Saturday 6 July 2019

Cerpen; Perjalanan (2)



 Perjalanan (2)




                Aku sedang duduk di dalam kereta. Melihat-lihat cahaya kota dari kaca jendela. Kota yang kulalui sedang terlelap, dan enggan diganggu. Kesendirian yang kurasa menjelma ilusi yang nyata. Ini perihal seseorang yang pernah singgah, tapi tak benar-benar bertahan dengan sungguh.

Kesepian menjelma pengawas yang kejam, dan aku hanya seorang pandir pada ruang bernama kenangan. Menyeret, dan menenggelamkan kepalaku pada ember berisi ingatan-ingatan. Aku bisa mengingat lagi semuanya dengan jelas. Tentang warnamu, tentang aromamu, tentang gaya bicaramu, bahkan tentang caramu menatapku malu. Sungguh sialan sepi ini. 

“Masih ingat tidak, perihal perlakuan baik kita pada seseorang akan terbalas suatu saat nanti?”

“Iya. Aku masih mempercayainya. Kamu juga-kan, Puisi?”



“Tentu saja. Aku yang berkata, dan aku juga harus yang bertanggung jawab. Ar, seharusnya kali ini kamu mampir dulu ke kotaku. Meski hanya sekadar teman, ada banyak yang bisa kita diskusikan.”



“Mungkin benar, Puisi. Aku bisa saja mampir ke rumahmu, lalu berkenalan dengan setiap anggota keluargamu. Tapi apa mungkin, Puisi, perasaan ini dapat mengecil hingga hilang, sedangkan tanpa menatap matamu secara langsung saja aku sudah begitu kepayahan. Apa lagi jika melihat semua tentang kamu. Aku benar-benar takut menjadi egois. Jika terus memaksamu mencintaku, tanpa memikirkan perasaanmu”

“Sebaiknya kamu membuka hatimu untuk orang lain terlebih dahulu, sebelum kita bertemu, Ar. Kamu boleh mencintai siapapun, karena itu hak kamu yang pernah aku renggut dari kamu. Namun, jika aku boleh, tolong jangan pernah melupakanku.”

Deru roda kereta mengisi kekosongan bunyi di telingaku. Memecahkan kesunyian yang telah menenggelamkan setiap keinginan menjadi satu titik. Sangat menginginkan menjadi nyata, tapi menjauh dari genggaman dunia.

Kereta terhenti di Stasiun Ciawi. Aku turun beseta beberapa penumpang lainnya untuk merokok. Bintang-bintang di langit sana berkedip, mungkin mengerti kegelisahan isi hati, atau berusaha berkata bahwa seseorang di sana merasakan hal yang sama. Entahlah.

“Mas, boleh pinjem koreknya?”

“Silahkan, Pak.”

Kami lalu sedikit berbasa-basi, sebelum pada akhirnya kembali hening. Udara dingin tengah malam tak kami anggap serius. Maksudku, hanya angin lalu.

“Mungkin benar, Ar. Perjalanan ini tak benar-benar bisa kau nikmati. Namun, apa mungkin perjalanan ini akan kau lupakan dengan mudah?”



“Maksudmu, Puisi? Aku benar-benar tak mengerti.”


“Meski perjalanan ini terlihat sederhana, dan sedikit membosankan, tapi kau bisa sedikit menikmatinya. Seperti kisah kita yang pernah terjalin, meski berakhir menyakitkan, tapi percayalah bahwa hal itu pada akhirnya dapat menguatkan. Waktu juga pasti bisa menjawab, bagaimana nanti kita akan terbiasa meski tanpa kata bersama.”

Peluit petugas melengking tajam, dan perjalanan yang melelahkan ini akan kembali dilanjutkan. Para penumpang terlihat mulai terlelap ke dalam impian.

“Berjanjilah, bahwa kamu akan menjadi biasa saja tanpa aku, atau mungkin bisa menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Siapa tahu, Ar. Jangan menutup diri pada gadis-gadis yang berada di sekitarmu. Mengobrollah seperti biasa, sebagaimana Ardi yang selama ini kukenal.”

“Apa itu tak akan menyakitimu, Puisi?”

“Mungkin, sedikit. Tapi ada banyak hal yang aku yakini akan lebih sakit adanya, terlebih, melihat kamu sulit tersenyum seperti dulu. Kamu mungkin bisa tertawa keras, meski hatimu tidak. Tolong jangan jadi apatis, ya? Ardi yang kukenal orangnya sangat baik, dan ramah loh. Hahah.”

Lelucon yang buruk. Namun setelah mendengar penuturan itu, ada bagian yang merasa terampar dalam diriku. Apa mungkin aku menjadi seapatis itu? Apa mungkin, ada perbedaan yang jauh saat aku mengenalnya, dan saat ini aku tak lagi bersamanya? Lagi pula, bagaimana dia tahu?

“Percaya atau tidak, Ar. Ada banyak orang yang merindukan kamu yang dulu. Bukan tak baik menjadi diri kamu yang menutup diri sepeti ini, hanya saja, kamu dan orang-orang yang berada disekitar kam yang akan merasakan dampak paling besar adanya.”

“Aku akan berusaha, jadi tolong biarkan aku beristirahat malam ini, oke?”

“Dia mengecup keningku, lalu melebur bersama waktu.



Pict By Author


Ciawi, Tasikmalaya 2019
Dalam perjalanan Kiara Condong - Purwosari

No comments:

Post a Comment