Tuesday 28 August 2018

Prosais; Berladang Di Tanah Kesedihan

Sepatah apa pun hati, ia tetap tunas yang akan tumbuh dan mekar kembali.

Menangislah kau ketika dia pergi, semoga air mata bisa menghanyutkan kenangannya. Biatkan air mata mengikis, melumat segalanya hingga habis. Hingga kau dapat melihat tanah baru di depan sana.

Merataplah sepuasnya. Berteriaklah! Keluarkan apa yang mengganjal di hatimu. Agar ketika seseorang yang benar-benar peduli mendengar dan kembali menemani. Atau ketika ia benar-benar menjauh, ada orang yang akan datang, lalu menyiraminya agar tumbuh.

Percayalah. Hatimu adalah tunas yang tak akan pernah mati. Seberapa kuat mereka memangkas, hatimu akan lebih kuat meranggas, semakin cepat pula kau akan belajar tangkas.

Batangmu yang patah, akan segera menumbuhkan semangat lebih meruah. Suatu saat nanti, kau akan menyadari, senyummu akan mekar abadi.

Buktikan dia salah tentangmu. Dia pikir kehilangan akan menghabisi, nyatanya perasaanmu kini telah penuh terisi.

Apa hal?

Hatimu adalah tempat Tuhan bercocok tanam dengan cinta.

Bandung Barat, 19/07/2018

Note; Sumber gambar tertera

Saturday 25 August 2018

Puisi; Ketika kau lautan, dan aku hanya bisa menatapmu di tepian

Debur ombak yang senantiasa bergulung itu tak henti-hentinya menjelaskan padaku, agar tak mencintaimu

Sama halnya dengan keangkuhan camar, seiring kepak sayapnya meninggalkanku
Atau lautan dalam, yang airnya terlihat tenang, yang suaranya tak terdengar bahkan dalam kesendirian

Karang. Seberapa kuat dia bertahan, pada akhirnya akan hancur oleh sapuan waktu.
Langit berkaca pada laut

aku berkaca pada takdir
sesosok keinginan menjadi tanda tanya
"Inikah yang orang-orang katakan berbeda?"
Seorang pemabuk mendesah parau

di atas pasir putih
di atas segala ketidakmungkinan
sebagai apa yang menjadikannya sakau


08/2018

Note; Sumber gambar tertera

Puisi; Api Kecil, Anjing dan Negeri

Negeri Ini

Negeri ini adalah rumah
Yang di isi suku-suku ramah
Yang rukun
Yang damai dalam keanekaragaman

Senja di Negeri ini adalah emas
Dipanen penyair setiap hari

Pondasinya tulang belulang
perekatnya darah pahlawan

Tapi sesekali, kudengar ibu merintih
Anaknya di kota kebanjiran
Anaknya di timur kelaparan
Anaknya di barat terlibat perselisihan

Kemana hendak melaju
Jika masih terjadi perang antar suku
Kemana kaki hendak melangkah
Jika orang-orang sudah tak ramah

23/07/2018

Anjing!

Tulang belulang di atas tanah
diselimuti debu, beberapa rengkah dan hancur
sebagian digigit anjing
untuk jimat anti penangkapan
"Kami anak pahlawan!"
gonggongnya nyaring di televisi

Tulang belulang yang berserak
membisu di dalam tanah
sejarah menguburnya
tanpa nama, tanpa penghormatan

Padahal dia sama berjuang
demi kau!
demi anakmu!
demi cucumu!
yang ongkang-ongkang kaki korupsi
yang setiap hari berbusa menebar janji
cuih! Gigi taringmu terlihat ngeri

Tulang belulang pahlawan
yang jadi pondasi kemerdekaan negeri
yang darahnya jadi perekat
hingga negeri ini, berdiri di atas kaki sendiri

Tapi lihat di sana!
si anjing malah mencuri
lalu menjilat kaki tuannya

Api Kecil Milik Kita

"Bakar!  Akar saja api kecil itu!"
"Dia pasti akan memancing keributan!"
"Bakar! Bakar hingga jadi abu!
 Biar dia habis, diterbangkan angin lalu!"

Kau tak seharusnya meminum
Sebotol anggur -- hingga mabuk
Agar kau dapat menyelaminya

Seperti luka
Semakin dikorek, semakin menganga
Diungkap makin kentara
Maka beruntunglah si bisu yang hanya bisa menangis
Saat yang lain berteriak sinis

Dan pembawa air di mulutnya kau sebut munafik?
Lalu, hendak ke mana kita pergi?
Jika semua tempat telah menjadi arang dan abu?

Akal pemberian Tuhan itu lautan luas
Yang tenang, yang damai
Yang merenung dalam
Bermusyawarahlah -- bermufakat dengan bumi dan langit
Orang tua si api kecil, yang di pundaknya bertahta keadilan
Agar tak ada lagi cerita naas

Bandung Barat, 2017

Wednesday 15 August 2018

Prosais; Siapa Tahu

Suatu saat nanti. Saat saya dan kamu sudah mengerti apa arti kehidupan, mungkin, cinta yang rumit ini akan kita tertawakan. Meskipun, kita berdua saat ini benar-benar terpuruk, berharap ini semua hanya mimpi buruk, masalahnya pecah hingga bubuk.

Belajar memahami kedua sisi memang tak mudah, tapi keputusan menyerah adalah pilihan terakhir yang kita anggap paling mutakhir. Belajar untuk tidak egois, kita berbagi kepahitan sama rata, mencecapnya dengan tawa, berusaha tak mengutarakan rasa kecewa. Kita melepas, seolah itu adalah hal biasa. Meskipun, kedalaman laut bisa ditakar, berbeda dengan cinta yang telah mengakar.

Baiklah-baiklah. Jangan sampai tulisan ini bermuatan kesedihan. Aku berusaha membuat tulisan ini sedatar mungkin, menjauhkan banyak kata ingin. Agar mereka yang membacanya kelak, tak mengungkit-ungkit pesan ini yang kalah telak.

Kau pernah berharap ditanya soal alasan kepergianmu. Kau pernah berharap ditanya soal kenapa keputusan perpisahan diambil.

Sebab, aku sudah mengetahuinya. Benda yang paling kau benci, adalah benda yang paling sering kusentuh. Tak perlu lagi ada pertanyaan seperti itu, matamu menjelaskannya.

Kita berusaha berproses, dan itu masih kurang untuk membantu kita membeli apa yang ingin kita miliki.

Suatu saat nanti, mungkin saja tanganmu mencubit pipi seseorang, dan aku pun memeluk tubuh yang bukan kamu. Siapa tahu.

Benar, siapa tahu.

Bandung Barat, 06/08/2018

Note; Sumber gambar tertera

Monday 13 August 2018

Puisi; Angin, atas dasar perumpamaan

Setiap kekecewaan

Sekiranya masih ada
perasaan yang hidup di hatimu
meliputi setiap perencanaan
atau hayalan, atau keputus-asaan

Yang bisa menjelma apa saja
mungkin aku, atau kau sendiri
atau apa saja yang bisa dilihat
atau apa saja yang bisa dirasakan
atau apa saja yang bisa kau ucapkan

Cintalah ia sekiranya
yang jadi matamu
yang jadi bibirmu
yang jadi setiap sel dalam tubuhmu

Atau keinginan terlepas dari jaring
yang dibuat ikan untuk nelayan
atau pemangsa yang jadi mangsa

kau ambil bintang dari laut
atas penggambaran keinginan
atau sebuah kekecewaan

Bandung Barat, 13/08/2018

Angin, atas dasar perumpamaan

Ada yang tak habis-habisnya diceritakan angin pada bumi
tentang kabar kerinduan embun pada pagi
tentang keheningan malam saat cahaya bintang dinyalakan
tentang ilalang yang menari riang
atau seorang laki-laki yang tak berhenti
bergumam. Sebuah nama dengan gelisah
nama seorang wanita yang tak pernah kembali

Angin tak henti-hentinya berlari
meski banyak kenangan yang menumpang pada ketiadaannya
kita menyebutnya kenangan
perlahan hilang, sebelum kau genggam

Yang dihabiskan waktu adalah harapan
sedangkan seorang wanita, dengan sabar duduk sendirian
di altar penantian
tangannya terlihat sibuk melayani pembeli
yang terkadang hanya melihat, atau menyebalkan
dia bergelut dengan pikirannya sendiri

Kita terbebas
sebagai angin
kita terlepas
seperti busur panah

Angin menceritakan
aku, atau kau
hingga ketidak pastian

Bandung Barat, 08/2018

Note; Gambar pribadi