Ketika Kau Mencintai Seseorang
Menyelimuti diri, dengan menggulung ribuan kain hingga berlapis-lapis. Berharap dingin segera melangkah pergi, dan pagi beranjak mendekati. Namun, berharap pagi datang lebih cepat, sama saja mustahilnya seperti menunggu kau kembali.
Yah, kau. Kau yang pernah menemaniku duduk di cafe ini dengan gelisah. memilin-milin ujung jilbabmu dengan gelisah. Gugup menanti, apa yang bisa membuka pembicaraan kita malam itu. Kita adalah dua orang bodoh, yang selalu berharap membuka mata dan menemukan yang lainnya di samping. Namun tak pernah berusaha mengucapkan satu kata yang menguatkan, satu kata yang mengikat, satu kata yang terus saja menjadi lamunan saat sepi menari-nari.
Pagi kesekian aku kehilanganmu. Pagi kesekian aku harus merelakan malam-malam panjang tak berada kau dipelukku. Kau tahu, Dear. Aku tak rela melepasmu dengannya. Namun, jika itu memang yang terbaik dan kau, merasa bahagia. Aku bisa apa?
Bandung Barat, 26 maret 2017
Foto Author pribadi |
Secangkir Penuh Lamunan
Hanya karena sebuah kesalahpahaman,
aku dan dia tidak saling sapa, saling melupakan. Rasanya aneh memang,
dulu begitu dekat, tapi kini bersapapun terasa ada sekat.
Aku
pernah berbagi resah dengannya. Menghilangkan gundah, dengan bercerita
dengannya. Sulit menghapus segala yang kuingat tentang ia. Kau pasti
tahu rasa dicintai dan mencintai seperti apa, Ra. Hingga tak perlu
kujelaskan bagaimana susahnya melupakan seseorang yang istemewa.
Maaf jika harus kuceritakan perihal Puisi. Gadis yang selama beberapa
tahun bertahan dan menanti. Aku telah berusaha ikhlas, tetapi tangan
masih saja enggan untuk melepas. Kenangan dengannya misalnya, atau
beberapa tawa yang pernah tercipta.
Aku harus mengakui beberapa hal tentangnya. Aku adalah arsitek, atas segala kehancuran hubungan ini. Berusaha membangun kebersamaan, tapi tanpa sengaja mematahkan penyangganya. Aku terlalu bodoh, hingga mimpi-mimpi harus roboh.
Namun, jauh dari semua itu. Kami (atau mungkin hanya aku saja) memang masih saling mencintai, berharap saling memiliki. Hanya saja, kami menyimpan harapan jauh dalam hati, dan memilih diam agar tidak saling menyakiti.
Kami tak ingin memeluk ego lebih dalam, serta memilih saling mendoakan. Bukan hendak berpangku tangan, tapi percaya akan ada cerita lebih baik dari Tuhan setelahnya. Jadi, biarkan kisah ini menemani secangkir kopi yang kau minum, sebagai kenangan yang masih bersedia menunggu dalam lamunan.
Aku harus mengakui beberapa hal tentangnya. Aku adalah arsitek, atas segala kehancuran hubungan ini. Berusaha membangun kebersamaan, tapi tanpa sengaja mematahkan penyangganya. Aku terlalu bodoh, hingga mimpi-mimpi harus roboh.
Namun, jauh dari semua itu. Kami (atau mungkin hanya aku saja) memang masih saling mencintai, berharap saling memiliki. Hanya saja, kami menyimpan harapan jauh dalam hati, dan memilih diam agar tidak saling menyakiti.
Kami tak ingin memeluk ego lebih dalam, serta memilih saling mendoakan. Bukan hendak berpangku tangan, tapi percaya akan ada cerita lebih baik dari Tuhan setelahnya. Jadi, biarkan kisah ini menemani secangkir kopi yang kau minum, sebagai kenangan yang masih bersedia menunggu dalam lamunan.
#Ar_rha
Bandung Barat, 11 Oktober 2018
Bandung Barat, 11 Oktober 2018
No comments:
Post a Comment