Thursday 5 January 2017

Cerpen; Aku, Dua Gadis, Dan Bangku Taman

Aku, Dua Gadis, Dan Bangku Taman

   "Kita udah ga saling percaya lagi, Ar. Mungkin ini akhir bab antara aku, dan kamu."

    "Tapi kenapa? Apa salahku, Din?"

   "Tak ada. Hanya keputusan ini telah bulat kuambil." Wanita itu berdiri, sambil berusaha menahan tangis. Hasil emosi dari perbincangan kami tadi.

   Berlalu, dia meninggalkan aku dengan ribuan pertanyaan. Di sini, di taman alun-alun kota.
Langit pun kini menangis, rintik-rintiknya seolah ingin menghanyutkan kisah ini. Kisah yang ingin kujadikan kepingan masa depan yang indah. Tapi nyatanya, semua lebur, benar-benar tak berarti.
   Biarkan bulir itu menghujaniku. Semoga orang-orang sekitar tak melihat kepayahanku. Seorang lelaki yang menyedihkan, menangis. Di sini, di alun-alun kota, tempat pertama kali kita bertemu.
   Tak ada gunanya aku menyesali semua. Kumelangkah hendak pulang. Setidaknya, mungkin aku bisa menumpahkan kesakitanku ini pada tulisan, atau gambar, atau mungkin menceritakannya pada tokoh fiksi karanganku.

***

   "Kak Arffa, kenapa sekarang jadi pemurung?" Tanya Devi, gadis yang kumentori dalam hal menulis.

   "Enggak, Dev. Ga kenapa-kenapa kok."

   "Serius? Sekarang kok sering ngelamun sendiri gitu. Padahal, dulu kalo lagi humoris ga bisa berhenti ngoceh."

   "Engga kok, santai saja." Kupasang senyum palsu, sekadar menenangkan gadis yang sudah kuanggap adik sendiri.

   "Ehem ... selamat ya, Ar."

   Refleks, kutengok ke belakang. Degg! "Dini?"

   "Aku ga mau jadi pengganggu di antara kalian. Aku langsung pulang ya ... sekali lagi selamat ya, Ar."

   "Kak, tunggu!" Devi berteriak sembari mengejar Dini yang berjalan cepat. Tidak, dia bahkan sedikit berlari. Sedangkan aku hanya bisa mematung. Benar-benar payah. Dasar lemah!

***

   Kini aku berada di antara dua gadis. Kutatap sekilas wajah Dini. Merah padam menahan tangis yang mungkin sebentar lagi meledak.

   "Maaf, Kak. Maksud kakak apa ya, dateng-dateng langsung bilang gitu sama Kak Arffa." Sangat hati-hati dia mengucapkan kata perkata, seolah jika sedikit saja salah. Bom atom akan menghancurkan bumi ini.

    "Aku mantannya Arffa. Baru beberapa minggu putus karena aku tau, kalian juga jadian, kan? Aku ga mau jadi duri dalam daging." Nafasnya memburu. Amarah yang menumpuk tak boleh sampai meledak. Ini salah satu keistimewaan Dini di mataku.

   Devi menatapku, lalu Dini secara bergantian.
   "Kak Arffa itu baik banget sama Devi. Tapi sayang, minggu-minggu ini dia keliatan sedih. Oh ya, Kak Arffa 'kan penulis, dan Devi sangat suka sama karakter tulisannya. Sejujurnya, Devi juga suka sama Kak Arffa, lebih tepatnya kagum. Beliau juga ngajarin Devi caranya bikin puisi, sampe akhirnya Devi bisa cetak buku kumpulan puisi. Hari ini kami bertemu, Devi mau ngasih sedikit hasil keuntungannya." --gadis itu lalu memegang tanganku, dan meletakannya di atas jemari Dini-- "semoga kalian berjodoh, Kak. Lagian Kakak juga pembuat gambar ilustrasi, kan? Kalian bener-bener pasangan yang serasi."

   Gadis itu berdiri, meninggalkan aku dan Dini. Di sini, di bangku alun-alun kota.

Bandung Barat, 2016

1 comment: