Thursday 30 November 2017

Cerpen; "Siapa kita?"

 

"Siapa kita?"



    Siapa kita? Katakan pada mereka yang bertanya, kita adalah sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa

   Kini kita telah membias, menyatu dengan partikel cahaya. Kita telah sampai di sini, setelah melayang-layang-- terbang. Semesta adalah kita, juga sebaliknya. Angkasa raya yang terbentang, adalah tempat kita berjalan. Menikmati semua hal yang diciptakan Tuhan, mengagumi setiap incinya. Namun harus kukatakan, mereka --benda-benda langit itu, tak akan pernah melebihi indahnya cinta kita. Karena perasaan yang tengah bersemi di dada kita, tak akan mengenal musim gugur. Akan terus tumbuh, bahkan di mana air dan tanah tak pernah ada.

  Mata kita telah dihempas cahaya, hingga buta. Tapi kita adalah sepasang kekasih yang akan terus menapaki takdir, sambil terus bergenggaman tangan. Tak peduli langit, juga bumi. Cinta kita adalah mata air yang tak akan pernah kering, meski di kemarau paling panjang.

    Kita berdua telah jauh melangkah, hingga kita tak mungkin lagi bisa pulang. Tersebab bumi tak mungkin bisa lagi menerima perasaan kita yang telah lebur menjadi atom-atom di langit. Kita berdua terbahak-bahak menyadari hal itu, meski tak ada yang bisa mendengarkan suaranya, bahkan diri kita sendiri.

    Kini kita berdua telah berada di sini, terbebas dari segala tradisi yang mengikat tangan, kaki juga leher -- menyebabkan kita sesak karenanya. Tak akan ada lagi perintah untuk saling menjauhi, saling menyakiti. Tak akan ada lagi air mata, bahkan di saat kita menginginkannya.

     Lalu seseorang di antara mereka -- yang baru saja datang, dan begitu penasaran bertanya. Siapa kita? Berikan jawaban ini padanya, Kekasih. Kita adalah sepasang kekasih yang gugur dalam perjalanan pulang setelah pernikahan.

     Segerombolan penculik itu mencegat kita, di tengah jalan perbukitan. Menakuti kita berdua dengan menodongkan senjata tajam. Memerintahkan kita untuk turun, lalu mengikat tangan kita.

     Mata kita ditutup kain hitam. Seseorang mendorong, dan membentak kita agar berjalan, entah kemana. Telingaku masih bisa mendengar isak tangismu, Kekasih. Namun aku tak dapat melakukan apapun, moncong senapan yang dingin itu menyentuh leherku. Aku pikir, mereka hanya akan merampok kita. Dan perlawanan akan menyakiti kita berdua.
.
    Dugaanku salah. Satu di antara mereka berteriak dengan kasar, "Pastikan kita tidak salah mengeksekusi! Ambil foto yang tadi diberikan Bos kita!"

    Meskipun tak dapat melihatnya, telingaku masih dapat menangkap langkah-langkah tiga atau empat orang yang berjalan tergesa-gesa. Membuka sesuatu -- terdengar seperti resleting tas yang dibuka. Lalu (mungkin) memastikan kita benar-benar orang yang harus dieksekusi.

    Kau kini menangis, lebih kencang. Namun kau tak berani untuk berteriak. Dinginnya benda tajam yang menyentuh lehermu, mengecilkan nyalimu. Selain itu, jalan di perbukitan ini sangat sepi. Rumah penduduk yang terdekat berjarak sangat jauh.

    Sekejap setelah itu. Kepingan waktu pecah. Detik, menit dan jam terburai seiring suara  tembakan yang diarahkan menuju tubuh kita. Darah merembes, dari lubang yang dibuat si peluru.

    Sebelum ruh benar-benar meninggalkan tubuh, kurasakan beberapa orang menyentuh tangan dan kaki. Lalu melemparkan jasad kita. Kita berdua melayang. Menukik menuju dasar jurang yang sangat dalam. Ke tempat kegelapan abadi, karena sinar matahari tak akan pernah bisa menjangkau dasarnya.

     Tubuh kita sesekali menghantam batu, batang pohon, dan entah apa lagi. Jasad kita tergeletak di dasarnya yang pekat, dengan tercerai berai. Amboi! Kisah cinta kita yang seharusnya terang benderang, malah menjadi pekat karena  keegoisan yang bersembunyi atas nama tradisi.

    Aku masih ingat, tadi saat acara resepsi. Mamahmu pergi ke belakang lama sekali. Berbisik bisik saat menerima panggilan entah dari siapa. Juga kedua orang tuaku yang langsung meninggalkan gedung pernikahan saat akan diadakan upacara adat Jawa. Mereka pergi begitu saja tanpa basa-basi.

    Hilanglah denyut nadi, akibat tradisi yang telah menutupi akal dan budi. Nama kita dihapus atas nama kekotoran, karena telah menentang budaya yang telah lama mengakar dan tak ada seorang pun yang berani mengusiknya.

    Pagi ini, di koran-koran lokal yang selalu menyajikan berita terhangat.  Disampul halaman depannya tercetak besar kata-kata,  'Mobil yang dikendarai Sepasang Pengantin Baru, Terjun Bebas ke dalam Jurang'. Dan para sesepuh kita, yang ditunjuk sebagai narasumber berkata, "Pernikahan lelaki sunda dan wanita jawa, pasti, cepat atau lambat, akan menyebabkan musibah. Baik bagi pengantinnya, maupun keluarganya."

    Dan di pinggir jurang, di tempat  mobil yang tadi malam digulingkan oleh para penjahat untuk mengelabui polisi. Orang-orang yang penasaran lantas berkumpul, lalu bertanya, "Siapa mereka?"


*Note;
Sumber Inspirasi
Lagu Frau- Kita Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa



Bandung Barat, 19/11/2017
01:56

Thursday 23 November 2017

FlashFiction; Berbagi cerita

Berbagi Cerita


"Di! Apa Pangeran di dalam cerita-cerita itu nyata?"

"Kenapa kamu bertanya soal itu padaku? Aku tak ahli tentang teori-teori fiksi semacam itu."

"Kita bertukar pikiran saja, semacam curhat," Mata kami saling bertubrukan, lalu wanita itu tersenyum.

"Dulu sekali, aku pikir Pangeran, Putri-Putri cantik raja atau para kurcaci itu hanyalah khayalan para penulis, tapi semenjak mengenalmu, aku percaya bidadari dan semua tokoh fiksi itu nyata."

"Apa ini gombal, Di? Kamu gak pernah berubah, masih saja kaya dulu."

"Itu harus," -- kualihkan pandangan menuju jam di dinding kamar -- "bisa kau persingkat cerita tentang Pangeranmu, Putri? Aku sudah teramat mengantuk."

"Dia baru di halaman 32, Di. Sebenarnya aku sudah bosan menunggu hari dimana dia menciumku, lalu kami menikan dan hidup bahagia selamanya."

"Sabarlah, Putri. Doakan saja semoga penantian dan kesabaranmu berbuah manis. Aku sudah mengantuk. Selamat malam, Putri."

"Malam kembali, Di. Mimpi indah."

Kututup buku, lalu beranjak pergi untuk tidur.

.
BERBAGI CERITA
 Dengan sabar aku mendengarkannya dari luar buku.

Thursday 16 November 2017

Cerpen: Kopi hitam

 

Kopi Hitam


    Aku menyeduh malam yang getir, mengaduknya hingga semakin larut, sebelum kuhidangkan di atas meja kopi hitam pahit, tanpa gula. Hanya beberapa potongan kenangan manis yang aku masukan, itu pun mulai pudar, tapi tak terlupakan.


    Jangan tanya soal cita-cita dan tujuan hidup padaku, aku hanya pedagang kopi di warung remang-remang yang sering kali dianggap tempat berkumpulnya manusia-manusia malam yang keji. Jika diibaratkan, hidupku ini hanya sampan tanpa dayung, terombang ambing di kehidupan luas dan menunggu waktu untuk menepi. Meski dalam nyata dan doa, aku terus menggumamkan semoga saja terus berada di dalam jalan-Nya.


    "Kau harus berjuang untuk hidupmu sendiri, Gus. Jangan hanya kerja dagang di warung kecil seperti ini."


    "Aku hanya hamba Tuhan, biarlah hidup apa adanya, gak perlu banyak minta, Yan."


   Aku memang pesimis, karena sadar diri bahwa tamatan SD sepertiku tak bisa berbuat banyak selain berusaha lalu menerima takdir. Aku hanya bisa memasukan kopi hitam, gula dan air panas ke dalam gelas. Memberikannya pada para pekerja keras yang berkunjung ke warungku. Tak pernah kumasukan racun tikus ke dalamnya, meski menu itu kumasukan dalam list menu yang  tertempel di dinding berdebu, dekat jam kusam.


    "Kau memang manusia aneh, Gus. Memberi jalan bagi orang-orang frustasi untuk mati bodoh!"


    "Itu hanya menu, aku tak akan membuatnya jika tak ada yang memesan."


    Yah, itu memang bukan sekadar gurauan. Aku memang menyiapkannya untuk orang-orang patah hati, terlilit utang ataupun masyarakat miskin yang menyerah atas takdirnya. Karena aku sadar, sisi manusia tak akan bahagia selamanya. Ada waktu-waktu di mana tangis akan merasuki raga.


    Setidaknya, biarkan orang-orang yang menyerah itu menikmati kopi sebagai minuman terakhirnya, membayar dengan uang pas, lalu berjalan perlahan menuju kuburan yang telah digalinya sendiri. Bukankah cerita paling romantis sejagat yang diperankan Romeo dan Juliet berakhir dengan hal-hal indah samacam itu? Mereka menganut ajaran Malin Kundang, berusaha melupakan kepahitan meski dengan cara memotong nuraninya sendiri.


    Kuhisap lagi asap tembakau yang sudah pasti merusak tubuh, tapi siapa peduli?  Menteri Kesehatan, bahkan Presiden pun tak sanggup menutup pabriknya. Anggap saja, aku ikut menyumbang makanan untuk para buruh yang bekerja di sana, agar berputarnya roda perusahaan. Tak ada  yang salah, kan? Karena yang kutahu, setiap perbuatan juga pasti dihitung berdasarkan niat.


    "Kau harus memilih partaiku, Gus. Karena janji-janji kami pasti ditepati. Lihat rumah Pak Selekep di seberang jalan itu kemarin membagi-bagikan beras untuk warga kurang mampu di sini? Itu adalah bukti nyata!"


    Aku hanya bisa tersenyum dibuatnya, "Mau saya bikinkan kopi, Pak? Tapi di sini sedang kehabisan gula, stok di pasar kemarin habis. Mungkin saja untuk membumbui janji-janji Bapak yang legit."


    Para sopir truk, pedagang asongan, pengemis juga preman-preman tertawa. Nyaring sekali seperti suara sirene ambulan yang membelah lalu lintas. Politikus itu kini bermuka pucat pasi, "Saya hanya bercanda, Pak. Maafkan ketidak sopanan saya," kusodorkan kopi dan gorangan hangat, "silahkan diminum, Pak."


    "Bercanda boleh, tapi jangan sekejam itu, Gus. Tapi terima kasih untuk kopinya," Beliau menyeruput kopi tanpa sempat meniupnya. "Rasanya sedikit berbeda, kopi jenis apa ini, Gus?"


    "Kopi dengan campuran racun tikus, Pak. Menu paling spesial di warung saya, terima kasih, loh sudah berkenan mencoba. Jika sudah mulai terasa efeknya, di belakang rumah, sudah saya siapkan kuburan yang telah digali. Silahkan masuk saja, tak usah malu-malu."


    Aku memang bisa menerima takdir dari Tuhan, apa pun adanya. Tapi aku muak dengan manusia-manusia sejenis mereka. Jadi biarkanlah aku mencabuti duri-duri dari daging dalam tubuh negara ini. Agar orang-orang yang tersisih tak melakukan gantung diri, tertidur di atas rel kereta atau meminum racun tikus akibat ulah mereka.



Bandung Barat, Agustus, 2017

Monday 13 November 2017

Cerpen; Puisi, dan Aroma Kertasnya yang Terbakar

 Puisi, Dan Aroma Kertasnya Yang Terbakar


   Lelaki itu menatap lekat benda-benda di atas meja. Beberapa surat dengan harum minyak wangi menyengat, lipstik dan beberapa perabotan wanita yang entah apa namanya. Di sampingnya, tergolek seorang wanita dengan mata terpejam.

   Diambilnya gawai dalam saku celana, memutar lagu 'Puisi' milik jikustik, lalu mulai menulis kesepian-kesepiannya.


***



'Aku yang pernah
engkat kuatkan
aku yang pernah kau bangkitkan
aku yang pernah kau beri rasa ....'

    Perempuan imut itu mendekatinya, memperkenalkan diri, duduk di samping dan menepuk-nepuk pundaknya.

    "Janganlah bermuram, Sam. Selama masih ada udara di dunia ini, selama itu pula harapan itu ada."

    "Kau bahkan belum mengenal siapa namaku. Kenapa kau ...." kalimat itu tak selesai diucap lelaki yang tadi tengah duduk melamun.  Suaranya terdengar sedikit emosi.

    "Meski tak pernah menyapamu secara langsung, aku kenal siapa kau. Sam, penyiar di radio lokal yang memutarkan lagu-lagu melow, penulis puisi di blog catatan pena. Lagi pula, aku tahu kau baru putus dengan Juwita, maka dari itu kau melamun sendirian."

    "Bagaimana bisa kau ...."

    "Aku adalah penggemarmu sejak lama, pernah mengirim e-mail berisi puisi-puisi, namun tak pernah kau balas."

    "Sendayu Tri?"

    "Itu hanyalah nama pena, sudah kuperkenalkan nama asliku dari awal, Winarti."

    "Baiklah, apa maumu sekarang? Hmmm ...?"

   "Tolong buatkan aku puisi paling romantis yang bisa kau berikan." Perempuan itu memeluk Sam sejenak, lalu beranjak pergi.

****

   "Kita kembali lagi di zona galau, Serasa FM, dengarkan lagunya, nikmati puisinya. Boleh cerita-cerita sedikit dong galau-ers semua. Hari minggu kemarem, saya baru aja ketemu sama cewek bernama Sendayu Tri. Dia minta tolong dibuatin puisi cinta romantis, dan entah kenapa, pas Saya coba tulisin tuh puisi, isinya malah gak jadi-jadi haha. Becanda-becanda, Saya mulai bacain deh puisinya."

   Diputar lagu Adera - Muara, sebagai backsoundnya



 Semoga Cahayanya Sampai Kepadamu


Kupungut bintang-bintang yang jatuh tadi malam

untuk kurangkai jadi namamu
yang melekat dalam temaram
bukti cinta yang begitu dalam

Mereka; Bintang-bintang, masih berkelap-kelip di tanganku
merayu, mengucapkan kata-kata rindu
tentang aku, yang belum bisa menuntaskan rindu
melipat-lipat jarak dengan pertemuan kalbu

Aku, hati yang selalu melarutkan doa dalam bait-bait subuh,
saat matahari merasakan *tunduh
aku bersimpuh

Dan pagi ini, saat kau membuka jendela
akan kau temui, sepucuk surat
berisi bintang-bintang yang membentuk namamu

 Bandung Barat, 26082017


   "Gimana, galau-ers? Kalo jelek tolong ditambahin, kalo bagus, bungkus deh dibikin kado he ... he ... dari pada dengerin guyonan saya yang makin gak jelas. Kita dengerin aja satu lagu dari Krispatih - Lagu Rindu. Selamat mendengarkan, Galau-ers."

   Cring! Cring!

   Suara gawai Sam berbunyi, menandakan ada pesan masuk untuknya. "Puisinya keren, Sam. Bisa nanti ketemu hari minggu?"



 ***

'... saatku terjaga
hinggaku terlelap nanti
selama itu aku akan
selalu, mengingatmu ....'

   Pertemuan demi pertemuan pun direncanakan, tak pelak Sam mulai melupakan Clara dan jatuh hati pada Winarti. Mereka sering kali menghabiskan waktu bersama, sekadar ngobrol santai atau pun membuat puisi bersama.

   " ... dan luka-luka itu gugur pada musim semi kali ini. Terlepas, diganti cinta yang kini tumbuh dari pelukmu. Jika cinta kehabisan kata untuk dibicarakan, maka biarkan aku melamarmu, Sandayu Tri. Biarkan aku dan kau menjadi satu. Satu yang tak akan pernah bisa dilepaskan waktu. Satu yang takkan pernah bisa diombang-ambing badai. Satu yang hakiki, hanya kau dan aku di ruang bahagia."

   Semenjak pernyataan itu mengudara, Sam tak pernah bisa menemui Winarti. Telah dikirimnya pesan melalui SMS, BBM, bahkan E-mail. Winanti tak pernah membalasnya.

    "Apa cinta hanyalah bualan kata-kata? Bahkan kini api tak hangat, hujan tak menyejukan. Jika pertemuan adalah awal per
pisahan, maka jangan pernah ada pertemuan pertama
denganmu selamanya."

***

'... Kapan lagi kutulis untukmu
tulisan tulisan indahku yang dulu 
warna warnai dunia
 puisi terindahku hanya untuk mu 
mungkinkah kaukan kembali lagi 
menemaniku menulis lagi
 kita arungi bersama
 puisi terindahku hanya untukmu ....'

Jikustik - Puisi


   Di hadapan Sam, Clara duduk menyilangkan kakinya. Lampu lima watt yang sedikit redup di kamar lelaki itu tak mampu menutupi kecatikan wajahnya. Namun, kekesalan di wajahnya begitu terlihat.

   "Apa maksud Lo ngejar-ngejar Winarti, Sam? Dia udah punya suami. Jadi pliiss, berhenti ngejar-ngejar dia!"


   "Winarti udah ... nikah? Gimana Lo tau kalo Gue ...."

   "Winarti kakak Gue. Dia sekarang udah balik ke Jawa.Sebenernya pertemuan Lo sama Winarti  Gue yang rencanain. Biar Lo bisa lepas dan gak ngejar-ngejar Gue lagi."

*** 

   Lagu Jikustik itu pun selesai diputar. Sam Tersenyum kecut sambil membaca lagi puisi di atas meja. Ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir yang sungguh buruk. Sam akhirnya tau Winarti alamat setelah menyiksa Clara.

   Entah berapa puluh surat Sam kirim pada Winarti, tapi tak kunjung ada jawaban. Dengan terpaksa lelaki itu berangkat menuju alamat rumah wanita pemilik hatinya. Namun sayang, angan-angan pertemuan indah habis diterpa kenyataan.

   Sam beranjak, meninggalkan Winarti yang tertidur dan tak akan terbangun lagi. Di tubuhnya segaris luka telah memburaikan isi perutnya. Ada yang masih harus  kubereskan, pikir Sam. Semua kenangan dan puisi di kepalanya.

Bandung Barat, 2017 
 

Friday 10 November 2017

Cerpen; Mendaur Ulang Sampah Menjadi Karya

Mendaur Ulang Sampah Menjadi Karya

   "Bubar! Bubar!" teriak seorang preman. Badannya yang tinggi menjulang dipenuhi tato di setiap centinya, tak ketinggalan, anting-anting tergantung di telinganya.

    "Sebentar, Kang Sasmi. Ini ada apa?" Pak RT dan aku segera berdiri, berusaha menenangkan. Mungkin saja ada sesuatu yang salah dalam perkumpulan yang kudirikan. Perkumpulan ibu-ibu PKK yang mendaur ulang sampah plastik dan kertas.

    "Saya tak suka perkumpulan ini, Pak! Mengganggu! Apa Bapak tak merasa, semenjak perkumpulan ini berdiri, ibu-ibu di kampung kita berubah!" Preman itu menunjuk-nunjukku, sambil berkacak pinggang.

    Warga sekitar yang sedang bekerja -- bapak-bapak di sekitar sini sedang membangun rumah, juga sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai pabrik kerupuk -- segera berdatangan, mendengar keributan. Pos PKK ini mendadak menjadi seperti pasar kaget.

    "Saya juga merasa ibu-ibu PKK sangat berubah. Dari mulanya banyak yang menggosip saat ada waktu luang, kini lebih produktif, memanfaatkan sampah-sampah menjadi barang yang lebih berguna."

    "Bukan itu, Pak! Yang saya dengar, saat bapak-bapak pulang kerja, mereka melihat rumah berantakan, tak ada makanan di meja makan, dan sang istri malah asik di sini."

    Kegeraman begitu tergambar di wajah lelaki garang itu. Urat-urat terlihat di pelipisnya, giginya bergemeretak, menahan amarah. Jari-jarinya mengepal, siap melayangkan tinju.

    "Apa benar itu, Ibu-ibu?

    Semua perempuan setengah baya itu menggelengkan kepala, namun hanya Bu Lasmi yang berani berkata, meski dengan gemetar. "Tidak benar itu, Pak. Ba-- bahkan, suami saya mendukung. Sekarang dia selalu bangun pagi-pagi dan membantu saya beberes rumah, mengantar anak-anak ke sekolah. Karena dia tahu,, saya mendapat bayaran dan membantu perekonomian keluarga." Lalu terdenga bisik-bisik mengiyakan. Pak RT dan semua warga yang datang kini menatap lagi Sang Preman.

.

    "Saya dapat kabar itu dari sebagian bapak-bapak yang bekertja, dan mengeluh seperti itu," teriaknya membela diri.

    "Kenapa mereka endak langsung menghadap ke saya? Malah ke Pak Sasmi?"

    "Mungkin mereka tak berani."

    "Saya tak galak padahal."

    "Hanya segan ...."

   "Jika itu mengganggu ketentraman pribadi, sangat salah jika hanya disimpan dalam hati."

   Lelaki itu bungkam kehabisan kata. Aku yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri angkat bicara, meskipun dengan dada amat gemetar.

    "Begini saja, Pak. Jika ada Bapak-bapak warga sini yang keberatan istrinya berada di sini, silahkan langsung jemput saja. Saya tidak akan menahan-nahan ...."

    "Ini semua gara-gara kamu, GOBLOK!!" Lengan kekar itu tiba-tiba saja telah mendarat di wajahku. Bibirku dibuat sobek karenanya. Sang preman ingin menghajarku lagi sebenarnya, namunpara warga yang datang berhasil menahannya.

   "Apa masalah sebenarnya, Pak Samin? Kenapa main pukul seperti itu, saya sebagai ketua RT jadi malu sama tamu kita."

   "Gara-gara perkumpulan ini tak ada pemasukan pada saya. Itu sangat tidak adil, Pak!" Lelaki itu pergi dengan semua kejengkelannya.

   Istri Pak RT membersihkan luka di bibirku, lalu menganjurkan pergi ke puskesmas.

   "Tak perlu, Bu. Dikasih obat merah juga nanti sembuh," ucapku sambil berusaha menahan sakit. Kuambil gawai dalam saku celana. Membuka watsapp dan mencari kontak Satria, temanku yang senang membuat patung berbentuk manusia.

   'Sat, di daerah yang sedang kugarap ada sampah masyarakat besar yang bisa jadi bahan. Mau dibungkus?' Segera kuketuk pilihan kirim, sambil memegang bibir yang terus berdarah.


 Bandung Barat, 2017