Tuesday 30 June 2020

Cerpen : Sebuah Perbincangan

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_20
#NomorAbsen_302
Jumkat : 518 kata


Sebuah Perbincangan


    Kubuka pintu rumah kaca itu dengan dada berdebar-debar, menghirup napas dalam, lalu melangkah hati-hati. Sebab, ada sesuatu yang aneh dengan isi wasiat Ayah. Ada sesuatu tak masuk akal yang harus kukerjakan di ruangan ini. Apa yang harus kulakukan dengan nasi dan lauk pauknya bersama tanaman-tanaman ini? Apa Ayah menyimpan seorang manusia? Perempuan atau laki-laki? Atau jangan-jangan, Ayah menyembunyikan selingkuhannya di sini? Atau jangan-jangan ....

    Pertanyaan-pertanyaan lain terus turun bagai hujan dan aku harus memayungi pikiran agar tak jatuh pada kecurigaan. Semoga prasangka buruk itu tak pernah terjadi, agar sosok Ayah yang kukenal hampir sempurna itu tidak berubah. Agar pandanganku tentangnya tetap saja seperti itu.

    Di mataku, Ayah adalah seorang politisi keren yang jujur, rendah hati, dan ringan tangan untuk membantu sesama. Ia selalu membuka mata dan telinga untuk masyarakat, mengayomi, mendidik, serta merangkul semua kalangan tanpa pandang bulu. Selain itu, Ayah juga seorang kolektor benda antik dan penggila tanaman hias. Meskipun harus kuakui, Beliau terkadang bersikap sedikit aneh dan nyeleneh. Ia kerap memakai celana kolor pendek dan kaos putih saja saat menerima beberapa tamu, menghindari beberapa makanan berbahan hewan, serta yang paling aneh, ia kerap begadang di rumah kaca ini, sebelum esoknya mengadakan rapat. Aku sangat merindukan sosok Beliau.

    Aroma sedap malam menusuk hidungku seperti salam pertemuan. Lampu telah dinyalakan sedari tadi, mataku berkeliling. Barangkali, ada sesuatu yang mencurigakan atau yang akan mengejutkanku. Namun, hasilnya nihil. Semua tempat hanya di isi oleh tanaman, tak ada yang lain. Mawar, melati, sedap malam, dan beberapa tanaman lain yang dibentuk bonsai. Ketika masih hidup, Beliau sering mengajakku ke sini, walaupun tak pernah malam-malam.

    Aku mencoba mengingat-ingat kembali pesan Ibu. “Simpan makanan itu di meja paling ujung di sudut barat, dekat tanaman kantong semar. Jika ada sesuatu yang terjadi di luar nalarmu. Jangan berlari! Kamu harus tetap tenang menghadapinya.”




    Oke-oke. Aku harus tetap tenang. Namun, apa maksudnya sesuatu di luar nalar? Sedikit terburu-buru, menata makanan ke atas meja, lalu kusimpan pantat di atas kursi dari tunggul kayu yang ada di sana, memperhatikan tanaman yang memiliki kantong sebagai ciri khasnya.

    Apa harus, aku isi kantong itu satu-satu?

    “Tak perlu, Nak. Saya bisa makan sendiri. ”

    Sebelum aku menjawab kalimat itu, tiba-tiba saja, kantong-kantong tanaman itu menggabungkan diri menjadi sebuah sosok. Sosok yang tak asing bagi pecinta pewayangan, dengan tubuh bulat dan kulitnya yang berwarna hitam legam. Suaranya terdengar lembut, bersahaja, tetapi kharismatik.

    Andai tak ingat pesan Ibu, aku pasti sudah lari tunggang langgang. Semar di hadapanku hanya tersenyum, membagikan nasi dan lauk pauknya ke atas piring, lalu menyuruhku untuk makan bersamanya.

    Perasaanku kini campur aduk. Takut, khawatir, resah, sedih, dan yang lainnya. Namun, Semar hanya tersenyum saja, sambil menikmati hidangan di atas meja. Aku melihat keteduhan sosok Ayah dari matanya.

    Ia berhenti mengunyah, lalu menepuk punggungku beberapa kali. “*Sing sabar, cing tawakal. Jodo, pati, bagja, cilaka geus aya nu ngaturna. Urang mah ngan saukur dititah usaha jeung narima,” ucapnya menasihati. Sekali lagi, ia menyuruhku makan. Kali ini aku menurut.

    Malam semakin dalam dan gelap. Ditemani salah satu sosok punakawan itu, aku membagikan resah yang ada. Kuceritakan semua kegundahan hati hingga reda. Dan, kami berdua tenggelam pada perbincangan tentang kesedihan, sampai pagi datang menjeda.


Bandung Barat, 20/06/2020

Catatan : *Yang sabar, yang tawakal. Jodoh, maut bahagia musibah sudah ada yang mengatur. Kita hanya disuruh berusaha dan nerima



Cerpen : Perempuan yang Berusaha Tersenyum

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_09
#NomorAbsen_302
Jumkat : 457

Perempuan yang Berusaha Tersenyum



    Aku mematung di depan cermin. Menatap lekat semua yang ada di sana. Mata panda yang jauh dari kata memesona, bibir tipis pucat, juga hidung yang tidak proporsional. Sungguh, lelaki mana yang akan bertahan dengan perempuan macam aku? Mereka hanya memerdulikan kehangatan sesaat, sebelum akhirnya menghilang. Cuih! Dasar bangs*t!

    Kusentuh pipi yang mengembang, mencubitnya, dan membayangkan, seandainya wajahku bisa menjadi tirus. Mungkin, aku akan lebih cantik. Mungkin, akan ada seseorang yang dengan sukarela menjaga, mengayomi, mengasihi, dan mencintai. Menjadi tempat mencurahkan segalanya, hingga jasad berkabung tanah, hingga napas dilumat pasrah.

    Sekali lagi, kutatap cermin itu. Kugerai rambut panjang ke depan dada. Sebenarnya aku tidak seburuk itu, kulitku memang hitam, tetapi saat tersenyum akan lahir lesung pipi yang tampak manis.

    Nyanyian malam keluar dari mulut burung hantu, bulan menggantung lunglai di langit kelam, dan pikiranku mulai bercabang, membayangkan banyak kemungkinan ketika masa muda yang pernah kunikmati tak salah pilih jalan. Seandainya ... seandainya ....

    Khayalku makin tinggi, menyentuh segenap angan-angan yang dulu terlihat cemerlang, sebelum akhirnya jatuh terjerembab di lubang kesesatan. Memang benar, semua kesialan ini akibat dosa yang kulakukan di masa remaja, tetapi tak pantaskah aku meminta sedikit saja keringanan, agar ada bahu untuk bersandar? Atau semua lelaki memang berpikir, perempuan sepertiku adalah mainan yang hanya disayang saat dibutuhkan, lalu mencampakkan saat tak diinginkan?

Photo by Rahul from Pexels


    Ingin aku teriakan segala kekesalan ini, mengeluarkan binatang-binatang dan caci maki. Namun, semua itu tak berguna, semua mimpi buruk ini telah terjadi dan tak mungkin bisa kuulang kembali. Segalanya telah kasip. Sauh telah dilepas, kapal yang kunaiki tak bisa tertambat kembali.

    Suara benda pecah belah berdenting di telingaku. Aku bisa kembali mengingat dengan jelas, bagaimana orang tuaku mengutuk, menunjuk-nunjuk, melempar beberapa benda, lalu mengusirku tanpa sedikit pun rasa menerima. Mereka bilang aku aib. Mereka bilang sebuah kesalahan telah melahirkanku.

    Terdengar dengkuran halus di belakangku, membuat lamunan yang sedang kuselami buyar. Jika bukan karena anak kecil itu, aku mungkin tak akan melalui kesedihan ini seorang diri. Mungkin, aku masih memiliki kehidupan normal. Aku berdiri dan berjalan mendekati ranjang, memperhatikan wajah damainya, menyelusuri wajahnya dengan jari.

    Tadi siang, Jane--anakku--memintaku agar esok datang ke sekolahnya dalam acara “Ayahku Pahlawanku”. Ada yang ingin menyeruak dalam dada. Kuambil gunting di atas meja, lalu memejamkan mata. Aku sudah pasrah atas segalanya.

***

    Pagi mengetuk pintu rumah dengan jemari cahaya. Membuatku terjaga dan membuka mata. Jane menatapku beberapa kali tak percaya. Mungkin, semua perubahan yang kulakukan tadi malam sangat mengganggunya.

    "Ada apa sayang?"

    "Maafkan Jane, Mah."

    Aku memeluk tubuh kecilnya, mencium rambut hitamnya, dan mengelus-elus punggungnya.

    "Bukan salahmu, Nak. Yang seharusnya dimaafkan itu Mamah, karena belum mampu membahagiakanmu. Sekarang kamu mandi ang bersih, kita berangkat ke sekolah sama-sama. Soal rambut Mamah yang dipotong jangan khawatir, Mamah memang sedang ingin mencoba berambut pendek."

    Gadis kecilku termenung sebentar, sebelum memasuki kamar mandi.

Bandung Barat, 09/06/2020



Cerpen : Salah Membaca Mantra

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_25
#NomorAbsen_302
Jumkat : 830 kata


Salah Membaca Mantra


    Kudengarkan derit suara pintu terbuka dari jauh, disusul bunyi derap langkah yang cepat. Kami mencoba berkonsentrasi agar bisa menemukan dari mana arah datangnya. Namun, terasa nihil. Suara yang bergema menjadikannya terdengar seperti datang dari berbagai arah.

    Kami berempat saling membelakangi. Mencoba menembakkan cahaya senter ke depan untuk memastikan, dari arah mana hantu itu datang. Jantungku berdegub cepat, serta deru napas yang sudah tak bisa diatur lagi. Aku tak ingin mati di sini. Tidak!

    Tiba-tiba saja tempat ini jadi hening. Hening yang ganjil. Bulu kudukku meremang, terasa ada sesuatu yang menetes dari atas. Hampir bersamaan, kami mendongak, mengarahkan senter ke atas kepala.

    Rambut panjang yang menjuntai menutupi setengah wajahnya yang rusak. Nanah dan darah menetes tak henti-henti dari bibirnya. Dengan posisi kepala di bawah, hantu itu terlihat siap menerkam. Kami segera berlari ke luar sambil berteriak ketakutan.

    Setelah sampai di halaman, aku menengok ke belakang. Terlihat dua orang yang tergopoh-gopoh mengikuti. Hanya dua orang? Deri ke mana? Aku mengutuk dalam hati. Bimbang, antara menjemputnya ke dalam atau berdiam saja di sini.

    Sebuah teriakan yang memilukan terdengar dari dalam. Aku merasa harus bertanggung jawab pada mereka, sebab ini adalah kesalahanku yang telah mengajak mereka untuk uji nyali di sini. Kutarik napas berat, berusaha menyingkirkan segala ketakutan, lalu mulai melangkah.

***

    Bulan retak tertusuk ranting kering. Pecahan cahayanya berhamburan, jatuh ke setiap tempat yang terbuka. Jalanan sepi, tanah yang lapang, juga rumah tua berlantai dua di hadapan kami. Bintang-bintang menghilang hingga langit terasa lenggang. Dan, di sini. Kami siap mengeksekusi rencana yang sudah matang.

    Kami mengecek peralatan kembali. Senter, kamera, juga menyiapkan beberapa bungkus bunga dan dupa. Malam ini, kami hendak merekam segala aktifitas mahkluk astral di rumah ini, dan membuatnya menjadi konten. Menurut kesaksian banyak orang, rumah di depan kami ini dihuni oleh banyak sosok mahluk, tetapi yang paling terkenal adalah hantu merangkak.

    Awalnya kami tertawa mendengar nama hantu itu. Membayangkannya seperti bayi atau tokoh pahlawan laba-laba. Namun, setelah mendengar penuturan beberapa orang yang telah mencoba bermalam di sana, kami menyimpulkan sesuatu. Bahwa semua akan berjalan menarik.

    Orang-orang menyebut rumah itu vila kenanga. Bangunan bertingkat yang sudah tak terurus itu memang terlihat sangat menakutkan. Bangunannya terbengkalai, rumput-rumput liar tumbuh subur. Berjarak tidak jauh dari perumahan tempat kami tinggal. Berada di sebelah kanan aliran sungai yang cukup dalam dan agak sedikit menjorok ke dalam hutan.


Photo by Mike Yakaites from Pexels


    Kami sekarang sedang berada di ruang tengah. Setelah menyalakan kamera, Deri yang bersila di depan sesajen langsung mengucapkan jampi-jampi yang telah dicarinya di daring, sambil membakar dupa. Angin berembus ganjil, membawa aroma berbagai rupa, menyebabkan aku sedikit mual. Suara-suara aneh mulai bermunculan, hingga bulu kudukku berdiri. Kami berkeliling menyebarkan asap dupa, memancing datang mereka yang tak kasat mata.

    Satria dan Heru terlihat sangat tidak nyaman. Terbukti dengan tangan dan tubuh mereka yang gemetar. Namun, sudah tak ada jalan kembali. Sekarang, kami harus berada di sekitar sini sampai pagi menjelang, sebab ada sebuah pantangan. Mereka yang melanggar itu akan kehilangan salah satu anggota badannya atau menjadi gila, bahkan mati. Maka kami memutuskan, Aku dan Heru di lantai atas, sisanya di lantai bawah.

    Aroma amis menyengat langsung menusuk hidungku saat memasuki lantai kedua. Di sini ada terlihat ada tiga ruangan yang lumayan besar. Semua ruangan sudah tak memiliki langit-langit, debu yang menempel tebal, juga sarang laba-laba. Kami langsung menelusurinya satu persatu. Sedari tadi, aku sudah mengucapkan banyak kata di depan kamera, mendeskripsikan apa yang terasa, terdengar, meski belum ada penampakan apa pun.

    Tiba-tiba Heru memegang ujung bajuku dan menyinari sebuah ruangan paling pojok. Jika dilihat dari tata letaknya, ruangan itu adalah kamar mandi. Sebuah kepala dengan mata yang menyala menyembul beberapa kali, lalu menghilang. Aku berusaha mendekat, tetapi lelaki di belakangku terus menahan-nahan. Mungkin ia takut terjadi sesuatu.

    Setelah menenangkannya, kami berdua masuk ke ruangan itu, memperhatikan sekeliling, dan tak ada apa-apa. Aku menarik napas dalam. Antara bersyukur dan tidak. Hingga suara gemeretak menyadarkan kami, bahwa beberapa hantu melihat dengan mata memburu sedari tadi. Mereka menempel di dinding, mirip seperti cicak dengan kepala di bawah. Belum habis keterkejutan kami, terdengar dari bawah suara teriakan. Membuatku menarik tangan lelaki itu dan segera turun.

    Kami bertubrukan tepat di bawah tangga, terjatuh, lalu berdiri dengan posisi saling membelakangi.

***

    Aku mematung di depan pintu. Sebuah tangan menggapai-gapai lantai kayu sebelum ditarik kembali. Saat kusorot dengan sinar senter, tubuh Deri sedang dilahap oleh mereka. Aku bergidik antara mual dan ngeri, melihat temanku sendiri diperlakukan seperti itu. Sebuah benda lalu terlempar dari dalam. Gawai. Aku segera membuka kata sandinya, lalu melihat bahwa apa yang dibacakan lelaki cungkring itu. Bajingan! Pantas saja dia yang biasanya paling penakut, jadi merasa biasa saja. Dia membaca mantra pengusir setan.

    Terdengar suara gemuruh yang mirip suara air bah. Limbung. Aku merasa kaki ini sulit untuk digerakan, hingga aku harus mengesot untuk sedikit menjauh dari vila kenanga. Satria dan Heru sudah menghilang dari pandangan. Aku mengeluarkan segala macam sumpah serapah atas kejadian ini. Dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan seluruh rumah itu diselimuti oleh hantu. Mereka merangkak turun, mendekati, lalu memegang seluruh bagian tubuhku.

    “Ampun! Ampun! Aaaa ....”

Bandung Barat, 25/06/2020

Monday 29 June 2020

Cerpen : Penguasa Lautan

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_26
#NomorAbsen_302
Jumkat : 659 kata


Penguasa Lautan


    Musim panas seperti ini selalu memuakkan bagi lelaki tua itu. Angin yang membawa aroma garam masuk ke dalam rumah, pantai yang penuh sesak oleh para pelancong, dan bau keringat yang menyengat dari tubuh mereka. Orang-orang yang asyik berlibur itu selalu datang membawa kepenatan kota ke dalam kepalanya, lalu membuangnya begitu saja ke laut. Sedangkan, ombak sering menghempaskannya kembali, menyebabkan banyak sekali kepenatan-kepenatan berceceran di atas pasir pantai, menggunung, dan jadi sampah yang sulit untuk terurai.

    Santiago menyisir rambutnya yang memutih dimakan usia rapih kebelakang, kemudian memperhatikan pahatan-pahatan waktu pada kulitnya yang kini telah serupa kulit jeruk. Bergaris-garis tak beraturan. Sambil bersiul, ia membayangkan masa lalunya saat berhasil mengalahkan seekor monster lautan dan membawanya ke daratan. Meskipun, hanya tulang belulangnya saja yang tersisa.

    Alina sedari tadi telah menunggu di ruang makan. Gadis itu telah menyiapkan makanan di atas meja sebagai sarapan. Matanya sesekali mengintip ke arah kamar, memperhatikan cahaya senja yang tergantung di kamarnya.

    “Yang biasanya lama di depan cermin itu perempuan, Ayah. Bukan laki-laki.”

    “Setiap orang berhak mendapatkan waktu untuk dirinya sendiri, Sayang.”

    “Terserahlah. Tapi jangan terlalu sibuk memikirkan hal yang telah berlalu, ikan monster yang telah kau tangkap itu hanya tinggal tulang saat berhasil kau bawa ke daratan. Tak ada yang mau membelinya sama sekali.”

    “Lalu apa artinya senja di kamarmu? Setiap orang punya kebanggaan, Sayang.”

    “Baiklah, aku kalah. Mari makan.”

    Lelaki tua itu keluar dari kamarnya dan berjalan menuju meja makan. Ia lalu berdoa pada Tuhan agar mendapatkan keberkahan dari makanan yang terhidang ini. Selepas kata amin, tak ada lagi kata dan suara, yang ada hanya denting piring dan sendok yang sesekali beradu, itu pun pelan. Sangat pelan. Bahkan kalah oleh suara kesiur angin di luar.

    Ketika lelaki tua itu mencuci mulut, terdengar suara pintu diketuk, juga teriakan orang-orang panik. Alina dan lelaki tua itu saling menatap. Mencoba menekuri apa yang terjadi dengan orang-orang itu, tetapi mereka tak tahu. Alina segera masuk ke kamarnya dengan panik, lalu menyembunyikan senja yang dicuri kekasihnya. Sedangkan Santiago mengambil alat pancingnya, mungkin, ada ikan monster lagi yang perlu ia taklukan.

    “Maaf mengganggu sarapan Anda, Pak Tua. Tapi ada keadaan yang benar-benar gawat.”

    Kata-kata seperti itulah yang menyambutnya, sesaat setelah membuka pintu. Dengan matanya yang masih tajam, ia menyisir wajah-wajah di hadapannya. Semua terlihat panik dan ketakutan.

    “Ada apa memang?”

    “Para perompak berdatangan. Mereka menyebut-nyebut Gol D. Roger. Seseorang yang mengaku telah menjadi raja bajak laut, dan telah melewati seluruh wilayah lautan. Mereka memang belum menyakiti siapa pun, tetapi tuntutan mereka sangat berlebihan.”

    “Baiklah. Mari kita berangkat ke sana.”

    Dipimpin lelaki tua itu, orang-orang berduyun-duyun pergi ke arah pantai. Dalam benak mereka hanya satu, semoga lelaki tua itu bisa mengalahkan ketua perompak, dan membuat mereka lari terbirit-birit.

***

    Kedua lelaki tua itu berjabat, memegang erat-erat lengan lawannya. Namun, tak seperti yang diperkirakan sebelumnya, mereka terlihat sangat akrab. Tak ada tatapan saling memburu atau ketegangan lain di wajah mereka. Roger tertawa dengan nada yang khas, sedangkan Santiago tersenyum kaku.


Photo by ArtHouse Studio from Pexels


    “Sepertinya aku salah memilih tempat pesta. Maaf sekali, Pak Tua, mengganggu istirahatmu yang seharusnya damai dan tenang.”

    “Jangan berlelucon, Roger. Aku sudah tahu kesehatanmu lebih buruk daripada diriku. Tentu saja kau bebas melangsungkan pesta perpisahan dengan para krumu. Tetapi orang-orang di sini keberatan atas permintaanmu.”

    “Kami akan membayar dengan emas, Pak Tua.”

    “Tapi kami harus menyiapkan minuman-minuman itu untuk musim dingin. Sekali lagi aku tekankan, orang-orang itu keberatan.”

    “Bagaimana jika kita tentukan saja dengan mengalahkan ikan-ikan monster yang berada di perairan ini.”

    “Jika itu maumu, aku tak pernah keberatan.”

    Orang-orang mulai menyiapkan sampan dan alat memancing untuk mereka berdua hingga senja. Hampir semua terlihat bersuka cita, kecuali beberapa orang yang sadar betul bahwa kedua lelaki tua itu kesehatannya sudah tak sebaik dulu. Namun, melarang mereka melaut bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan.

    Semua orang melepas kepergian Roger dan Santiago. Mereka begadang sepanjang malam menunggu keduanya kembali. Berpesta.

    Alina mengendap-endap keluar dari rumah, dengan sesuatu yang bersinar dari dalam tasnya. Berharap tak ada yang melihat kepergiannya. Namun, tanpa gadis itu sadari, seseorang bertubuh kecil memperhatikannya. Detektif itu harus menemukan dalang dari hilangnya senja yang asli dari dunia.


Bandung Barat, 26/06/2020


Catatan kaki :
Santiago (Tokoh utama dalam Novel Lelaki Tua dan Laut Ernest Hemingwey)
Alina (Tokoh dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Ajidarma)
Gol D. Roger (Tokoh dalam serial anime dan manga One Piace Eiichiro Oda)

Cerpen : Sepucuk Surat Kesedihan

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_27
#NomorAbsen_302
Jumkat : 803 Kata


Sepucuk Surat Kesedihan


    Aku sudah muak melihat cat putih ruangan ini, suara gorden yang dibuka tutup, juga derit tempat tidur rumah sakit. Aku tak ingin kehabisan detik dengan berada di sini. Aku ingin pulang saja, duduk di beranda sambil menatap senja yang jatuh di perbukitan sana bersama istriku. Aku ingin begitu saja.

    Aku juga sudah bosan pada dokter-dokter yang selalu mengecek kondisiku setiap hari, bau obat, suster-suster muda yang terkadang bersikap menyebalkan.

    "Cepatlah sehat, Tuan. Agar aku bisa memilikimu lagi sepenuhnya. Mari jalani sisa hari dengan lelucon-lelucon yang hanya kita yang tahu, kisah-kisah perjuangan kita saat muda, atau keluhanmu tentang sakit punggung, masuk angin, dan yang lainnya."

    Perempuan itu menggenggam erat jemariku dengan kedua tangannya, menguatkanku. Ia adalah wanita yang sangat tegar, bahkan di saat-saat seperti ini. Aku hanya bisa menyembunyikan tangis dalam senyum. Tangis yang seringkali tumpah saat ia terlelap.

    Sesekali para tetangga datang menjenguk atau menemani malamku di sini. Memberikan semangat bahwa kehidupanku masih panjang. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi. Apa artinya?

    Tubin adalah hari jadi pernikahan kami yang ke enam puluh. Ada firasat dalam diriku yang mengatakan, bahwa umurku sudah hampir pada batasnya. Penyakit ini telah menggerogoti diriku dan ini akhirnya. Kuambil kertas, lalu menuliskan segala yang kurasa. Bukan surat wasiat, tetapi permintaan egois pada perempuanku.



Photo by PhotoMIX Company from Pexels


***

    Perihal ketakutan akan kematian, Kekasih. Semoga bisa menjadi kekuatan di suatu hari nanti. Saling memeluk saat terpuruk, berpegangan di jalan licin penuh kebohongan, atau saling menguatkan saat digoyahkan. Kekasih, biarkan cinta jatuh di ladang harapan, agar ia tumbuh subur, bermekaran, hingga kita bisa memetiknya sambil mengenang saat-saat bersama.

    Ketidaksempurnaan yang membuat kita bisa saling melengkapi. Seperti, kita tak bisa memeluk diri sendiri dengan jangkauan tangan yang pendek. Hingga membutuhkan tubuh orang lain. Benar, kan?

    Kekasih, mencintai-Nya dan kamu saja sudah cukup bagiku. Aku yang fana ini sangat bahagia bisa hidup dan berbagi segalanya denganmu. Berada di sampingmu, menikmati secangkir kopi di beranda ditemani omelanmu. Berbagi kisah, kasih, keluh, dan resah. Sungguh, Kekasih. Jika Tuhan memintaku untuk pulang karena penyakit ini, aku rela. Aku sangat rela.

    Barangkali, tak ada yang namanya kesempurnaan di dunia ini. Waktu memburu napas hingga ujung, menuju haribaan yang dijunjung. Mengejar segenap ketidakpastian yang ganjil, terlepas kehidupan kita yang habis dicicil.

    Kita telah mengetahui bahwa segala yang ada di dunia ini fana, Kekasih. Yang abadi hanya toko bangunan, berjejer di jalanan sepi yang perlahan dilupakan. Aku ingin membuat cerita yang lucu, agar kamu tersenyum. Namun rasanya, aku memang sekaku awal pertemuan kita dulu.

    Kita fana, meski kenangnya menempel terus dalam jiwa. Sehingga anak-anak angan kerap berkunjung dan menyiksa. Sajak-sajak yang pernah tertulis, perlahan habis dikikis tangis. Kita pernah berharap umur lebih, tetapi takdir membuat kita menyesap sisa hidup dengan sedih.

    Untuk kamu yang masih kuat menghadapi kenyataan. Menyusun segala keinginan dengan mimpi-mimpi di masa depan. Percayalah, meski ragaku tak berada di sampingmu, jangan sampai ada setitik ragumu padaku. Meski dari jarak tak terhingga, meski dari dimensi yang tak lagi seirama. Percayalah, aku akan selalu mendukung dan mencintaimu.

    Mungkin nanti, kamu akan membaca kata-kata yang tertulis ini sambil menangis. Mengungkap kesedihan lewat air mata yang mengiris. Namun, pada segenap keinginan, khayalan, dan kenyataan, aku ingin selalu berada di sampingmu di segala suasana. Ini pelukku untuk segala masalahmu. Ini telingaku untuk mendengar segala ceritamu. Ini mataku untuk selalu menatap raut wajahmu. Ini tanganku untuk kamu genggam selalu, dan ini kepercayaan yang kutitipkan di dadamu. Biarkan aku mencintaimu, hingga kita bertemu lagi di tempat yang telah dijanjikan oleh-Nya.

    Terima kasih untuk segala yang pernah kamu berikan, dan maaf dariku untuk segala kekurangan. Aku mencintaimu.

***

    “Bila nanti saya mati, tolong berikan ini pada istri saya, ya, Sus.”

    Suster yang bertugas mengecek keadaanku terlihat bingung, tetapi tak bertanya. Disimpannya surat itu, lalu memeriksa keadaan pasien lainnya.

    Pukul empat sore dan istriku masih belum juga sampai di sini. Malah beberapa tetangga samping rumah yang datang. Mereka bilang, perempuan itu sedikit kelelahan hingga perlu istirahat. Aku mengangguk. Umur adalah sesuatu yang tak dapat disangkal dan tak pernah membohongi. Sama seperti perasaan.

    Jujur saja, ada yang terasa aneh dalam dada. Tampak ada sesuatu yang disembunyikan mereka. Mungkin, ini hanyalah prasangka, sesuatu yang tak dapat dijelaskan, atau kebiasaan orang-orang sebelum mati? Entahlah. Aku tak pernah tahu.

***

    Tak terasa, ini hari ke empat setelah aku menuliskan surat itu, hari jadi kita, dan hari di mana aku akan bertemu denganmu. Para tetangga yang baik hati ini bilang, kamu sudah mendingan, tetapi tak mengizinkan perempuan itu menemaniku. “Takut kembali sakit,” kata mereka. Dan, aku mengerti tentang itu. Hingga aku tak berani bertanya lagi dan bersikap menerima.

    Namun sekarang, saat aku sembuh dan diperbolehkan pulang. Para tetanggaku ini memeluk, lalu meminta maaf berkali-kali. Tidak hanya satu, tetapi semua orang yang kutemui. Konspirasi macam apa ini? Apa mereka semua akan meninggal mendahuluiku?

    Mengucapkan salam berkali-kali di depan pintu dan tak mendapatkan jawaban. Pak RT akhirnya datang, membawa sepucuk surat yang warna amplopnya mirip dengan yang kutulis empat hari yang lalu.

Bandung Barat, 27/06/2020

Cerpen : Sepenggal Kisah Seorang Penulis

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_28
#NomorAbsen_302
Jumkat : 691 kata


Sepenggal Kisah Seorang Penulis


    Lelaki itu terlihat sangat stres di depan naskahnya. Menuliskan beberapa paragraf, sebelum terhenti, dan membuat cerita yang baru. Ia terlihat amat resah, ada suatu hal yang sangat mengganggunya.

    Digaruknya kepala yang tak gatal itu. Membiarkan khayalan, ilham, atau apa pun sebutannya masuk ke dalam tempurung kepalanya, agar cerita yang sedang ditulisnya bisa selesai. Namun, setiap kali ia menulis tokoh itu, entah mengapa jari dan pena yang digunakan selalu membawa tokoh ceritanya menuju dalam bahaya. Padahal, penulis itu sangat mencintai tokohnya tersebut. Replika seorang perempuan yang disadurnya dari sang mantan kekasih yang masih ia cintai.

    Dalam ceritanya, perempuan bernama Lastri itu memiliki rambut yang bergelombang seperti ombak, mata yang sebiru air laut, dan yang paling lelaki itu suka, caranya berbicara yang terkesan manja, selalu membuat si penulis kesemsem dan mencintainya setengah gila.

    Ia mencoba membaca beberapa paragraf cerita di atas kertas itu.

    “Perempuan yang senyumnya lebih menyilaukan daripada mentari itu berangkat bersama beberapa temannya untuk menjelajahi hutan. Ia terlihat sangat senang. Berkali-kali perempuan itu meyakinkan dirinya bahwa ini semua bukan mimpi. Semua ini adalah berkat perjuangan kerasnya setelah beberapa kali meyakinkan orang tuanya bahwa berkemah sungguh aman, bahkan untuk perempuan. Ia juga menyebutkan bahwa ia didampingi teman-teman yang telah terlatih.

    Tak henti-hentinya perempuan itu berbicara, untuk mengeluarkan kebahagiaan yang sudah tak terbendung lagi di dadanya. Dalam perjalanan yang melelahkan itu, ia adalah satu-satunya yang terlihat menikmati. Teman-temannya hanya tersenyum dan sesekali menanggapi. Namun, perempuan itu terlalu bersemangat hingga tak menyadari hal aneh itu.

    Setelah cukup dalam memasuki hutan, beberapa temannya meminta waktu untuk istirahat. Lalu salah satu teman lelakinya meminta ia untuk sedikit menjauh dari kerumunan, sebab ada yang ingin dibicarakan. Tanpa sedikit pun rasa curiga, Lastri mengikutinya.

    Angin memainkan rambut perempuan itu. Meski di bawah sinar cahaya rembulan yang palsu, kecantikan Lastri tetap memesona. Bahkan saat beberapa tetes keringat menempel di pelipis dan wajahnya sedikit kemerahan karena rasa lelah.

    Sebelum perempuan itu tahu apa yang hendak dibicarakan teman lelakinya, tiba-tiba saja ...."



Photo by Mona Termos from Pexels
Photo by Mona Termos from Pexels


    Penulis berambut panjang itu bergidik. Di dalam kepalanya, perempuan itu dibayangkan diperkosa bergiliran, dibunuh, lalu dibuang begitu saja. Dan, si teman perempuan itulah yang rupanya telah mempersiapkan semuanya. Dari mulutnya, keluar berbagai macam kata yang tidak pantas, lalu ditutup dengan kalimat, “Ia memang pantas mendapatkannya. Salahnya sendiri telah mengambil beberapa orang yang kusukai.”

    Padahal, menurut penulis itu, salah teman si perempuan. Suruh siapa terlahir jelek? Atau, mengapa tak menjadi lebih baik saja untuk menarik perhatian lelaki yang dia suka? Cih!

    Kini, lelaki itu mengelap keringat dingin di pelipisnya, meneguk kopi yang tinggal setengah, lalu menarik napas panjang. Ia harus tahu alasan kenapa tokoh perempuan dalam ceritanya itu selalu berakhir tragis.

    “Kafe yang berada di lantai dua itu selalu penuh dengan para pengunjung. Bagaimana tidak? Selain menunya yang sangat enak, harganya juga terjangkau bagi para muda-mudi. Selain itu, tempatnya yang sungguh asyik untuk menatap senja berdua. Membingkai cerita romantis yang sedang ditulis oleh kisah asmara para remaja.

    Perempuan bermata biru itu menatap kaca jendela kafe, sambil membayangkan pertemuan pertamanya dengan sang kekasih. Sederhana, tetapi sangat romantis. Hingga terdengar suara tembakan ....”

    Sekali lagi cerita itu berakhir tragis. Di tempat Lastri berada terjadi perampokan. Dan para penjahat itu menembak tokoh kesukaannya karena takut terus memperhatikan perempuan itu hingga tidak fokus bekerja.

    “Cih! Dasar mata keranjang!" rutuknya.

    Lelaki itu sangat ingin menyelamatkan tokoh tersebut. Hanya saja, Lastri seperti ditakdirkan untuk meninggal dengan cara yang tidak biasa. Tragis dan menyesakkan. Sebagai penulis, lelaki itu merasa tak memiliki hak untuk membuat cerita yang mampu menyelamatkannya. Maka ia berpikir, bahwa hanya ada dua kemungkinan. Tokohnya dibunuh secara mengenaskan atau bunuh diri.

    Dan, pilihan penulis itu jatuh ke nomor dua. Lelaki itu mulai berpikir, bagaimana cara terbaik untuk melakukan bunuh diri. Melihat sekeliling dan menemukan tali.

    “Berapa menit yang diperlukan setiap manusia untuk mati gara-gara gantung diri? Satu? Dua? Atau tiga menit?” bisiknya pada diri sendiri.

    Tak menemukan jawaban yang pasti, akhirnya lelaki itu melakukan observasi sendiri. Ia segera naik ke atas kursi, mengikatkan tali ke kayu dan lehernya, lalu membiarkan tubuhnya menggantung. Tiga puluh menit dan tak terjadi apa-apa.

    "Improvisasi saja," ucapnya pada diri sendiri. Ia mencoba mengambil pena, tetapi merasa ada sesuatu yang janggal. Saat berbalik, penulis itu tertawa. Tubuhnya masih tergantung di sana.


Bandung Barat, 28/06/2020

Saturday 27 June 2020

Kumpulan Puisi; Rahasia Malam


Depresi 





1//   Cahaya matahari lesap 
       dan pikiranmu jadi anjing liar. 
       Mengejar ekormu sendiri 

       Memuntahkan sisa-sisa kehidupan 
       menolak masuk makanan, udara, pikiran bersih 
       juga segala kebutuhan. Sebab bagimu 
       masa depan adalah malam 
       ; ruang gelap penyekapan


2//   Sebelumnya, kaukerap menyimpan masalah
       ke dalam mimpi, hingga saat kau terbangun
       ceria tumbuh di wajahmu

       Mimpimu jadi tempat pelarian setiap masalah
       dan kau merasa beruntung karenanya

       Namun, di satu waktu
ketika mimpi yang kau miliki
       sudah terlalu kenyang dengan masalah
       kau tak ingin tertidur

       Masalah ingin melahapmu, seperti
       anjing lapar menemukan
       daging di pemakaman




Menyelami Malam



       Aku yang tinggal
       separuh ini ingin menyelami malam
       agar mengetahui segala hal
       yang hidup dan berkembang di dalamnya

       aku bosan hanya duduk di tepian
       menerka-nerka seberapa dalam
       mungkin, sedalam palung mariana?
       atau sedalam perasaan ini padamu, kekasih?

       Bulan terapung-apung
       mirip pelampung
       dan bintang-bintang begitu gesit berenang
       takut ditangkapi anak-anak nelayan
       yang berusaha mewujudkan mimpi

       Khayalku melayang tinggi
       khayalku tinggi lagi
       membayangkanmu, Kekasih

       Kesadaranku tinggal setengah
       sisanya kausekap dalam amarah
       di tubuhmu. Tak ingin kembali

       Aku ingin menyelami malam
       namun takut tak bisa kembali
       menepi, di bibir pagi
       sebab air tenang malam
       sering kali menenggelamkan
       -- orang-orang sering membuang masalah mereka dalam arusnya--

       Jika seandainya nanti aku tenggelam
       ke dasar malam
       aku mohon, kau mau memberikan lagi
       sepotong kesadaran yang kumiliki
       agar aku tak tidak mati mengenaskan dan
       jadi separuh rasa yang penasaran

       Khayalku tinggi lagi
       khayalku tinggi lagi
       menyebut namamu bolak-balik
       seperti roda yang diputar terbalik

Bandung Barat, 20/02/2020





Biji Mata dalam Cangkir Kopi



       Senja jatuh, jadi lahan kosong
       -- tak ada tanaman yang ingin tumbuh
       di sana. Petani-petani mati kelaparan --
       dan kau sering kali mengutuk

       "Tak ada warna yang lebih
       memuakkan, dari pesan perpisahan," ucapmu
       pada sepasang telinga

       Sebelumnya, kau telah memesan
       dua cangkir kopi, lengkap
       dengan sebuah bibir dan sepasang telinga
       untuk kau ajak bercakap-cakap
       perihal hidup dan manusia
       yang tak pernah merasa cukup

       "Apa yang paling kau cintai dalam hidup?"

       Kau tersenyum dan menggelengkan kepala
       menyesap aroma kopi, dan menyadari
       sebiji mata mendelik ke arahmu
       warnanya mirip milik kekasihmu
       yang ditemukan mati, dimutilasi
       beberapa tahun yang lalu
       saat pagi masih mencintai
       embun yang menempel 
       pada rumput yang berdiri

Bandung Barat, 14/02/2020 

Pict; Biji Mata dalam Secangkir Kopi