Anggap Ini Sebuah Cerita
Jika
kehilangan ini bukan ilusi, ijinkan aku menepi sebentar untuk merenungi apa
yang terjadi. Perihal salah yang menumpuk, atau akar cinta yang mulai melapuk.
Namun, jika kau berkenan, Bolehkah aku melautkan segalanya? Termasuk kenangan
tentu saja.
Aku, luka yang
diam pada setiap prosa dan puisi yang kau tulis. Maaf, atas segala kelakuan
buruk yang menimpamu. Membuang waktu untuk mengkhayal tentang kita misalnya,
atau doa-doa yang harusnya kau lebih dahulukan untuk dirimu sendiri.
Selarik puisi
pernah kutulis di selembar malam. Apa dirimu pernah membacanya? Atau memang
sudah tak peduli adanya? Perihal isi, coba kau tanya pada bintang, mungkin dia
bisa menerjemahkannya untukmu.
Namamu adalah
jalan panjang, yang pernah kutempuh lewat langkah-langkah doa. Maaf karena
menyerah sebelum saku sampai di sana. Aku terlalu takut pada salah satu
resolusimu. Kaya.
Bukan tak
ingin berjuang, hanya saja jika hitungannya materi, rasanya tangan ini tak
terima. Andai saja hitungannya bahagia, ijinkan aku menemanimu untuk
menggapainya bersama.
Pesimis?
Betul, aku terlalu pesimis. Mungkin itu sebabnya semua sahabatku
menyarankan untuk mencari sosok yang bisa merangkul, sambil menyemangati. Bukan
keharusan, hanya saja, jika Tuhan berkenan memberikan pilihan, tentu aku
meminta seseorang yang bisa saling mengisi kekosongan.
Perihal rindu
untukmu jangan tanya. Sebab kediaman yang selama ini kujaga, hanya untuk
meredam letupnya. Jangan sampai tulisan ini mengganggu pikiranmu, anggap saja
tulisan ini hanya cerita.
Di sini sudah
cukup larut. Duluan tidur sana, biar besok bisa cepat bangun dan segera
melangkahkan mimpi menjadi nyata. Oh iya, boelh titip salamkah untuk Mamahmu?
Bilang terima kasih, sama maaf belum bisa jagain kamu selamanya.
Selamat malam,
Puisi. Mimpi dan kenyataan indah, ia?
Sumber Gambar; Google+ |
Bandung Barat,
23:11/22/11/2018
No comments:
Post a Comment