Tuesday 31 January 2017

PERGI-KEMBALI, HILANG-TERGANTIKAN

PERGI-KEMBALI, HILANG-TERGANTIKAN


      Hanya karena beberapa hal kecil pergi, menjadi alasan kita sering larut dalam kesedihan. Air mata menenggelamkan kita, terus hingga dada sesak, lalu terisak, ingin teriak, lupa masak, atau mungkin membuat hidup kita semakin belangsak!!



      Tapi semenjak negara api menyerang, dan menghanguskan beberapa pikiran negatif. Kini aku tersadar, yang pergi suatu saat akan kembali. Dia akan selalu tau kemana jalan pulang. Jika tak juga kembali, mungkin dia benar-benar tersesat, lalu berdebat dengan kompas tentang arah yang benar (*emot sedih) atau bahkan dia menemukan rumah baru, yang baginya lebih nyaman dari tempat tinggal yang dulu (*emot nangis) dan dia benar-benar akan hilang dari hidupmu. (*sedih sampe guling-guling)


     Namun lagi-lagi, saat negara api menyerang, dan asbak di dalam kamar penuh dengan puntung rokok, aku tersadar. Jika ada sesuatu yang hilang, Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Percayalah!! Ikhlaskanlah!! Bersabarlah!! Berusaha lebih giatlah!! Empat kepingan puzle yang diberikan logika dan nurani, jika disatukan akan membuka pintu-pintu menuju tempat yang lebih lapang di hatimu. Seperti daun yang gugur, pohon slalu berusaha menerima takdir. Hingga humus dari apa yang mati; daun, kembali menjadikan pohon itu rimbun.


     Dan seperti itu pula kehidupan (*emot senyum) mungkin suatu saat akan happy ending (*tutup buku)

#Ar_rha
(@TintaMini)

Monday 30 January 2017

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk

Master Ip dan Negeri Tak Berbentuk



     Tak ada seorang pun yang menyangka, seorang Master Ip yang terkenal rendah hati bisa berubah arogan serta sombong. Entah kerasukan leluhur jenis apa, hingga Master silat lidah itu kini bertingkah menyebalkan.
.
  "Hei, Kau! Kau boleh makan yang enak-enak di rumahku. Kau juga boleh meminjam uang kepadaku, dengan catatan. Kau harus bersihkan rumahku seperti pembantu, paham!!" Dengan penuh penekanan dia berbicara.
.
     "Ba ... baik, Tuan." Sahabat dekatnya dengan gugup menjawab. Perasaannya begitu takut terkena amarahnya.
.
     "Kalo sudah mengerti, bersihkan rumahku, Sahabat. SEKARANG!"
.
     Tanpa menjawab, lelaki itu lari tunggang langgang melaksanakan perintah.

~~~

     Perguruan serangan typo milik Master Ip, terkenal ke seluruh penjuru negeri. Dia berhasil mendidik para muridnya menjadi para pendekar silat lidah yang tangguh. Pelenturan kata dan kesalahan tanda baca yang membingungkan, membuat dia tak dapat dikalahkan oleh pendekar biasa. Selain itu, perguruan ini memiliki gulungan jurus selimut tetangga yang melegenda dan hanya Master Ip yang mampu menerjemahkan isinya.
 
~~~

     "Kau baru di sini? (Baca newbie.) Bukan begitu meletakan jurus tanda baca. Lihat ini!" ucapnya sambil sambil memperagakan kuda-kuda, "yang seperti tadi bisa dipakai, bisa juga tidak."
.
     "Maaf, Suhu. Boleh jelaskan sekali lagi? Saya masih bingung."
.
     "Ah, saya malas dengan orang yang tak tau tanda baca. Pulang sana! Minta orang tuamu (baca: guru) mengajari."
.
     "Anda sungguh pesilat sombong!"
.
     "Apa? Sombong itu milik Tuhan, saya hanya malas berbicara dengan orang yang tak mengerti peletakan tanda baca."
.
    Tiba-tiba seorang pesuruh istana dengan tergesa-gesa memanggil Master Ip.
.
    "Suhu ... Suhu ...," teriaknya sambil berlari, "ada yang menyerang istana, Putri mesir akan diculik!"
.
    Wuss ... secepat angin Master Ip bergerak menuju istana. Meninggalkan pesuruh tadi dan para muridnya.

~~

     "Ciatt!!" Pukulan Ip diarahkan ke musuhnya yang sedang menyandera Putri, meleset. Serangan kedua pun hanya menggapai udara. Manuver-manuver jurus tanda baca tak bisa menyentuh kakek tua itu. Bahkan silat lidah dengan jurus pelenturan pun dapat ditangkis. Gerakan lawannya sungguh tak asing baginya. "Apa mungkin? Rasanya mustahil."
.
    Tingkat kelenturan ke 5 pun bahkan dapat dikembalikan dengan sempurna. Benar-benar tak terduga. Ada yang berhasil mempertahankan diri dari kebingungan, efek jurus itu.
.
    "Aku tau semua jurusmu, Ip. Menyerahlah! Ha ... ha ... ha ...." suara itu sangat tak sedap masuk ke telinga Master Ip.
.
    "Kau hanya membual, Pak tua! Kembalikan Putri mesir kepadaku."
.
     Bukannya menjawab atau menyerah, kakek tua itu malah melakukan kuda-kuda aneh. Ip sangat terpukul melihatnya, si kakek bertubuh bungkuk mampu mengusai jurus buly yang ditakutinya.
.
   "Jika kau mampu. Kejarlah aku. Ha ... ha ... ha ..." Tubuh bungkuk itu pergi lewat jendela dengan membawa Putri Raja.
.
    "Tidak! Jangan pergi!"
.
    Mereka yang pergi kadang tak pernah mau mendengar apa yang orang cintainya utarakan. Dua sosok tubuh itu telah pergi tanpa menghiraukan teriakan Master Ip.
.
(Bersambung ...)

Aku Bukan Aku

Aku Bukan Aku


      Ketika malam datang menyapa, hanya wajahmu yang bersinar, terangi kegelisahan, hening; bersama tatap nanar lampu kamar, kesakitan mendekapku. Memaksa nurani mengingat cinta yang usai; usang dilahap derita.

      Kesedihan menetap, hati yang malang meratap, asa yang tiarap. Kala kau lukis, cerita tragis, antara kisah kita yang manis, tentang kerinduan yang terhunus dalam panji-panji imaji, tajamnya memotong kawanan rasa.
Hanya ketiadaan yang menemani, bersama dengkuran bintang dan obrolan bulan. Dik, tiada bosan 'kah wajahmu mengitariku?

      Ada pula waktu dimana lampu dimatikan, bayanganku berlarian entah kemana. Apa hanya perasaan? Tapi semuanya memang tak terlihat;gelap.

      Di antara semua kepurapuraan, aku termenung. Menunggu jawaban Tuhan atas do'a yang kukirim. Apa itu terbaik untukku? (dan dia)

     Ada saatnya aku malas menjadi diri sendiri, dan mengambil topeng opera yang disimpan di lemari kaca, lalu berpura-pura bahagia. Dan tertawa di balik hal yang sebenarnya.

@Ardian_handoko

Saturday 28 January 2017

Mimpiku, (Bukan Lagi) Mimpi kita


Mimpiku, (Bukan Lagi) Mimpi kita

      Pernah kita melukis senja di antara bait-bait terindah dalam kebersamaan, hingga terjerat hati ini dalam sebuah mimpi manis. Mimpi yang menghadirkan dua penulis berbeda genre, membuat sebuah buku di depan penghulu.

~

     Saat malam tiba, penaku tak pernah berhenti menulis tentangmu. Tentang senyummu, tentang anggunmu, tentang harapan yang tak henti-hentinya kujaga agar tetap menyala dalam dada dan kau tau? Hingga detik ini api itu terus membara.

~

    Hingga pada suatu ketika, saat rintik-rintik hujan menyanyikan sebuah lagu tentang nestapa. Dirimu menceritakan sebuah perpisahan, hingga dua hati yang saling mencinta harus rela menanggung sepi, berteman sunyi. Di depanku, wajahmu yang jelita itu harus melelehkan sebuah rasa; air mata, yang tak sanggup menerima takdir. Sesungguhnya, jika bisa memilih. Ragaku tak rela berjarak dengan tubuhmu. Sungguh, tak rela.

B.B. 11/01/2017
#Ar_rha

Tuesday 10 January 2017

Dalam Temaram

Dalam Temaram


     Di tepian malam yang makin larut, aku masih tak ingin terpejam. Udara mungkin bisa membuat tubuhku mengigil, namun kebimbangan hingga kini belum membeku.

      Lampu-lampu kendaraan, menyorot kegelisahan jiwa yang masih penuh angan, namun entah kapan berhenti bertepuk sebelah tangan. Dunia gelap masih saja membiarkan nafas resah meradang, mengusir rasa yang tak di undang.

      Si pembuat onar: ke-egoisan, kembali mengacak-acak tatanan kasih yang lama kucoba rapihkan. Gemerlap suara mimpi terus mengiang bahkan ketika aku terjaga.

      Biarlah yang remang tetap menjadi misteri, hingga malam bisa berjabat dengan ngeri. Biarlah yang samar membuat hayalan, di balik damar yang menari mengikuti terpaan angin.

Selamat malam mimpi-mimpi, semoga Tuhan menghujanimu meski tak kusirami.
Selamat malam rindu, karna kebiasaan berharap lebih, lalu lebih berharap kau tersiksa.
Selamat pagi, bagi sebatang rokok, segelas air panas, dan buaian yang belum terjawab, semoga pikiran masih bisa menuntun kalian.

#Ar_rha

Thursday 5 January 2017

Cerpen; Aku, Dua Gadis, Dan Bangku Taman

Aku, Dua Gadis, Dan Bangku Taman

   "Kita udah ga saling percaya lagi, Ar. Mungkin ini akhir bab antara aku, dan kamu."

    "Tapi kenapa? Apa salahku, Din?"

   "Tak ada. Hanya keputusan ini telah bulat kuambil." Wanita itu berdiri, sambil berusaha menahan tangis. Hasil emosi dari perbincangan kami tadi.

   Berlalu, dia meninggalkan aku dengan ribuan pertanyaan. Di sini, di taman alun-alun kota.
Langit pun kini menangis, rintik-rintiknya seolah ingin menghanyutkan kisah ini. Kisah yang ingin kujadikan kepingan masa depan yang indah. Tapi nyatanya, semua lebur, benar-benar tak berarti.
   Biarkan bulir itu menghujaniku. Semoga orang-orang sekitar tak melihat kepayahanku. Seorang lelaki yang menyedihkan, menangis. Di sini, di alun-alun kota, tempat pertama kali kita bertemu.
   Tak ada gunanya aku menyesali semua. Kumelangkah hendak pulang. Setidaknya, mungkin aku bisa menumpahkan kesakitanku ini pada tulisan, atau gambar, atau mungkin menceritakannya pada tokoh fiksi karanganku.

***

   "Kak Arffa, kenapa sekarang jadi pemurung?" Tanya Devi, gadis yang kumentori dalam hal menulis.

   "Enggak, Dev. Ga kenapa-kenapa kok."

   "Serius? Sekarang kok sering ngelamun sendiri gitu. Padahal, dulu kalo lagi humoris ga bisa berhenti ngoceh."

   "Engga kok, santai saja." Kupasang senyum palsu, sekadar menenangkan gadis yang sudah kuanggap adik sendiri.

   "Ehem ... selamat ya, Ar."

   Refleks, kutengok ke belakang. Degg! "Dini?"

   "Aku ga mau jadi pengganggu di antara kalian. Aku langsung pulang ya ... sekali lagi selamat ya, Ar."

   "Kak, tunggu!" Devi berteriak sembari mengejar Dini yang berjalan cepat. Tidak, dia bahkan sedikit berlari. Sedangkan aku hanya bisa mematung. Benar-benar payah. Dasar lemah!

***

   Kini aku berada di antara dua gadis. Kutatap sekilas wajah Dini. Merah padam menahan tangis yang mungkin sebentar lagi meledak.

   "Maaf, Kak. Maksud kakak apa ya, dateng-dateng langsung bilang gitu sama Kak Arffa." Sangat hati-hati dia mengucapkan kata perkata, seolah jika sedikit saja salah. Bom atom akan menghancurkan bumi ini.

    "Aku mantannya Arffa. Baru beberapa minggu putus karena aku tau, kalian juga jadian, kan? Aku ga mau jadi duri dalam daging." Nafasnya memburu. Amarah yang menumpuk tak boleh sampai meledak. Ini salah satu keistimewaan Dini di mataku.

   Devi menatapku, lalu Dini secara bergantian.
   "Kak Arffa itu baik banget sama Devi. Tapi sayang, minggu-minggu ini dia keliatan sedih. Oh ya, Kak Arffa 'kan penulis, dan Devi sangat suka sama karakter tulisannya. Sejujurnya, Devi juga suka sama Kak Arffa, lebih tepatnya kagum. Beliau juga ngajarin Devi caranya bikin puisi, sampe akhirnya Devi bisa cetak buku kumpulan puisi. Hari ini kami bertemu, Devi mau ngasih sedikit hasil keuntungannya." --gadis itu lalu memegang tanganku, dan meletakannya di atas jemari Dini-- "semoga kalian berjodoh, Kak. Lagian Kakak juga pembuat gambar ilustrasi, kan? Kalian bener-bener pasangan yang serasi."

   Gadis itu berdiri, meninggalkan aku dan Dini. Di sini, di bangku alun-alun kota.

Bandung Barat, 2016