Thursday 19 October 2017

Cerpen; Di sebuah desa, sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan

Foto
Pict by google+

 

Di sebuah desa, sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan

 



    Janganlah kecut seperti itu saat rindu mendekat, Kekasih. Ingatlah malam-malam kita yang seperti debur ombak, menghempas beberapa kali tubuh kita. Menjadikannya teguh dan menjulangkan  rasa. 

   Janganlah bermuram seperti kelabunya awan mendung. Aku pasti pulang ke kotamu, memelukmu erat sebelum kita terlelap. Tapi  Kekasih, janganlah kau memintaku hari ini. Tumpukan kertas itu masih meminta waktu untuk dibelai. Kumohon padamu, untuk tidak cemburu.

   Sebagai permintaan maaf. Ingin aku menceritakan senja yang cantik, pelangi yang cantik, atau hamparan pemandangan di kaki pegunungan. Namun rasanya semua tak akan bisa melebihi cantikmu. Ah ... janganlah kau katakan ini gombal, Kekasih. Karena mata indahmu yang bersinar, telah menyinari hari yang telah dan akan aku lewati. Dan akan tetap seperti itu, Kekasih.

   Baiklah-baiklah. Dari pada kau terus cemberut seperti itu, akan kuceritakan saja sebuah desa, di mana sajak-sajak turun begitu saja bersama hujan. Ya begitulah, Kekasih. Rintik hujan di desa ini selalu membawa sajak-sajak cinta. Menggenang di dada sebagian manusia yang gagal pergi dari kenangan. Airnya mengalir menuju parit, menuju sungai. Di sana terdapat batu-batu besar yang seperti polisi mengatur lalu lintas laju air. Di sungai itulah biasanya para penyair menjaring sajak-sajak dari alurnya yang deras, setiap pagi dan sore.

   Aku pernah pergi ke sana, hanya untuk membuktikan cerita teman kantor. Bersama beberapa penyair muda yang masih malu-malu mengeluarkan karya. Mereka mendapatkan banyak sekali sajak, tentang cinta, tentang kenangan, tentang kesetiaan. Namun tak ada satu pun yang mendapatkan sajak tentang kerinduan. Dan kau tahu apa yang aku dapatkan? Yang kudapatkan dari sungai itu hanyalah namamu. Benar-benar hanya namamu.

   Mereka semua tertawa,. Menertawakan nasibku yang katanya di bawah rata-rata. Kami dapat banyak, sedangkan kamu hanya dapat nama seorang perempuan. Kau akan buat apa, Saudaraku? tanya seorang yang dituakan di antara mereka. Yang lainnya pun tertawa semuanya  mendengarkan ledekan itu. Kubentak saja mereka, lalu kukatakan, namamu bisa tumbuh menjadi apa saja. Kuselipkan namamu dalam selembar kertas, lalu pulang dari sana dengan perasaan jengkel.

    Saat sampai rumah kontrakan, kubuka kembali kertas itu. Dan menemukan, namamu telah berganti. Duh, Kekasih. Janganlah kau cepat cemburu seperti itu. Akan kubacakan saja cepat-cepat untukmu, agar tak ada salah sangka lagi di hatimu. 

"Langit hanyalah selembar ruang hampa, sedang namamu tempatku semayamkan semua rasa. Ingin kuucapkan di telingamu sebuah janji. Aku akan terus memelukmu, hingga tanah memelukku. Kau adalah sosok yang selalu kudoakan. Menemani hari yang lahir, hingga senja menuntupnya

Aku ingin memeluk semua udara yang keluar dari napasmu. Memasukannya dalam botol, dan tak akan kubagi pada siapa pun. Termasuk seseorang yang menatapmu dari atas. Tidak! Tidak juga pada tumbuhan yang memelas itu. Namun, Kekasih. Aku tak bisa melakukan hal itu. Jadi, bolehkan kupinta setiamu saja  untuk menunggu? Bersabar di ruang rindu, menanti temu. Kau setuju, kan?"

   Kau terkejut? Apa lagi aku, Kekasih. Selepas membaca tulisan itu aku tertidur. Lelap dalam mimpi, menembus alam bawah sadar tanpa sadar.

****

   Kekasih. Saat aku terbangun. Namamu tertulis di setiap sudut kamarku. Menjadi sajak yang kubaca setiap waktu. Tuhan adalah Maha dari segala Maha. Kepada-NYA kupinta namamu untuk terus menggenggam erat tanganku. Jangan pernah kau berpikir aku berpaling, tersebab jarak bukan halangan bagi rasaku bermuara di hatimu.

   Namamu akan jadi muara, tempat terakhir yang kutempati sebelum ajal menjemputku. Senyummu adalah tempat pulang. Tempat aku menitipkan segala kebahagiaan, juga keceriaan yang bermekaran dari setiap embus napasmu.

   Di tempatku saat ini, malam telah larut. Jadi, begitulah, Kekasih. Aku tau rindu telah tumbuh sesak di hatimu.  Tapi begitulah, kau tahu alasan apa yang akan kukatakan. Jadi jangan cemberut lagi, iia?

Bandung Barat, 21;07 14 oktober 2017
@ArdianHandoko


Sumber foto; https:///plus.google.com/u/0/photos/photo/107039535848656282712/6477895087445759330?icm=false&iso=true&sqid=110204653047505865313&ssid=0931680f-c61b-46ef-8d8f-9781b5a27b43

6 comments: