Monday 5 November 2018

Pamit; Perpisahan Yang Rumit

Senja adalah perpisahan


   Seberapa kuat aku bertahan, tak akan pernah ada artinya jika kau tak kembali.
   Air mata, kenangan dan segala hal yang menjadi kepahitan. Doaku gagal menerangi jalanmu pulang. Kau terlalu lelah menghadapi sifat kekanak-kanakanku.

   Melemah, dan semakin lemah. Kehilangan harapan atau kehilanganmu takkan pernah ada bedanya. Sama-sama membuatku terpukul, tersungkur.

   Kemarau panjang di mataku luluh lantah atas kepergianmu. Perjalanan panjang yang telah kita angan-angankan perlahan terurai dan terbakar, menyisakan gumpalan asap kenangan yang hanya bisa kutatap. Meski aku berharap, bisa menggenggam lalu memeluknya.

   "Kita berdua seharusnya mengerti, bahwa cinta yang dibangun di atas lautan haruslah kuat pada pondasinya."

   "Dan bagimu kita tak memilikinya. Begitu, Nona?"

   "Begitulah. Cinta ini mungkin harus berakhir." Mata gadis itu menerawang jauh ke arah matahari tenggelam.

   "Tak bisakah kita memperbaikinya? Maksudku, menyerah memang mudah dilakukan. Namun, penyesalan selalu datang belakangan, bukan?"

   "Satu pertanyaan. Apa yang akan tersisa dari kisah ini? Kau tahu, semua ini terjadi hanya karena sikapmu seperti debur ombak, menarik dan menghempas tanpa kepastian."

   "Jika kau pergi, air mata dan kenangan. Jika kau bertahan, harapan, perbaikkan diri dan sebuah kepercayaan. Kau mau pilih mana untuk kita?"

   "Aku tak ingin kita! Aku sudah terlalu sering kecewa."

   Aku menunduk, menatap pasir pantai. "Maaf soal semuanya. Namun, bukankah aku selalu memberimu penjelasan soal itu?"

   "Terlalu banyak waktu yang kubuang sia-sia untuk menunggu kau mengubah kebiasaan burukmu."
   "Apa kau sudah memikirkan segalanya? Aku tak pernah ingin kehilanganmu, tetapi memaksamu bertahan, jika seperti ini ...."

   "Semoga kau menemukan orang yang bisa mengerti semua penjelasanmu. Orang yang mau menerima semua tentangmu. Maaf, Ar. Aku pergi! Selamat tinggal!"

   Secepatnya kau menjauh, sambil berusaha menghapus air mata yang berjatuhan.

   Senja perlahan pamit, bersamamu.


25-01



   Pernahkah kau mendengar doa-doaku yang terperangkap pada keheningan? Namamu pernah tinggal di sana, bersama detik-detik yang menyatu dengan air mata.

   Kau adalah lautan pengharapan, yang airnya tak dapat kuteguk sebagai pelepas kerinduan. Saat ini.

   Puisi, kita pernah hidup di antara mimpi-mimpi yang hendak dibangun bersama. Menghancurkan batas yang terbentang antara perbedaan-perbedaan yang menetas. Namun, ketika sayang itu tak ada lagi, kau paksa aku menikahi sepi.

   "Kita bertemu hanya untuk saling menemani, tetapi tak selamanya saling mencintai," ucapmu ketika sampai di sebuah persimpangan. "Lepaskan aku sebagai kupu-kupu yang terbang menuju hutan!"

   "Kau telah menjelma sebagai angin sekarang, kau goyah di antara pilihan!"

   Kau berlari menjauh sambil menangis, yang setiap langkahnya terasa sakit mengiris. Perasaan yang dulu merambat itu telah memenuhi ruang hati, haruskah aku kembali mengecewakannya, Puisi? Hendak kemana nanti aku pulang, jika tubuhmu menolak sebuah pelukan?

   Perasaan itu tergeletak di lorong-lorong waktu, yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan indah yang suatu saat harus musnah.

   Aku berusaha merelakan, meski sulit melepasmu dalam ingatan. Terbebaslah kau kali ini, Puisi. Kata-kata yang merangkai tubuhmu akan kubiarkan abadi.

   Membiarkan rindu itu hilang, pudar pada setiap lembar-lembar ingatan. Kelak, hujan akan kembali menyanyikan sunyi, tetapi saat itu tiba, kuharap kita benar-benar sudah tak saling peduli.

   Selamat jalan, semoga tak ada lagi sesuatu yang kau namai penyesalan.

24-07-2018

Sumber gambar tertera

No comments:

Post a Comment