Saturday 29 August 2020

Cerpen: Gadis Jelaga dan Bunga Telaga

 

Gadis Jelaga dan Bunga Telaga



   Gadis itu menatap cahaya rembulan yang terpantul di air telaga yang tenang, lalu pandangannya beralih memperhatikan setangkai bunga putih yang bergoyang oleh embusan angin. Ribuan kunang-kunang yang entah datang dari mana melayang mengitari kepalanya, seolah-olah sedang merayakan kemenangan si gadis.

   "Semoga ini yang kucari," bisiknya pada diri sendiri.

   Ia membasuh muka, sambil sesekali memperhatikan bentuk wajahnya sendiri. Hidung pesek, pipi cekung, mata hitam, juga rambut ikalnya yang sering diikat, dan sesuatu seperti jelaga menempel di beberapa bagian wajahnya. Tak peduli ratusan bahkan ribuan kali dia basuh, noda-noda itu tetap saja menempel.

   "Ini kamu dan keburukanmu, Yul. Kebanyakan kurang, dibanding lebihnya." Ia mencoba tersenyum, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Tetapi, itu akan berakhir sekarang."

   Tanpa berpikir lagi, gadis itu melompat masuk ke air telaga yang dingin. Berusaha untuk memetik bunga itu, berusaha menggapai apa yang dicita-citakannya. Melupakan peringatan yang pernah diucapkan ayahnya.

***

   Gadis itu sering menyebut titik-titik hitam di wajahnya kutukan, karena ia terus diledek dengan sebutan gadis jelaga. Awalnya ia tak mempermasalahkannya, tetapi seiring berjalannya waktu, ketika teman-teman seusianya sudah berumah tangga dan memiliki bocah-bocah kecil lucu, ia merasa iri. Gadis itu merasa kesepian, berpikir dirinya sangat payah dan tak berarti.

   "Hidup tak pernah adil untuk manusia jelek macam kamu, Yul." Kata-kata semacam itulah yang sering ia gumamkan di sela-sela rutinitas hariannya. Mengambil kayu di hutan, membersihkan rumahnya yang sangat sederhana, memasak apa yang ada dan hal-hal yang bisa ia lakukan sebagai anak perempuan.

   Sebenarnya, Yuli tidak sejelek seperti apa yang ada di pikirannya. Ada banyak lelaki yang diam-diam menyimpan perasaan padanya. Hanya saja, ia kerap membicarakan hal-hal yang jauh dari realitas dan mengabaikan hal-hal yang ada di sekitarnya. Di pikiran orang-orang sekitarnya, gadis itu dianggap terlalu sering mengkhayal, bahkan sebagian dari mereka menyebutnya gila.

   Dua hal bertentangan yang ada dalam dirinya, memiliki alasan yang jauh dalam jangkauan siapa pun untuk menyentuhnya. Sesuatu yang ia pendam dan tak ingin diketahui orang lain, bahkan ayahnya sendiri.

   Ayah Yuli adalah seorang yang sering bepergian, beberapa hari sekali pulang membawa bahan makanan, lalu esoknya ia berangkat lagi. Tak ada percakapan basa-basi, atau obrolan hangat di antara mereka. Gadis itu bahkan tak tahu apa pekerjaan ayahnya, ke mana beliau selama tak ada di rumah, atau apa pun. Baginya, sang ayah adalah jurang, jika memaksa bertanya atau melangkah mendekatinya, berarti siap untuk mati mati.

   Sedangkan sang ibu, baginya adalah matahari. Sering membacakan cerita ketika ia merasa sedih, memasakkan sesuatu saat ia sakit, dan selalu memperhatikannya. Namun, ibunya menghilang suatu malam, setelah beradu argumen dengan sang ayah. Ayahnya marah, lalu memecahkan piring. Waktu itu umurnya baru sembilan tahun, dan hingga hari ini tak pernah kembali.

   Ada tetangga yang bilang bahwa ibunya ditelan malam, ada juga yang bilang sang ibu diculik seseorang untuk dijadikan persembahan, dan cerita-cerita aneh lainnya. Satu hal yang pasti bagi gadis itu, bahwa ibunya menghilang dan  ia dipaksa hidup dengan seorang laki-laki yang harus dipanggilnya ayah di rumah ini.

   Ia kesepian, berharap ibunya masih hidup agar bisa memeluknya, membuatkannya makanan, menemaninya bercerita. Sudah tak ada lagi yang bisa memanjakannya. Tak ada.

   Di pikiran gadis itu sekarang, hidup hanyalah berjalan pada batu-batu bernama kesialan.

   Suatu sore yang dingin di pertengahan September. Ketika awan-awan menceritakan cerita sedih  kepada seseorang dan langit yang ikut menguping malah menagis, hingga air asyik berjatuhan menyentuh segala yang ada di bumi. Gadis berambut ikal itu tak sengaja mendengarkan percakapan dua orang pemburu yang sedang berteduh, ketika mengambil ranting-ranting di pinggiran hutan.

   "Kenapa kau murung, Dit?"

   "Istriku sering merajuk akhir-akhir ini. Meminta dibelikan perhiasan dan rumah mewah. Sedangkan kau tahu sendiri keadaan di sini bagaimana dan usaha yang kurintis sedang loyo. Setiap kali merajuk seperti itu, dia pasti mengucapkan kata pisah. Pusing aku, To."

   "Jika kau ingin mencoba, sebenarnya ada mitos tentang bunga di telaga, Dit? Katanya, siapa pun yang bisa mendapatkan bunga itu, segala keinginannya akan terkabul, tetapi semua yang pernah mencari bunga itu tak pernah kembali. Mungkin saja diambil para dedemit, aku juga tak tahu pastinya seperti apa."

   "Jika harus kaya tapi mati, aku akan lebih memilih kehidupan yang seperti ini saja."

   "Mungkin di pikiran orang-orang yang nekat itu, mereka bisa memakai uang untuk menyogok para malaikat."

   "Hahaha, kau bisa saja, To. Mari lanjutkan perjalanan, sebelum hujan lagi."

   Tak ada lagi bunyi, selain suara langkah kaki menginjak ranting yang perlahan-lahan menghilang. Dan gadis itu, kini tenggelam dalam lamunannya sendiri.


Sumber Gambar : pexels.com


   Ia membayangkan dirinya akan secantik putri dan akan datang seorang pangeran yang hendak mempersuntingnya, atau dipinang oleh seorang pedagang sukses dari kota yang telah mendengar kabar burung tentang kecantikannya. Ia tersenyum dan salah tingkah, membayangkan hal-hal yang mungkin akan terjadi seandainya gadis itu mendapatkan bunga di telaga.

   Gadis itu segera mengikat ranting-ranting sembarangan. Ia harus menyiapkan makanan untuk ayahnya --yang menurut perhitungannya, akan pulang. Baru kali ini ia bersemangat, seolah-olah, mimpi yang selama hidupnya jauh dari jangkauan, sekarang berada di depan pandangan. Sedikit berlari, ia melangkah pulang.

   "Selamat tinggal gadis jelaga, selamat datang gadis yang cantik jelita."

***

   Di sini gadis itu sekarang. Tenggelam perlahan tanpa ada seorang pun yang akan menyelamatkannya. Tak ada yang mendengarkan, sekali pun ia telah berteriak sekuat tenaga. Tubuhnya sudah tak bisa digerakan. Kakinya keram dan tangannya sudah terlalu lelah bekerja seharian. Ia hanya bisa pasrah, sebab gadis itu yakin, ini akhirnya.

   Dadanya sesak, terasa seperti dibakar. Sedikit demi sedikit kesadarannya pun menghilang. Gadis itu berusaha mengingat apa yang telah dilakukannya sebelum melemparkan diri ke telaga. Memasak, mencoba menutup mata, tetapi tak juga terlelap, lalu berjalan jinjit seperti pencuri menuju telaga. Ia ingin kembali menuju beberapa jam yang lalu, berharap bisa memperbaiki hubungan dengan sang ayah, tetangga, dan teman-teman semasa kecilnya. Namun, waktu adalah prajurit yang tak pernah mengenal kata mundur.

   Gadis itu mendengarkan sebuah suara dalam kepalanya, suara lembut yang sangat dia rindukan.

   "Sini, Nak. Peluk ibu."

    Sebuah tengkorak menyembul keluar dari pasir telaga. Menyambutnya. 


Bandung Barat, 15/02/2020