Saturday 30 March 2019

Cerpen; Hanya Sebuah Rahasia Kecil

 Sebuah Rahasia Kecil



    Lihatlah sekali ke arahku, Tuan. Di bangku taman ini aku sering duduk lama sekali. Hanya untuk bisa menatap wajahmu yang asik dengan ponsel pintar. Terkadang aku sengaja tertawa begitu keras. Berharap kau menoleh dan melihatku, lalu mengajakku berbincang tentang cuaca, berita politik terhangat, atau hal-hal sepele yang bisa membunuh sepi-sepi ini.

   Yah, hanya engkau, Tuan. Kamu yang sering kali kusebut dalam sunyi. kamu yang tak pernah mengistimewakanku, atau menyadari kehadiranku. Bahkan bisa saja lebih buruk dari itu, kau tak pernah menganggapku ada. Bangku taman inilah yang tahu, seberapa dalam perasaan ini terhadapmu. 

   Sejujurnya kau sering merasa cemburu, saat kau berdekatan dengan gadis itu. Siapa kau sebut dia? Pacarmu? Halah, apa peduliku tentangnya.

   Ingin rasanya aku menggusurmu, lalu memakimu dengan kata-kata kasar di taman ini. Agar kau tahu, seberapa sakit aku melihatmu bersamanya. Namun, apa hakku melakukan hal itu? Mungkin, aku hanya satu dari ribuan bintang di alam ini yang berharap bisa selalu berada di dekatmu. Selamanya.

   Bukan karena tak ada seorang pun yang melirik, aku melakukan kebodohan ini. Namun, hati tetaplah hati bukan? Aku tak bisa mengganti senyummu dengan orang-orang yang menyatakan cinta padaku. Seandainya cinta adalah ilmu pasti, sudah kuperhitungkan semuanya dengan matang. Mungkin saja, aku tak akan seterpuruk ini melihatmu bersamanya.

   Bodoh! Kenapa kamu malah memilihnya? Sedangkan aku lebih dari segalanya jika dibandingkan dengan gadis yang tengah menyenderkan kepalanya di pundakmu.

   Tuan, adakah kau mengerti?

***

   Kuputar lagu All of me milik John Legend lalu mendengarkannya lewat earphone. Sore ini ada yang terasa begitu berbeda. Bukan karena angin musim kemarau yang kering, melainkan tatapan seorang gadis di ujung taman ini. Bukan maksudnya kelebihan percaya diri atau apa. Melainkan, sudah beberapa kali gadis itu tertangkap basah melihatku, atau tertawa keras dan berhenti saat aku melirik ke arahnya.

   Aku tahu gadis yang saat ini menggunakan jaket motif hati selalu memperhatikanku. Memasang raut muka masam saat aku dan Adelia berpegangan. Aku tak mengerti apa yang di pikirkan dia sebelumnya, tetapi kemarin, kami bertemu di perpustakaan kota dan mulai saling berbicara.

   Sungguh bukan pertemuan yang disengaja. Maksudku, mungkin saja ini adalah pertemuan yang salah. Benar-benar salah.

   Di antara buku-buku yang tersusun rapi, mata kami bertemu. Tanpa kata, hanya gerakan tangannya yang menjadi pembuka percakapan. Bodohnya aku yang tak bisa mengelak, hingga digiring ke ujung ruang perpustakaan seperti seorang pandir.

    Di sana dia duduk dan mengeluarkan selembar kertas. Menuliskan sesuatu yang entah apa, lalu menyodorkannya padaku.

   (-)Halo. Apa kakak ingat aku?
   (+)Gadis yang sering tertawa keras di taman, kan?
   (-)Syukurlah. Kukira, kakak tak pernah menyadarinya.
   (+)Langsung saja keintinya. Gak perlu basa-basi lagi. Mau apa, hah?
   (-)Rese gitu. Ingin menemui seseorang?
   (+)Siapa peduli memang?
   (-)Aku!
   (+)Kenapa harus peduli?
   (-)Hey! Kau bodoh atau pura-pura bodoh? Tidakkah kau mengerti?
   (+)Maka dari itu jelaskan. Aku memang bodoh.
   
   Gadis itu menantapku, mendengus risih, lalu fokus kembali pada kertas di depannya.

   (-)Aku suka kakak. Ngerti?

   Aku terdiam sejenak. Bercanda gadis ini sungguh keterlaluan rasanya. Bukannya dia tahu aku sering berdua dengan siapa, tapi yang dinyatakan olehnya? Benar-benar parah gadis ini.

   (+)Bercandamu berlebihan!
   (-)Coba liat mata aku, Kak! Coba liat apa aku memang kelihatan bercanda?

   Mata kami kali ini bertabrakan. Kulihat air mata hampir menetes di pipinya. Lalu dengan tangan gemetar -- entah menahan emosi atau apa-- dia menulis sesuatu di kertas itu dan pergi dari perpustakaan.



   Akhirnya Adelia datang. Dengan wajah sedikit cemberut, dia menghampiriku.

   "Bete tadi di jalan. Macet. Yang, udah lama ya nunggunya. Sorry ...."

   "Nyantai kali, Del. Tapi makan aja sekarang, ya? Ada urusan mendadak soalnya."

   "Lebih penting dari aku?" lalu dijulurkannya lidah itu dengan niat menggoda.

   "Demi kebaikan kita juga, kok."

   "Emang mau apa sih?"

   "Nanti aku kasih tahu, pas waktunya udah tepat."

   "Mau main rahasia-rahasiaan, nih?" Adelia menggenggam tanganku, lalu masuk ke satu rumah makan sederhana yang ada di taman ini.

   (-)Besok kita ketemuan lagi di taman. Waktunya menjelang malam sesudah kakak dan aku gak ada urusan dengan pacar masing-masing. Ada yang mau aku jelasin lebih dari ini sama kakak.

   Gadis itu memang gila. Sangat gila malah. Namun, apa aku juga harus menemuinya dan mengatakan rasa yang ada di dalam dada? Entahlah. Kuharap, semua akan baik-baik saja.

   Benar-benar baik-baik saja.





Bandung Barat,  2017

Thursday 28 March 2019

Prosais; Ketika Kau Mencintai Seseorang

Ketika Kau Mencintai Seseorang


   Menyelimuti diri, dengan menggulung ribuan kain hingga berlapis-lapis. Berharap dingin segera melangkah pergi, dan pagi beranjak mendekati. Namun, berharap pagi datang lebih cepat, sama saja mustahilnya seperti menunggu kau kembali.

   Yah, kau. Kau yang pernah menemaniku duduk  di cafe ini dengan gelisah. memilin-milin ujung jilbabmu dengan gelisah. Gugup menanti, apa yang bisa membuka pembicaraan kita malam itu. Kita adalah dua orang bodoh, yang selalu berharap membuka mata dan menemukan yang lainnya di samping. Namun tak pernah berusaha mengucapkan satu kata yang menguatkan, satu kata yang mengikat, satu kata yang  terus saja menjadi lamunan saat sepi menari-nari.

   Pagi kesekian aku kehilanganmu. Pagi kesekian aku harus merelakan malam-malam panjang tak berada kau dipelukku. Kau tahu, Dear. Aku tak rela melepasmu dengannya. Namun, jika itu memang yang terbaik dan kau, merasa bahagia. Aku bisa apa?

  Seberapa panjang doa yang kupanjatkan, jika itu tanpa berusaha akan menjadi sia-sia bukan? Aku tahu perihal kebodohan ini, hanya takut untuk memulai kembali. Menyiapkan kata seperti waktu dulu, lalu menekan kegugupan dengan keberanian.


Bandung Barat, 26 maret 2017



Foto Author pribadi




Secangkir Penuh Lamunan


    Hanya karena sebuah kesalahpahaman, aku dan dia tidak saling sapa, saling melupakan. Rasanya aneh memang, dulu begitu dekat, tapi kini bersapapun terasa ada sekat.

    Aku pernah berbagi resah dengannya. Menghilangkan gundah, dengan bercerita dengannya. Sulit menghapus segala yang kuingat tentang ia. Kau pasti tahu rasa dicintai dan mencintai seperti apa, Ra. Hingga tak perlu kujelaskan bagaimana susahnya melupakan seseorang yang istemewa.

    Maaf jika harus kuceritakan perihal Puisi. Gadis yang selama beberapa tahun bertahan dan menanti. Aku telah berusaha ikhlas, tetapi tangan masih saja enggan untuk melepas. Kenangan dengannya misalnya, atau beberapa tawa yang pernah tercipta.

    Aku harus mengakui beberapa hal tentangnya. Aku adalah arsitek, atas segala kehancuran hubungan ini. Berusaha membangun kebersamaan, tapi tanpa sengaja mematahkan penyangganya. Aku terlalu bodoh, hingga mimpi-mimpi harus roboh.

    Namun, jauh dari semua itu. Kami (atau mungkin hanya aku saja) memang masih saling mencintai, berharap saling memiliki. Hanya saja, kami menyimpan harapan jauh dalam hati, dan memilih diam agar tidak saling menyakiti.

    Kami tak ingin memeluk ego lebih dalam, serta memilih saling mendoakan. Bukan hendak berpangku tangan, tapi percaya akan ada cerita lebih baik dari Tuhan setelahnya. Jadi, biarkan kisah ini menemani secangkir kopi yang kau minum, sebagai kenangan yang masih bersedia menunggu dalam lamunan.

#Ar_rha
Bandung Barat, 11 Oktober 2018

Saturday 16 March 2019

Puisi; Perihal Kenangan

Perihal Kenangan


Seorang amatir mencoba mencuri kabar
dari jejak-jejak langkah kaki
di hamparan langit
di papan pengumuman
di bawah rintik hujan
di atas segala ketidak mungkinan
bahkan dari sebuah catatan masa lalu

Perihal kabar seorang perempuan
yang memilih jalan lain
di persimpangan

Rindu yang ia tangisi
mengalir, bermuara pada seorang yang sering kali dia panggil, Puisi

Kau akan dapati langit menangis
setiap kali dia bercerita
setiap kali dia mengenang
setiap kali kerinduannya jatuh
tanpa harapan

Baginya, cinta hanyalah
musim kering yang berganti
atau jejak tawa
hingga tergores kenangan


26/08/2018




Saturday 9 March 2019

Prosais; Bahagia itu Sederhana

 Bahagia itu Sederhana



   Bahagia itu sederhana. Seperti mendaki gunung dan mencapai puncak bersama seorang atau beberapa orang yang kita cintai. Saling menjaga, berjuang, tertawa dan kecewa bersama. Karena pada dasarnya, orang yang menunggu di puncak bukan orang yang benar-benar peduli. Dia yang ada di saat apapunlah, yang patut kau pertahankan.

   Bahagia itu sederhana. Seperti bocah-bocah mengejar bola plastik di tanah lapang. Tak peduli basah dan panas. Memainkan hal yang terlihat sederhana dengan riang. Tak perlu embel-embel mewah atau yang lainnya. Cukup sederhana, tapi terasa bermakna.

   Bahagia itu sederhana. Saat kau, aku tau pun mereka mjencurahkan segala kesedihan lewat kata-kata. Pena dan kertas bersua dalam keheningan, menceritakan rutinitas atau kenangan. Mereka tahu pasti bagaimana caranya melepaskan kesedihan.

   Bahagia itu sederhana. Menikmati secangkir kopi di bawah pohon cemara. Sedangkan embun dan cahaya mentariu tengah bercengkrama sebagai dua orang yang saling meninggalkan. Kehidupan tak memberikan celah pada mereka sebagai dendam.

   Bahagia itu sederhana. Saat aku bisa membuka, hingga memejamkan mata untuk melihat wajahmu yang tersenyum. Aku ingin menggodamu dengan berkata, "Tuhan, terima kasih telah menurunkan sosok yang membuat aku merasa sempurna di dunia.

Bandung Barat, 14-07-2018









Friday 1 March 2019

Cerpen; Luka dan Waktu

 Luka dan Waktu


   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis kecil itu berharap lebih dewasa dari sebelumnya dan saat ini, segala kesakitannya dia pendam, di hati paling dalam.

   Ceroboh, sulit diatur, dan menatap banyak hal hanya dari satu sudut pandang. Begitu ia dahulu. Namun, satu hari nanti dimana ia akan pulang, gadis itu pasti akan menangis tersimpuh di kaki seseorang yang dipanggilnya mamah. Ah, dasar gadis bodoh. Menyembunyikan segala resah dalam kotak ingatan, menyimpannya jauh, di satu tempat yang semua orang tak dapat menyentuh.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Lihat tangan kecilnya yang kini tergores beberapa luka. Dia belajar memasak hanya karena rindu apa yang terlihat sederhana saat dulu, di rumahnya.


   "Tangannya kenapa? Bolong?"
   "Kecium *piso, Kak. Hehe."
   "Lidah gak bisa bo'ong, ya?"
   "Maksudnya, Kak?"
   "Lama di luar gak jadi pisau, atau knife gitu."
   "Huuuh, dasar!" Jemari lentiknya mencubit lenganku.
   "Dasar apa?"
   "Undang-undang dasar Negara ...."
   "Yeh, dasar aneh." Kurangkul tubuhnya, lalu menyimpan tangan di atas kepalanya.

   Kami berdua tertawa. Terlihat receh memang, tapi berkesan.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis itu ingin cepat pulang sebenarnya, tapi kenyataan masih tetap membuatnya berdiam. Kamar yang harusnya lebih terang, malah terasa temaram.

   "Kak, tadi aku telepon Mamah. Tahu gak berapa durasinya?"
   "Biasanya paling tiga, atau empat. Kan kamu gitu Non, kalo telepon orang rumah. Nyoba nahan tangis, biar dibilang kuat. Di depan aku aja, baru sesenggukan."
   "Jangan bikin bete deh, Kak!"
   "Idih ambekan. Pundung. Sini bentar." Aku mengacak rambutnya, atau lebih tepat jika dibilang membelai kerudungnya. "Berapa menit emang tadi nelpon orang rumah?"

   "Tujuh, Kak. Tujuh. Keren gak? Hihi."
  "Tumben, tapi pada sehat, kan?"
   Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Dia memang menyebalkan. Namun, di depanku sering kali manja seperti kesurupan. Halah.

   Jika saja tidak kuanggap adik dari dulu, mungkin telah kujitak kepalanya lebih dari seribu. Semuanya berjalan sederhana dan dipenuhi tawa. Hingga suatu hari, seseorang yang kupanggil 'Puisi' pergi. Aku masih ingat kata-kata yang diucapkannya, "Aku telah kehilanganmu Sam. Jadi, biarkan aku melupakanmu dengan indah, berdamai dengan seluruh kenangan, hingga tak ada setitik kebencian."

   Benar. Seseorang yang sering kali kusebut dalam doa, menjauh karena rasa kecewa. Semua terjadi karena gadis manja ini  menarik lengan dan memaksaku untuk menemaninya membeli sebuah buku. Tepat di depan seseorang yang kupanggil Puisi. Sial rasanya.

   "Non, kenapa gak bisa sabar? Kan dulu udah dibilang, nganter Puisi dulu ke perpustakaan."

   "Emang salah ya, Kak? Maaf. Bilang aja ke Tetehnya, nganter aku bisa kapan-kapan."
   "Tahu gak Non, masalahnya sebelah mana?"
   "Gak tahu."

   "Aku terlalu berharap kamu dewasa. Ternyata masih kaya dulu. Bocah."
   "Aku gak ngerti. Kak! Yah, malah ditinggalin."

   Kubiarkan semuanya berjarak, meninggalkan persahabatan yang pernah terbangun dengan baik retak, lalu perlahan luntur dan tanpa penjelasan. Mungkin itu membuat sang gadis manja kesepian. Namun, siapa peduli. Dia juga hanya berkata, 'Itu urusan kalian, aku gak ikutan.' saat kujelaskan situasi sebenarnya antara aku dan puisi.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis kecil itu benar-benar kesepian sekarang. Dia mungkin memperlihatkan tawa di antara kalian. Namun, jauh kesepiannya ia pendam, tak bisa terutarakan. Katanya, biar terlihat dewasa, tapi kenyataannya? Hanya sandiwara.

Bandung Barat, 2018