Thursday 16 November 2017

Cerpen: Kopi hitam

 

Kopi Hitam


    Aku menyeduh malam yang getir, mengaduknya hingga semakin larut, sebelum kuhidangkan di atas meja kopi hitam pahit, tanpa gula. Hanya beberapa potongan kenangan manis yang aku masukan, itu pun mulai pudar, tapi tak terlupakan.


    Jangan tanya soal cita-cita dan tujuan hidup padaku, aku hanya pedagang kopi di warung remang-remang yang sering kali dianggap tempat berkumpulnya manusia-manusia malam yang keji. Jika diibaratkan, hidupku ini hanya sampan tanpa dayung, terombang ambing di kehidupan luas dan menunggu waktu untuk menepi. Meski dalam nyata dan doa, aku terus menggumamkan semoga saja terus berada di dalam jalan-Nya.


    "Kau harus berjuang untuk hidupmu sendiri, Gus. Jangan hanya kerja dagang di warung kecil seperti ini."


    "Aku hanya hamba Tuhan, biarlah hidup apa adanya, gak perlu banyak minta, Yan."


   Aku memang pesimis, karena sadar diri bahwa tamatan SD sepertiku tak bisa berbuat banyak selain berusaha lalu menerima takdir. Aku hanya bisa memasukan kopi hitam, gula dan air panas ke dalam gelas. Memberikannya pada para pekerja keras yang berkunjung ke warungku. Tak pernah kumasukan racun tikus ke dalamnya, meski menu itu kumasukan dalam list menu yang  tertempel di dinding berdebu, dekat jam kusam.


    "Kau memang manusia aneh, Gus. Memberi jalan bagi orang-orang frustasi untuk mati bodoh!"


    "Itu hanya menu, aku tak akan membuatnya jika tak ada yang memesan."


    Yah, itu memang bukan sekadar gurauan. Aku memang menyiapkannya untuk orang-orang patah hati, terlilit utang ataupun masyarakat miskin yang menyerah atas takdirnya. Karena aku sadar, sisi manusia tak akan bahagia selamanya. Ada waktu-waktu di mana tangis akan merasuki raga.


    Setidaknya, biarkan orang-orang yang menyerah itu menikmati kopi sebagai minuman terakhirnya, membayar dengan uang pas, lalu berjalan perlahan menuju kuburan yang telah digalinya sendiri. Bukankah cerita paling romantis sejagat yang diperankan Romeo dan Juliet berakhir dengan hal-hal indah samacam itu? Mereka menganut ajaran Malin Kundang, berusaha melupakan kepahitan meski dengan cara memotong nuraninya sendiri.


    Kuhisap lagi asap tembakau yang sudah pasti merusak tubuh, tapi siapa peduli?  Menteri Kesehatan, bahkan Presiden pun tak sanggup menutup pabriknya. Anggap saja, aku ikut menyumbang makanan untuk para buruh yang bekerja di sana, agar berputarnya roda perusahaan. Tak ada  yang salah, kan? Karena yang kutahu, setiap perbuatan juga pasti dihitung berdasarkan niat.


    "Kau harus memilih partaiku, Gus. Karena janji-janji kami pasti ditepati. Lihat rumah Pak Selekep di seberang jalan itu kemarin membagi-bagikan beras untuk warga kurang mampu di sini? Itu adalah bukti nyata!"


    Aku hanya bisa tersenyum dibuatnya, "Mau saya bikinkan kopi, Pak? Tapi di sini sedang kehabisan gula, stok di pasar kemarin habis. Mungkin saja untuk membumbui janji-janji Bapak yang legit."


    Para sopir truk, pedagang asongan, pengemis juga preman-preman tertawa. Nyaring sekali seperti suara sirene ambulan yang membelah lalu lintas. Politikus itu kini bermuka pucat pasi, "Saya hanya bercanda, Pak. Maafkan ketidak sopanan saya," kusodorkan kopi dan gorangan hangat, "silahkan diminum, Pak."


    "Bercanda boleh, tapi jangan sekejam itu, Gus. Tapi terima kasih untuk kopinya," Beliau menyeruput kopi tanpa sempat meniupnya. "Rasanya sedikit berbeda, kopi jenis apa ini, Gus?"


    "Kopi dengan campuran racun tikus, Pak. Menu paling spesial di warung saya, terima kasih, loh sudah berkenan mencoba. Jika sudah mulai terasa efeknya, di belakang rumah, sudah saya siapkan kuburan yang telah digali. Silahkan masuk saja, tak usah malu-malu."


    Aku memang bisa menerima takdir dari Tuhan, apa pun adanya. Tapi aku muak dengan manusia-manusia sejenis mereka. Jadi biarkanlah aku mencabuti duri-duri dari daging dalam tubuh negara ini. Agar orang-orang yang tersisih tak melakukan gantung diri, tertidur di atas rel kereta atau meminum racun tikus akibat ulah mereka.



Bandung Barat, Agustus, 2017

8 comments:

  1. Like...

    Tapi, aku mau tanya nih kak
    Dalam cerita, aku malah memilih kata buat daripada bikin...
    Kurang sreg aja, kak...

    Mungkin, aku yang salah...
    Abaikan... hehe

    ReplyDelete
  2. Like...

    Tapi, aku mau tanya nih kak
    Dalam cerita, aku malah memilih kata buat daripada bikin...
    Kurang sreg aja, kak...

    Mungkin, aku yang salah...
    Abaikan... hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. emang iya sih, kayanya emang lebigh pas kalo pake diksi itu heuheu
      thanks :)

      Delete
  3. It's okay...
    Tiap orang punya caranya sendiri untuk bercerita...👍😊

    Saya senang bisa mampir... ☺

    ReplyDelete