semakin penasaran saja. Bahkan, Budiana sempat mencicipinya.

    "Benar ini darah. Mungkin karena awan terlalu banyak menangis," Budiana mengutarakan pendapatnya. Setelah itu mereka mengucapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

    Di luar gerbang, aku memperhatikan mereka yang takjub dengan hujan bulan agustus kali ini.

    "Dahulu, tanah ini dibayar dengan banyak darah pahlawan. Hari ini dan esok. Kita akan basahi lagi dengan darah para koruptor!" gumamku sambil mempersiapkan semua alat untuk menculik tiga orang dalam istana. Nanti malam.
 

Bandung barat, 2017

Friday 6 October 2017

Tentang Kehilangan

Jika kehilangan adalah suatu kepastian. Maka biarkan aku mengabadikanmu dengan tulisan.

Aku, darah yang diam dalam seribu sajak keegoisan. Malam adalah kertas yang ditulisi keinginan, tentangmu, dan tentangmu. Hingga titik menutup cerita yang pernah kubuat dalam ingatan-ingatan luka.

Selarik puisi pernah kugenggam, lalu hilang bersama waktu yang terlipat di antara jarak. Memisahkan angan dan ingin yang pernah sedekat mata. Kita, sekumpulan cerita yang pernah kuperjuangkan. Dengan kata yang dibahasakan, juga kesabaran dan doa yang kubicarakan dengan Tuhan kala temaram.

Memang, dari pertama semua salahku yang belum bisa terbuka dengan semua hal. Hanya saja, aku takut ikatan kita yang hanya terpaut pada 'Santai tapi serius' itu terputus. Karena kupikir, belum sepantasnya aku menambah bebanmu.

Tahun 2013 kau pernah menulis, 'Penghormatan itu tak merata, namun berpola. Semoga saja pundakku ini masih kuat menahannya.' Maksud hati ingin memahami, tapi biarlah, mungkin ini takdir yang harus kutapaki.

Kehilangan memang sudah pasti terjadi, namun, kehilangan hal yang lebih berharga dari permata itu ... sakit luar biasa.

Palu sudah diketuk, vonis telah dijatuhkan. Penghakiman ini memang pantas untuk semua salahku. Terima kasih untuk semua yang lalu dan yang akan datang. Semoga dirimu bisa lebih bahagia dari ini, Puisi.

Bandung Barat, 2017


*Note; Sumber gambar tertera

Thursday 5 October 2017

#FFKamis-Lelaki Lupa Diri

 Lelaki Lupa Diri


   Kakinya terus mengukur jalanan, tak peduli malam. Lelaki itu memang lupa diri, lupa segala hal tentang masa lalu, tentang kota ini dan dirinya sendiri.
 
   Gerimis yang turun, melunturkan tinta ingatannya. 'Apa yang telah terjadi? Siapa aku? Siapa ayah dan ibuku? Bagaimana aku bisa ke kota ini?'
 
   Hujan semakin deras, mirip pertanyaan di kepalanya yang terus merengek meminta jawaban. 'Namun harus kucari kemana jawaban? Sedangkan pikiranku entah di mana.'
 
   Gedung-gedung tinggi, taman kota serta nama-nama jalan tak memberinya ingatan apa pun. Hingga di suatu genangan, dia mencoba berkaca.
 
   "Sial! Bahkan air tak mengenalku. Buktinya tak terlihat pantulan wajah siapa pun di sana."

Bandung Barat, 2017 



Hasil gambar untuk sketsa hujan dan genangan
Pict by google

Tuesday 3 October 2017

FlashFiction; Wanita

Gara-gara Tersenyum


   Ini sudah jam sepuluh pagi, tapi matahari masih saja gelap. Bukan karena awan atau hujan. Penduduk mulai cemas, sedangkan di media-media elektronik, para pakar sudah mulai asik mengucapkan kemungkinan-kemungkinan. Ada yang menyebutkan, karena matahari tertutupi planet baru, kehabisan helium, bahkan yang paling gila, ada yang menyebutkan gara-gara PLN telah memutus aliran listrik ke sana, karena malaikat sudah dua bulan menunggak.

   Semua orang panik. Mereka berdiam diri dengan orang-orang yang tercinta, bahkan yang lainnya telah menyiapkan diri dan menyatakan ini kiamat. Yah semua diam dengan ketakutan, kecuali satu orang wanita yang berjalan menuju taman kota. Mata-mata cemas mengintipnya dari jauh, berharap dia tidak frustasi dan gantung diri.

    Ternyata dia bertemu dengan seorang laki-laki itu membentaknya, "Apa yang sebenarnya kau lakukan, hah!"


  "Kubunuh matahari kemarin! Karena dia tersenyum kepadamu dan kau membalasnya, aku cemburu!"




Bandung Barat, 09/09/2017

Foto
Pict By google+


 

Selamat Datang Di Neraka.

   "Bagaimana? Kau maukan bercinta denganku?" Wanita berkulit putih menarik tangan Samsuri ke kamar. Lelaki berperawakan gemuk itu mengikut saja, seperti anak bodoh, disuruh ke depan kelas.

   Kenanga mulai membuka baju, hingga terlihatlah apa yang membuat mata kaum adam *terbelalak. Dia mulai naik ke ranjang, diikuti Samsuri dengan penuh nafsu.


   Mereka berpangut, desah-desah nafsu yang menggebu, juga tangan yang mulai terbang ke berbagai 'benda' makin menghilangkan kesadaran. 


   "Aku buka, ya, Sayang?" Tangan lentik kenanga mulai menurunkan celana dalam Samsuri. Lelaki itu menutup mata dan ....
Srett!!
Darah berceceran, belati yang dari tadi diselipkan di jaket itu kembali mendapatkan mangsa.


   "Yah, putus, Sayang. Gak jadi, ya? Abis kamu kaya lelaki penjahat yang dulu perkosa aku sih!" ucap Kenanga sambil membersihkan belati. Wanita itu kembali memakai baju, lalu keluar dari kontrakan Samsuri. Membiarkan si lelaki kesakitan, setelah burungnya terbang.



Bandung Barat, 09/09/2017



 Celengan

     Seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Aku ingin kisah ini menuju jenjang pernikahan. Sadar bahwa tak mungkin membebani orang tua, untuk semua biaya resepsi. Aku mulain menabung di satu tempat yang orang lain tak dapat mengetahuinya.

    Aku hendak melamarnya hari ini, setelah kupikir, uang tabungan cukup untuk membiayai semuanya. Meski kusadari, akan seadanya.

   "Aku mencintaimu, Dik. Maukah kau menjadi istriku?" ucapku tanpa basa-basi lagi, sesaat setelah dia datang ke taman ini.

   "Apa ini bercanda? Bukankah kita telah sepakati, Kak. Kita hanya teman istimewa, bukan sepasang kekasih!"

    Jadi selama ini? Perlahan, terdengar gemerincing suara logam berjatuhan. Uang yang selama ini kusimpan, berloncatan dari dadaku yang retak.




Bandung Barat, 09/09/2017



Kangen 

    Setangkup rindu membungbung di udara. Asapnya berwarna abu pekat, begitu menghalangi pandangan. Air mata pun mengalir, menganak-pinak di pelupuk Dani. Baginya, dunia kini hanya hitam dan putih, warna-warna hilang bersama kenangan, terkubur bersama jasad istrinya.

    Ditatapnya foto usang yang tergantung di kamarnya, ruangan yang dia tempati seperti menyedotnya jauh pada waktu-waktu silam. Seorang wanita duduk di sofa empuk buatan luar negeri. Matanya yang biru menatap lelaki gagah berkaca mata dengan penuh cinta. Ruangan putih itu terasa penuhi motif bunga mawar. Benar kata pujangga, cinta itu gila.

   Dia berjalan menuju pintu dapur, setelah berhasil keluar dari kenangannya sendiri. Menghangatkan makanan yang dibuatnya tadi malam. Makanan kesukaan sang istri, yang selalu membuatnya terkenang. Dia sangat hapal wangi rempah penuh kenangan. Segelas air putih, sepiring nasi dan rendah istimewa telah terhidang di meja.

   "Tuhan, berkahi makanan yang terhidang ini. Segera pertemukan aku pada kekasih hatiku, aaammiiin." Doanya selesai. Dilahapnya makanan itu dengan tenang dan hikmat.

   Tubuh lelaki itu mulai kejang, busa perlahan keluar dari mulutnya. Pandangannya samar. Ruangan itu kembali dipenuhi motif bunga. Dia tersenyum, racun yang tadi malam dimasukannya ke dalam makanan telah mengantarkan lelaki itu pada kekasihnya.


Bandung Barat, 09/09/2017



Foto
Pict by google+