Kita Memang Berbeda
Menghitung ribuan partikel di udara, berisi atom-atom kerinduan itu
rasanya sungguh gila. Berusaha membekukannya dengan diam, atau
mencairkannya dengan pelukan. Namun untuk saat ini, rasanya tak mungkin.
Jarak yang harus ditempuh dengan belasan menit kecepatan cahaya itu
terbentang memisahkan raga kita. Kak, barang kali benar adanya. Kita
berbeda, meski sama-sama bertahan untuk menjadi satu selamanya.
***
"Kenapa memilih merantau, Kak? Di sini semua kebutuhan kita telah tersedia. Meski sederhana aku rela, Kak."
"Aku tak ingin melihatmu kerja keras demi kita. Lagi pula, aku ingin
mempunyai kehidupan yang lebih cerah dari ini di masa depan. Hingga
anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apa pun untuk menjadi anak yang
sukses dunia akhirat."
"Apa kau tak meŕasa sedih meninggalkanku?"
"Sebutkan padaku, Dik. Selain Tuhan, para nabi, orang tua kita, dan
saudara-saudara kita. Siapa lagi orang-orang yang paling aku cintai,
Dik?"
Gadis di depanku diam. Kediaman yang dingin. Perlahan, kini matanya bercucuran air mata. Aku mendekat, lalu membelai rambutnya.
"Tak akan ada yang bisa mengubah rasa ini. Percayalah, di sana aku akan setia."
"Berjanjilah, Kak! "
Aku tersenyum, senyum paling tulus yang aku bisa berikan. "Aku berjanji."
.
Akhirnya, kita pun berpelukan di bawah sinar rembulan yang terang malam itu.
***
Kuhirup napas panjang. Kenangan itu terus-menerus berkejaran di otakku.
Hingga kesedihan itu kini menerpa jiwa, seolah-olah menghisap semua
kebahagiaan.
Ternyata benar adanya, bahwa kota-kota besar
lebih buas dibandingkan hutan belantara. Manusia-manusia bersikap manis,
yang taringnya disembunyikan, para penjahat yang terlihat seperti
malaikat, atau gadis lugu dan manja yang jadi liar di antara keremangan.
Semua itu tak akan merubah pendirianku. Aku harus bertahan, tak akan
tergoda dengan segala macam tipu daya seperti itu. Karena kebahagian
kita, menunggu sentuhan tangan dalam bentuk pengorbanan waktu, tenaga
dan pikiran.
Aku tak pernah rela melihatmu banting tulang
membantu, meski kau selalu bilang, 'aku rela, asalkan setiap hari dapat
menatap wajahmu'. Mungkin benar adanya, Dik. Kita berbeda, walau terus
berusaha berjuang untuk berada di jalur dan menuju ke arah yang sama
denganku.
***
Hati kita akan selalu terpaut, tak peduli berada
pada sebuah kemelut, karena bagi kita, cinta itu terus berjuang dan
bertahan. Memegang erat semua janji, bahkan saat tangan-tangan kita
patah karenanya.
Angin bertiup menghembuskan kedinginan pada
semua mahluk. Kini subuh mulai berjalan pada pagi. Matahari hangat yang
telah terbangun dari tidurnya mulai memecah kegelapan, dan kita mulai
bersiap menyambut pagi. Aku di kota, kau di desa. Kita memang berbeda,
tapi cinta membuat satu ikatan yang tak akan terurai hingga maut
mendatangi kita.
.
Bandung Barat, 17-07-2017
Ardian Handoko (#Ar_rha)
Ardian
Handoko adalah tokoh fiksi, dari seorang laki-laki kelahiran Bandung
barat, tahun 1996. Lelaki yang mempunyai hobi bernafas, menulis,
mendaki dan tidur itu kini sedang aktif-aktifnya menulis di blog (Ardi-niffa.blogspot.com) twitter https://twitter.com/ dan facebook https://www.facebook.com/profile.php?id=100003162016228
Salam literasi, imajinasi dan lestari. Salam kenal.
No comments:
Post a Comment