Saturday 12 August 2017

Flashfiction; Yang Fana Adalah Waktu (Juga kita), Hujan Kenangan, Aku dan Persimpangan, Lintah Darat, (dan) Mungkin, lelaki Itu Lebih Buruk Dari Sampah

 Yang Fana Adalah Waktu (Juga kita)


Yang Fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
"Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu
Kita abadi

 Sapardi Djoko Damono

   "Sahabat, jangan pernah lupakan perjalanan ini," ucapku sambil merangkul Agara, Doni dan Dian.
     Dan aku mengingat lagi itu. Langit cerah menyambut kita, empat pemuda yang tengah asik berhaha hihi tentang dunia. Menyuling waktu-waktu bersama menjadi kenangan, lalu memasukannya pada sebotol kecil dan menyimpannya dalam memori.

    Agara, meski dalam perjalanan menuju puncak ciremai itu kita banyak berdebat, tentang melanjutkan perjalanan atau istirahat. Aku tetap menganggapmu sebagai pemimpin kelompok ini, bukan bermaksud membantah perintah, hanya saja, Doni dan Dian sudah terlihat sangat payah. Bahkan untuk sekadar berdiri pun, goyah.

    Pada perjalanan itu, kita berempat terpesona dengan cantiknya edelweis, yang menari-nari, ke sana, ke mari, seperti anak-anak. Kita tertawa bersama di sana, sesekali hembusan angin menerpa wajah kita. Pengalaman sempurna yang dipahat waktu untuk kita bukan? Aku bahkan selalu tersenyum mengingat semuanya.

    Meskipun, hari ini aku berada di puncak sendirian, karena kalian telah pergi meninggalkanku terlebih dahulu. Agara kecelakaan motor, Dian over dosis dan Doni hipotermia di puncak rinjani, lalu kubacakan puisi SDD untuk mengenang kalian, namun edelweis yang mendengarkan malah tertawa, "Bukankah yang fana adalah waktu?" ejeknya, lalu aku termenung, mengenang lagi kita di kepalaku.

    "Apa aku harus mati agar menjadi abadi?"

    Edelweis hanya mengangguk, kudekati jurang dan bunga cantik itu tertawa. Tawa yang menggema, mungkin saja sampai surga, memanggil kalian untuk menjemputku.


Bandung Barat, 2017

Hujan Kenangan

   Tak pernah kupikirkan, bahwa hujan sore ini akan membawa lagi namamu. Aku kuyup oleh air mata yang jatuh dari pelupuk-pelupuk awan. Tirai-tirai yang selama ini menutupi kenangan pun terbuka, tak bisa kututupi lagi dengan berbagai macam kesibukan, begitu jelas di depan netraku.

   Aliran tangisku melewati jalan, masuk ke gorong-gorong, sebagian lainnya menggenang, mengisi hati yang sebagian telah kosong . Sial sekali rasanya. Aku melihat wajahmu di sana, terpantul dari cermin genangan. Wajahmu sama seperti dulu, manis, dengan rambut terurai sedikit basah.

   "Aku ingin melupakan semua tentangmu, Nona. Meski tak bisa melepasmu seutuhnya, mengurai tali-tali yang begitu kuat menjerat leher. Menyesakan. Nona, maafkan aku yang telah memakai tubuhmu ini. Seandainya, dapat kuputar lagi waktu. Aku ingin kembali ke tubuh asliku, mati san dimakan cacing-cacing tanah dengan rasa bahagia."

   Dan genangan itu memantulkan wajah seorang gadis yang tengah menangis, mungkin kau, mungkin juga aku yang telah memakai jasadmu. 

Bandung Barat, 2017


Aku dan Persimpangan


   Apa kita memang sudah tak mungkin, menjadi satu seperti saat sebelum kemarau ini berlangsung? Kini, kita hanya bisa saling memandang dari dua ujung yang terpisahkan sekotak ladang yang tanah tengahnya retak.Meski pun, aku tau apa yang telah menyebabkan kita saling berpisah. Tapi tetap saja, hati ini tak dapat menerima semuanya.

   Aku masih sering menengok persimpangan, yang menjadi ujung tempat perjumpaan kita.

   'Apa kita harus berpisah di sini?' teriakku dalam hati, kuhirup nafas dalam-dalam, untuk meredam dadaku yang mulai bergemuruh.

   'Jika ini takdir Tuhan, kita hanya bisa saling mendoakan. Semoga kau bahagia, di sana.' kukecup keningmu, lalu membiarkanmu pergi, ke tempat peristirahatan terakhirmu, di bawah tanda jalan, di persimpangan.
.
Bandung Barat, 2017 

Lintah Darat

    "Ayo bayar, Par. Kau sudah satu bulan tidak membayar!"  bentak Darman.

   "Maaf juragan, tapi saya sedang tak memiliki uang, bahkan sepeserpun,"

   Darman mentap wajah hingga ke kaki wanita bernama Parmi itu, menghampirinya, lalu menyerang bibirnya dengan sebuah ciuman yang begitu mendadak. Wanita berkulit hitam manis itu gelagapan,  berusaha berontak namun kekuatan wanita itu tak sebanding dengan sang lintah darat. Tubuhnya lalu melemas, terkapar.

   Selesai menciumnya,Damar menyeka darah di bibirnya. Memerintah kedua bodyguardnya untuk membereskan semuanya. "Untuk stok makanan aku dan keluarga selam beberapa hari."

   Mereka bertiga lalu pergi, meninggalkan jasad Parmi  yang kering, karena darahnya habis disedot.
Bandung Barat, 2017  

Mungkin, lelaki Itu Lebih Buruk Dari Sampah 

   "Copet! Copet!" teriak seorang wanita dari jauh, saat melihat Xabil memasukan dompet itu ke dalam sakunya. Lelaki itu gelagapan dan langsung berlari. diterjangnya apa pun yang menghalangi. Seorang nenek terjatuh dan tiga orang anak kecil menangis setelah bertabrakan dengannya. Dia tak bergeming, lelaki itu tak mau menjadi bulan-bulanan masa.

   Dia menengok sebentar, sepuluh orang bahkan lebih tengah mengejarnya. Teriakan amarah dan beberapa botol yang dilempar gagal mengenainya.

   "Sial! Salah jalan," kutuknya saat mendapati ujung gang yang di kanan dan kirinya dihiasi tong sampah.

   Dalam kekalutan, salah satu tong sampah membentaknya, meski suaranya sedikit berbisik, "Siapa kau? Jika orang busuk masuklah! Tinggalah di dalamku."

   "Aku? Aku ...."

   Derap langkah kaki itu semakin mendekat, dengan perasaan was-was, perlahan mulut tong sampah itu terbuka.

   Uhuk-uhuk!!

   Xabil terlempar keluar dari dalamnya, "Kau lebih busuk dari sampah." Di depannya, para warga sudah bersiap dengan segala kemarahannya.   
Bandung Barat, 2017 

No comments:

Post a Comment