Friday 18 August 2017

Cerpen; Kita Memang Berbeda

 Kita Memang Berbeda



   Menghitung ribuan partikel di udara, berisi atom-atom kerinduan itu rasanya sungguh gila. Berusaha membekukannya dengan diam, atau mencairkannya dengan pelukan. Namun untuk saat ini, rasanya tak mungkin. Jarak yang harus ditempuh dengan belasan menit kecepatan cahaya itu terbentang memisahkan raga kita. Kak, barang kali benar adanya. Kita berbeda, meski sama-sama bertahan untuk menjadi satu selamanya.

***

   "Kenapa memilih merantau, Kak? Di sini semua kebutuhan kita telah tersedia. Meski sederhana aku rela, Kak."

   "Aku tak ingin melihatmu kerja keras demi kita. Lagi pula, aku ingin mempunyai kehidupan yang lebih cerah dari ini di masa depan. Hingga anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apa pun untuk menjadi anak yang sukses dunia akhirat."

   "Apa kau tak meŕasa sedih meninggalkanku?"

   "Sebutkan padaku, Dik. Selain Tuhan, para nabi, orang tua kita, dan saudara-saudara kita. Siapa lagi orang-orang yang paling aku cintai, Dik?"

   Gadis di depanku diam. Kediaman yang dingin. Perlahan, kini matanya bercucuran air mata. Aku mendekat, lalu membelai rambutnya.

   "Tak akan ada yang bisa mengubah rasa ini. Percayalah, di sana aku akan setia."

   "Berjanjilah, Kak! "

   Aku tersenyum, senyum paling tulus yang aku bisa berikan. "Aku berjanji."
.
   Akhirnya, kita pun berpelukan di bawah sinar rembulan yang terang malam itu.

***

   Kuhirup napas panjang. Kenangan itu terus-menerus berkejaran di otakku. Hingga kesedihan itu kini menerpa jiwa, seolah-olah menghisap semua kebahagiaan.

   Ternyata benar adanya, bahwa kota-kota besar lebih buas dibandingkan hutan belantara. Manusia-manusia bersikap manis, yang taringnya disembunyikan, para penjahat yang terlihat seperti malaikat, atau gadis lugu dan manja yang jadi liar di antara keremangan. Semua itu tak akan merubah pendirianku. Aku harus bertahan, tak akan tergoda dengan segala macam tipu daya seperti itu. Karena kebahagian kita, menunggu sentuhan tangan dalam bentuk pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran.

   Aku tak pernah rela melihatmu banting tulang membantu, meski kau selalu bilang, 'aku rela, asalkan setiap hari dapat menatap wajahmu'. Mungkin benar adanya, Dik. Kita berbeda, walau terus berusaha berjuang untuk berada di jalur dan menuju ke arah yang sama denganku.

***

   Hati kita akan selalu terpaut, tak peduli berada pada sebuah kemelut, karena bagi kita, cinta itu terus berjuang dan bertahan. Memegang erat semua janji, bahkan saat tangan-tangan kita patah karenanya.

   Angin bertiup menghembuskan kedinginan pada semua mahluk. Kini subuh mulai berjalan pada pagi. Matahari hangat yang telah terbangun dari tidurnya mulai memecah kegelapan, dan kita mulai bersiap menyambut pagi. Aku di kota, kau di desa. Kita memang berbeda, tapi cinta membuat satu ikatan yang tak akan terurai hingga maut mendatangi kita.
.
Bandung Barat, 17-07-2017
  Ardian Handoko (#Ar_rha)




Foto Rahmat Hidayat. 

Ardian Handoko adalah tokoh fiksi, dari seorang laki-laki kelahiran Bandung barat, tahun 1996. Lelaki yang mempunyai hobi bernafas, menulis, mendaki dan tidur itu kini sedang aktif-aktifnya menulis di blog (Ardi-niffa.blogspot.com) twitter https://twitter.com/ dan facebook https://www.facebook.com/profile.php?id=100003162016228

Salam literasi, imajinasi dan lestari. Salam kenal.

No comments:

Post a Comment