Perjalanan (2)
Aku sedang duduk di dalam kereta. Melihat-lihat cahaya kota dari kaca jendela. Kota yang kulalui sedang terlelap, dan enggan diganggu. Kesendirian yang kurasa menjelma ilusi yang nyata. Ini perihal seseorang yang pernah singgah, tapi tak benar-benar bertahan dengan sungguh.
Kesepian
menjelma pengawas yang kejam, dan aku hanya seorang pandir pada ruang bernama
kenangan. Menyeret, dan menenggelamkan kepalaku pada ember berisi
ingatan-ingatan. Aku bisa mengingat lagi semuanya dengan jelas. Tentang
warnamu, tentang aromamu, tentang gaya bicaramu, bahkan tentang caramu
menatapku malu. Sungguh sialan sepi ini.
“Masih ingat tidak,
perihal perlakuan baik kita pada seseorang akan terbalas suatu saat nanti?”
“Iya. Aku
masih mempercayainya. Kamu juga-kan, Puisi?”
“Tentu saja.
Aku yang berkata, dan aku juga harus yang bertanggung jawab. Ar, seharusnya
kali ini kamu mampir dulu ke kotaku. Meski hanya sekadar teman, ada banyak yang
bisa kita diskusikan.”
“Mungkin
benar, Puisi. Aku bisa saja mampir ke rumahmu, lalu berkenalan dengan setiap
anggota keluargamu. Tapi apa mungkin, Puisi, perasaan ini dapat mengecil hingga
hilang, sedangkan tanpa menatap matamu secara langsung saja aku sudah begitu
kepayahan. Apa lagi jika melihat semua tentang kamu. Aku benar-benar takut
menjadi egois. Jika terus memaksamu mencintaku, tanpa memikirkan perasaanmu”
“Sebaiknya
kamu membuka hatimu untuk orang lain terlebih dahulu, sebelum kita bertemu, Ar.
Kamu boleh mencintai siapapun, karena itu hak kamu yang pernah aku renggut dari
kamu. Namun, jika aku boleh, tolong jangan pernah melupakanku.”
Deru roda
kereta mengisi kekosongan bunyi di telingaku. Memecahkan kesunyian yang telah
menenggelamkan setiap keinginan menjadi satu titik. Sangat menginginkan menjadi
nyata, tapi menjauh dari genggaman dunia.
Kereta
terhenti di Stasiun Ciawi. Aku turun beseta beberapa penumpang lainnya untuk
merokok. Bintang-bintang di langit sana berkedip, mungkin mengerti kegelisahan
isi hati, atau berusaha berkata bahwa seseorang di sana merasakan hal yang
sama. Entahlah.
“Mas, boleh
pinjem koreknya?”
“Silahkan,
Pak.”
Kami lalu
sedikit berbasa-basi, sebelum pada akhirnya kembali hening. Udara dingin tengah
malam tak kami anggap serius. Maksudku, hanya angin lalu.
“Mungkin
benar, Ar. Perjalanan ini tak benar-benar bisa kau nikmati. Namun, apa mungkin
perjalanan ini akan kau lupakan dengan mudah?”
“Maksudmu,
Puisi? Aku benar-benar tak mengerti.”
“Meski
perjalanan ini terlihat sederhana, dan sedikit membosankan, tapi kau bisa
sedikit menikmatinya. Seperti kisah kita yang pernah terjalin, meski berakhir
menyakitkan, tapi percayalah bahwa hal itu pada akhirnya dapat menguatkan.
Waktu juga pasti bisa menjawab, bagaimana nanti kita akan terbiasa meski tanpa
kata bersama.”
Peluit petugas
melengking tajam, dan perjalanan yang melelahkan ini akan kembali dilanjutkan.
Para penumpang terlihat mulai terlelap ke dalam impian.
“Berjanjilah,
bahwa kamu akan menjadi biasa saja tanpa aku, atau mungkin bisa menjadi lebih
bahagia dari sebelumnya. Siapa tahu, Ar. Jangan menutup diri pada gadis-gadis
yang berada di sekitarmu. Mengobrollah seperti biasa, sebagaimana Ardi yang
selama ini kukenal.”
“Apa itu tak
akan menyakitimu, Puisi?”
“Mungkin,
sedikit. Tapi ada banyak hal yang aku yakini akan lebih sakit adanya, terlebih,
melihat kamu sulit tersenyum seperti dulu. Kamu mungkin bisa tertawa keras,
meski hatimu tidak. Tolong jangan jadi apatis, ya? Ardi yang kukenal orangnya
sangat baik, dan ramah loh. Hahah.”
Lelucon yang
buruk. Namun setelah mendengar penuturan itu, ada bagian yang merasa terampar
dalam diriku. Apa mungkin aku menjadi seapatis itu? Apa mungkin, ada perbedaan
yang jauh saat aku mengenalnya, dan saat ini aku tak lagi bersamanya? Lagi
pula, bagaimana dia tahu?
“Percaya atau
tidak, Ar. Ada banyak orang yang merindukan kamu yang dulu. Bukan tak baik
menjadi diri kamu yang menutup diri sepeti ini, hanya saja, kamu dan
orang-orang yang berada disekitar kam yang akan merasakan dampak paling besar
adanya.”
“Aku akan
berusaha, jadi tolong biarkan aku beristirahat malam ini, oke?”
Ciawi,
Tasikmalaya 2019
Dalam
perjalanan Kiara Condong - Purwosari
No comments:
Post a Comment