Monday 29 March 2021

Review: Kumcer Kompas 2001

  Tentang Buku Cerpen Pilihan Kompas 2001

"MATA YANG INDAH"

 

 Penerbit: Buku Kompas 

Terbit: 2018 (cetakan ke-2)

Jumlah Halaman: 192 hlm.

Ukuran: 14 cm x 21 cm

 

    17 cerpen, satu kata pengantar dari penerbit, dan dua ulasan membuat saya cukup kenyang membaca dalam dua minggu terakhir ini. Sungguh membuat saya kenyang dari berbagai sisi.

    Menampilkan banyak sisi kehidupan yang mungkin jarang atau tidak pernah tersorot. Dengan gaya ungkap yang berbeda, orang-orang keren ini menampilkan bacaan yang begitu berisi dan bergizi. Selain itu, tema yang disuguhkan pun sangat variatif, membuat kita tak akan bosan melahap satu per satu ceritanya.

    Beberapa cerpen dibuat gelap. Kita (sebagai pembaca) hanya bisa merangkai kejadian demi kejadian, tetapi di akhir penulis memberikan kita keleluasaaan sendiri untuk menyimpulkan (atau menginterpretasikan)-nya sendiri.

    Ada pula yang gaya ungkapnya sederhana, tema yang diangkat sederhana, tetapi begitu sampai pemaknaan tidak sederhana. Jika saya boleh mengutip ulasan (atau esai) bagian akhir dari Alois A Nugroho:


--dan begitulah ukuran sastra bermutu menurut Ernst Cassier. Cerpen dapat dibaca apa adanya secara "realistis", dapat di tafsirkan pula secara "simbolis".

 

Secuil Kehidupan,             

Setetes Pengalaman       

 

    Di antara semua, ada tiga cerpen yang begitu istimewa bagi saya dan satu yang sangat unik. "MATA YANG INDAH" - Budi Darma, "IKAN DI DALAM BATU" - K Usman, "ZIARAH ARWAH-ARWAH BAYI" - Indra Tranggono, dan "DEJA VU: KATHMANDU" - Veven Sp Wardhana.

    "MATA YANG INDAH" Cerpen yang begitu dialektik (begitu khas Budi Darma) Tampak begitu tidak jelas dalam kejelasan, seperti cahaya kristal yang membias ke berbagai arah. Dan kita, hanya bisa terpesona dan mencoba menggapainya.

     "IKAN DALAM BATU" Bahkan hingga akhir, kita tidak diberikan kejelasan apa hubungan mimpi dan hal-hal yang terjadi kepada si tokoh. Adakah keduanya memiliki hubungan? Atau keduanya berdiri sendiri tanpa terikat? Kita dipersilakan menginterpretasikannya sendiri.

    "ZIARAH ARWAH_ARWAH BAYI"  Bercerita tentang bagaimana perjuangan seorang perempuan yang terjebak dalam suatau kondisi yang memilukan. Penggunaan gaya bahasa yang ciamik begitu memanjakan imajinasi. Saya selalu takjub dengan gaya bahasa seperti ini.

    Dan yang terakhir "DEJA VU: KATHMANDU" sangat unik. Kenapa seperti itu?

    Pertama, struktur ceritanya. Cerpen ini begitu unik dalam strukturnya karena memakai POV 3 dan POV 1 secara bergantian. Sesuatu yang baru (bagi saya) membaca cerpen seperti ini. Membuat penokohan terasa seperti membaur. Aku adalah kamu, kamu adalah mereka, dan lain sebagainya.

    Mungkin, di luaran sana ada yang mempertanyakan bagaimana bisa cerpen dengan dua sudut pandang seperti itu diperbolehkan? Saya pikir, sedikit kebebasan memberikan ruang bagi penulis untuk mengobservasi semesta sastra yang mungkin masih belum terjamah. Walaupun pendapat saya mungkin terasa sangat lemah dan tidak bisa dijadikan rujukan.

    Kedua, soal ikatan batin antara dua sodara kembar yang memiliki (semacam) kesamaan pada apa yang dilakukan, apa yang dirasakan, sampai-sampai salah satu tokoh samar-samar memiliki ingatan dengan seseorang yang bahkan (mungkin) tak pernah ia temui. Terasa sedikit absurd.

    Well, terlepas dari itu semua, bagi saya, cerpen ini sungguh unik. Barangkali, teman-teman yang telah membaca kumpulan cerpen (atau salah satu) ini memiliki pandangan lain? Tulis di kolom komentar, ya.


Bandung Barat, 2021

    

Monday 8 March 2021

Ruang Bebas: Sepotong Surat untuk Diriku


Untuk diriku sendiri

Di masa sepuluh tahun yang akan datang

 

    Halo, Bro. Apa kau sehat? Masih sering memikirkan masalah, dari pada memikirkan sebab dan jalan keluarnya? Haha. Semoga salah satu kebiasaan burukmu yang satu itu sudah terganti.

    Lagi pula, kupikir, kau harusnya lebih bahagia dibanding aku. Sebab banyak keburukan kita yang sedang--kuharap secepat mungkin--bisa kuperbaiki di masa ini. Salah satunya pasti kau juga tahu, tidak menyalahkan diri sendiri secara berlebihan pada suatu kejadian yang tak bisa kau kau kontrol lagi. Itu bukan sepenuhnya salahmu, percayalah.

    Selain itu, kau juga tak perlu menerima (lagi) orang-orang yang terus menekanmu untuk melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuanmu, kupikir. Atau masih membukakan tangan pada orang-orang yang singgah, tetapi tak bersungguh-sungguh? Datang dan pergi sesukanya, merasa berhak melakukan hal-hal itu kepadamu. Aku di sini tengah berusaha melakukan itu agar kau lebih bisa menerima segala tentang kita. Kelebihan dan segala kekurangan yang ada di dalamnya.

    Sebelum surat ini merembet ke banyak hal--ada banyak hal yang ingin kuketahui sepuluh tahun mendatang kau tahu? haha. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku-- Namun, kupikir, lebih baik kita fokuskan saja kepada dua masalah yang saat ini sangat-sangat ingin aku luruskan.

    Pertama, bagaimana pekerjaanmu sekarang? Apa kau telah menemukan pasion yang benar-benar ingin kau kerjakan? Atau mungkin, lebih buruk dariku? Tentu saja, doaku yang terbaik untukmu.

    Satu hal yang ingin kukatakan kepadamu. Terima kasih karena sudah bekerja keras. Aku tahu bagaimana kau memikirkan setiap resiko yang akan kau hadapi, memperhitungkannya, dan meyiapkan beberapa hal agar dampaknya tidak terlalu terasa. Meskipun pada akhirnya kita juga mengerti, takdir tak hanya menyajikan pikiran-pikiran yang ingin kita dapatkan. Malah terkadang di situasi terburuk, apa yang kita hindarilah yang terjadi. Maka dari itu, apa pun yang terjadi di hari ini, di harimu, kuucapkan terima kasih karena telah bekerja keras. Jika takdir menyudutkanmu di titik nadir, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri begitu keras, dari situasi sesulit apa pun itu.

    Kedua, siapa perempuan yang sedang berada di sampingmu saat ini? Apakah kalian sudah saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing? Kudoakan yang terbaik dari sini.

    Aku sendiri masih mencoba mengembalikan sedikit kewarasan, setelah beberapa kali terjebak kisah cinta dengan pola yang sama. Kupikir, sedikit memberi keleluasaan akan menumbuhkan rasa percaya yang begitu dalam, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia malah berpikir aku telah berhenti mencintai, dan melepas wanita itu seutuhnya. Tentu saja, itu bukan hal yang kita prediksi sebelumnya, bukan?

    Rasanya, sudah kucukupkan saja surat ini. Di waktu yang kutempati, malam sudah begitu larut. Bukankah aku harus menjaga kesehatan untuk kita berdua? Sebenarnya ada banyak satire lucu yang ingin kuceritakan, tetapi tak sewajarnya itu diceritakan seperti ini. Kau juga pasti akan tertawa, saat kita sudah melewati semua ini bukan?

 

Tetap kuat dan jadilah dirimu yang selama ini.

Selamat malam, diriku di masa depan.


29 februari 2020



Sepotong Surat untuk Diriku

Photo by Kei Scampa from Pexels


Fiksi Sejarah: Paul Joseph Goebbels

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_18
#NomorAbsen_302
Jumkat : 506 Kata


Paul Joseph Goebbels

    Semua berjalan dengan sangat lancar. Sebelum bertemu dengan Pak Presiden dan Hitler, aku mengkoordinasikan orang-orang untuk pergi ke Berlin. Membuat para pendukung, sebagian anggota partai, dan tentara khusus yang diberi nama 'Wehrmacht' berangkat berduyun-duyun. Diterangi dengan cahaya obor, mereka terlihat seperti orang-orang yang akan mengadakan suatu pesta kemarahan.

    Aku mendengarkan mereka berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Aku meminta pelayan menuangkan anggur, lalu kumainkan dengan cara memutar-mutarkan gelasnya.

    Wajah Presiden pucat pasi melihat arak-arakan itu. Mungkin ia tengah berpikir, bagaimana caranya kami mengumpulkan massa sebanyak itu.

    Aku hanya bisa tersenyum meremehkan. Sejujurnya, siapa yang sekarang tak mengenal kami bertiga sekarang? Dengan kepiawaianku memainkan kata, membuat propaganda dan menyebarkan kebencian, rasanya tak terlalu sulit mengumpulkan orang-orang bodoh itu. Hasut saja orang-orang bodoh itu! Buat kedengkian di dada mereka menyala. Dengan begitu, orang-orang seperti mereka tak akan bisa berpikir jernih dan sangat mudah untuk dikendalikan.

    Teriakan dari jalanan telah memecahkan hening berkeping-keping. Kulirik Hitler, wajahnya masih datar-datar saja. Tak ada raut wajah puas, bangga, atau sebuah kegembiraan. Cih! Dasar manusia tanpa ekspresi.

    Kuteguk anggur dalam gelas, berdiri, lalu berbasa-basi untuk keluar dan melepas kepergian orang-orang yang rela menjadi peluru. Demi kebebasan! Demi derajat ras yang lebih tinggi dibanding yang lainnya!

    Baru saja kututup pintu, seorang ajudan mendekat dengan dengan sedikit gelisah. Tampaknya ada suatu masalah yang mengganggu pikirannya.

    "Kenapa, Ajudan?"

    "Siap, Pak Menteri. Maaf ada sebuah masalah."

    "Soal orang-orang yang akan berangkat ke Berlin?"

    "Siap, Pak Menteri. Maaf, bukan soal itu."

    "Lalu?"

    "Siap, Pak Menteri. Ada desas-desus sebuah lelucon yang menjadikan Anda sebagai sasarannya."

    "Lelucon tak akan membunuh atau melukaiku, Ajudan."

    "Siap, Pak Menteri. Tetapi itu pasti akan sedikit meruntuhkan wibawa Anda."

    "Baiklah, mari kita dengarkan lelucon itu."

    "Siap, Pak Menteri. Mereka bilang, Anda diangkat menjadi warga kehormatan kota Brauschewig dan Bellitz, karena mampu melahap batang asparagus secara melintang."

    Mereka cukup pintar menyindir rupanya. Cih! Namun, aku juga tak mungkin menangkap orang dan memenjarakannya karena lelucon. Bagaimana jika kubakar saja tempat mereka berkumpul?

    "Ajudan, di mana tempat mereka biasanya berkumpul?"

    Kini Ajudanku benar-benar salah tingkah. Ia melihat sekeliling, mungkin takut jika ada seseorang yang menguping di antara kami.

    "Ajudan, bisikkan saja jika kamu ragu."

    "Siap, Pak menteri!"

    Ia mendekat, membisikkan sesuatu yang sesuai dengan perkiraanku. Badut-badut politik itu selain tak becus kerja, rupanya mereka juga memiliki selera humor yang sangat buruk.

    "Apakah mereka tertawa?"

    "Siap, Pak Menteri. Mereka tertawa terbahak-bahak."

    "Sepertinya orang-orang di Negeri kita memang membutuhkan hiburan. Nanti akan saya bicarakan dengan Hitler untuk membuat sayembara seperti itu."

    "Siap, Pak Menteri. Maaf, jika boleh tahu, hadiah yang diberikannya apa?"

    "Hukuman tiga tahun penjara di Auschwitz."

    Ia terlihat bergidik, sambil menatap lantai. Aku harus bergegas, ada banyak sekali hal yang harus kulakukan.

    Pada tanggal 30 Januari 1933, akhirnya Hitler diangkat menjadi kanselir oleh Presiden Hindenburg. Sebagai orang kedua di partai nasionalis Jerman, tentu saja aku ikut senang.

    Aku, Hitler, dan Goring akan merayakannya setelah pertemuan dengan Pak Presiden berakhir. Secara rahasia tentu saja, sebab kami juga akan membahas tentang hal-hal yang dilakukan pada masa mendatang. Rasanya terlalu cepat jika dengan mencapai titik ini kami puas. Kami harus mengagendakan kembali kejutan-

Bandung Barat, 18/06/2020

*FYI
    1.) Kerajaan ketiga merupakan julukan yang diberikan pada masa Pemerintahan Hitler karena didukung oleh Goring dan Goebels.

    2.) Wehrmacht adalah nama angkatan bersenjata Nazi-Jerman sejak tahun 1935 sampai 1945. (Wikipedia)

    3.) Auschwitz II (Birkenau) adalah kamp yang dikenal banyak orang sebagai "Auschwitz". Di sinilah ratusan ribu orang ditahan dan lebih dari satu juta orang dibunuh, umumnya orang Yahudi. (wikipedia)

    4.) Kebakaran Reichstag adalah peristiwa penting pada pendirian Jerman Nazi. Terjadi pada pukul 21:15 di malam 27 Februari 1933, sebuah badan pemadam kebakaran di Berlin menerima panggilan alarm bahwa Gedung Reichstag, lokasi majelis Parlemen Jerman (Jika di Indonesia mungkin gedung DPR) dibakar. (wikipedia) Cukup menarik karena menjadi lambang kehancuran Demokrasi Jerman.

Thursday 25 February 2021

Cerpen: Kanvas-Kanvas Baru

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_302
Jumkat : 550 kata


Kanvas-Kanvas Baru


    Aku benci sekolah. Tugas yang menumpuk, teman-teman yang berperilaku buruk, juga banyak hal lain yang selalu memberatkan pikiranku. Lebih baik aku di sini, di kamarku yang sempit ditemani kanvas, cat air, dan kuas.

    Aku benci sekolah. Mendengarkan penjelasan dari guru tentang hal-hal yang tak akan begitu berguna di kehidupanku. Menyuruhku mengingat nama-nama aneh dari negeri jauh, istilah-istilah yang tak bisa kupakai dalam percakapan sehari-hari, dan rumus-rumus yang bahkan ibuku saja sudah tak ingat untuk apa. Lagipula, aku sudah dicap sebagai pembuat onar yang tak memiliki masa depan, jadi untuk apa kuteruskan bertahan?

    "Suatu hari nanti, kamu akan membutuhkan ilmu-ilmu itu, Mas," ucapan seperti itulah yang selalu diulang-ulang ibu.

    "Bodo amat!" Ingin kuteriakkan kalimat itu, bukan hanya pada satu, dua, atau beberapa orang. Aku ingin mengucapkan kalimat itu pada dunia. Di sekolahkan pun, aku akan tetap bodoh tentang angka, tentang bahasa, atau membuat benda. Semua pelajaran itu mengalir saja di kepalaku, tanpa mau --setidaknya-- diam, atau membasahinya meski sebentar.

    Jadi wajar saja aku selalu dikucilkan dan tak memiliki teman. Aku memang tak berguna.

    Seringkali aku ditegur karena tak memerhatikan dan lebih asyik membuat gurat-gurat tak menentu di atas kertas. Mengangkat sebelah kaki sambil menjewer telinga adalah hal biasa. Bagiku, itu lebih baik dibanding menatap gerakan dan pembicaraan monoton guruku.

    Tak ada komunikasi, tak ada perbincangan dua sisi. Hanya pembelajaran satu arah yang membosankan. Mirip seperti menonton sinetron yang telah diputar berulang-ulang. Tidak menarik.

    Hingga suatu hari, datang seorang guru nyentrik yang tiba-tiba saja masuk ke kelasku. Menghipnotis semua murid dengan auranya yang seperti teman lama.

    Gerimis bulan juni datang berkunjung. Memaksa kami --para siswa-- harus lebih merapatkan jaket untuk menghilangkan gigil.

    "Selamat siang, Anak-anak. Perkenalkan nama saya Rendi, guru baru kalian di bidang seni. Mohon bantuannya untuk beberapa bulan ke depan."

    Seketika, hening hinggap di telingaku. Kelas ini rasanya sudah pindah dimensi. Tak seperti biasanya.

    Lelaki itu lalu tersenyum, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, lalu memejamkan mata sebentar sebelum melanjutkan berbicara.

    "Ada yang suka dengan drama, alat musik, atau melukis?"

    Masih tak ada jawaban. Aku yang biasanya lantang untuk berbicara, kini seperti macan kehilangan aumannya.

    "Baiklah, jika tak ada yang mau berkata." Guru itu menghampiriku, menyerahkan lembar-lembar kertas untuk dibagikan, lalu mengucapkan kata tolong yang terasa begitu lembut. Dan, bodohnya aku yang mengikuti perintahnya.

    Belum selesai aku membagikannya, beliau malah berkata dengan tegasnya. "Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, untuk kalian, kanvas-kanvas baru. Camkan ini. Jangan takut untuk salah, jangan takut untuk melangkah. Jatuh, bangun lagi. Tersungkur, bangkit lagi. Sangat manusiawi jika takut gagal dan kadang kehilangan harapan. Namun, di dunia ini tak ada manusia yang gagal. Prinsip, motivasi, kerja keras, dan tujuan yang hendak dicapailah yang membedakan."

    Aku tertegun sejenak. Kata-kata itu seperti meresap ke dalam kepalaku. Menyingkirkan setiap kemungkinan-kemungkinan yang selama ini merundungku. Jika boleh kuanalogikan, mendung yang selama ini mengelilingiku, hilang begitu saja dilahap kata-katanya.

    Segera kuselesaikan tugas dari Pak Rendi, lalu duduk kembali ke bangku paling belakang. Untuk pertama kalinya, aku serasa dilahirkan kembali.

    "Ciyee dapet guru yang cocok. Selamat, Mas," ucap Sardi menggodaku.

    Kutatap matanya dengan penuh amarah. Awalnya, ia memasang wajah tak bersalah sebelum akhirnya menjadi ketakutan dan menjerit-jerit.

    Semua murid di sini adalah kanvas baru, bukan? Bagaimana jika kubuat sketsa di wajah tampannya itu. Kuambil pena di atas meja, lalu menyeringai. Kudengar teriakan di seluruh ruang kelas, sebelum ditenangkan Pak Rendi.

Bandung Barat, 07/06/2020

Saturday 6 February 2021

Cerpen: Nganjang ka Pageto


Nganjang ka Pageto


    Ke mana angin akan membawa langkah? Ke sanalah aku berjalan. Aku adalah selembar daun lusuh yang tak memiliki apa pun. Memercayakan sebatang ingatan yang menancap di tanah pijakan. Lantana tumbuh di mana-mana, menemani langkah-langkah lemah tanpa tujuan. Teratai membelai-belai mata, memaksa memori mengulum sebuah mimpi yang tak akan terlaksana. Kakiku menginjak kenangan. Ingin kupanggil kembali tahun-tahun silam dan membenamkannya di ujung ragu. Namun, apakah itu semua masih mungkin? Aku tak yakin sama sekali.

    Hanya penyesalan dan air mata yang setiap hari menemani, semakin membuatku tenggelam dalam kesedihan. Hendak kuceritakan pada siapa beban ini? Sedangkan bayangan sendiri pun pergi, saat kubicarakan luka-luka. Saat kamar kubiarkan redup untuk menutupi semua air mata, bayangan yang katanya selalu menemani, nyatanya meninggalkanku. Bagaimana mungkin orang lain akan bertahan?

    Di depan cermin, aku melihat tubuh sendiri. Mata telur ceplok dengan pipi yang sedikit melebar ke bawah, juga hidung yang terlihat seperti daging sisa. Ini aku dan segala yang kumiliki. Jangankan lelaki rupawan dengan harta bergelimpangan, mungkin monyet pun akan berlari tunggang langgang saat berpapasan denganku.

    Hal itu pula yang menyebabkan aku lebih tertarik mengingat-ingat masa lalu, saat tubuhku masih seperti sapu lidi yang bisa kapan saja patah, dibanding sekarang. Dan, kini aku tersadar, bahwa selalu hidup di masa lalu tak akan pernah membawaku ke mana-mana. Bukankah itu sebuah kesalahan yang begitu memuakkan?

    Aku harus memulai dan mengejar banyak hal yang tertinggal. Aku harus memulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu, berbaur dengan masyarakat, mungkin, atau pergi menuju keramaian. Kebetulan beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan tiket museum dari sayembara di sebuah koran. Aku harus berubah. Harus!

    Maka dari itu, hari ini, aku berdoa pada Tuhan, agar semuanya bisa berjalan biasa saja. Agar aku bisa berpikir—setidaknya—sama dengan orang-orang yang seumuran denganku, bukan terus terjebak--dan diputar-putar--di lorong kesendirian yang menyebalkan. Seperti seekor binatang peliharaan yang sedang diajak berkeliling hutan dan tersesat.

    Dan, akhirnya aku terdampar di sini. Menatap sebuah kereta tua usang yang entah apa faedahnya hingga jadi barang museum. Di sebuah papan penjelasan, aku membaca sebuah kalimat yang menarik.

    "Waktu lebih berharga dari uang, karena uang tak akan pernah bisa membeli waktu.”

    Selesai membaca itu, tiba-tiba saja pikiranku serasa ditarik dan dilenturkan layaknya karet. Sedikit mual kurasakan, tetapi ada sesuatu dalam dadaku yang memaksa untuk bertahan. Aku mencoba memegang apa saja yang ada, sembari memejamkan mata.


https://www.pexels.com/photo/woman-s-silhouette-photo-during-sunset-185517/


    “Kita adalah manusia-manusia merugi, Gadis manis. Hidup dari kekalahan dan kepayahan, hanya menunggu jadi abu-abu. Namun, Tuhan tak akan pernah setega itu kepada para hamba. Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

    Kalimat itulah yang pertama kali terdengar oleh telingaku. Aku belum berani membuka mata, bahkan sedikit saja. Aku terlalu takut saat membuka melihat hal yang aneh-aneh, atau pikiranku yang menjadi aneh-aneh. Tiba-tiba, ada sesuatu yang terasa ingin muntah, keluar begitu saja dari mulutku. Bukan isi perut, tetapi kata-kata.

    "Aku hanya akan diam, menemani batu-batu yang menjulang, dan berlumut bersama.”

    Perlahan, kubuka mata. Aku tak tahu sedang berada di mana, yang terlihat sepanjang pandangan hanya lorong-lorong keabu-abuan, tempat yang teramat asing, tetapi ada sesuatu yang rasanya sangat dekat. Ada sebuah ketenangan yang tak bisa dijelaskan.

    Kursi-kursi dipasang berderet, seperti sedang menunggu kereta, atau angkutan lain yang mungkin akan membawaku ke suatu tempat yang entah di mana. Hanya ada aku dan seorang nenek di sini.

    “Maaf, Nek. Kita berada di mana sekarang?"

    "Di ruang hampa yang sedang kau cari, Nak."

    Ruang hampa? Apakah ini yang disebut kematian? Meski terkejut, aku tidak takut. Toh ada seseorang yang menemaniku di sini. Namun, bagaimana mungkin kematian ditemani? Tak masuk akal sama sekali.

    "Nek, maaf sebelumnya. Anda siapa? Saya siapa?"

    Pertanyaan bodoh! Aku tak berniat mengatakannya, tapi ... tapi ....

    "Kita berdua adalah orang yang sama. Hanya dipisah waktu yang lama. Nak, pernah dengar istilah *nganjang ka pageto? Hari ini, kamu sedang melakukannya."

    "Maaf, Nek?"

    Langit hitam menggulung warna abu-abu yang ada di langit. Sejenak tanah yang kuinjak menjadi asing. Entah itu sensasi, aura atau terserah kalian menyebutnya apa. Namun, beberapa hal yang pasti, aku sedang berada di situasi yang tak baik-baik saja.

    Aku mencoba menelusuri jalan setapak ini, mungkin seseorang sedang diam menanti kedatanganku di ujung sana. Samar-samar terdengar dari jauh derak suara kereta.

    ‘Saatnya pulang.’ Sesuatu yang bukan aku kembali mengutarakan pandapatnya.

Bandung Barat, 17/06/2020

Catatan : *nganjang ka pageto : Pergi ke masa yang akan datang. Istilahnya, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, atau mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya (Revolusioner)

                *Ditulis untuk (dan sudah) diikut sertakan dalam event 30 Hari Menulis grup Facebook Nulis Aja Dulu

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_17
#NomorAbsen_302
Jumkat : 691 kata