Saturday 3 August 2019

Cerpen; Dia


 Dia


   Bandung sedang sakit, Nay. Kadang ia dingin, di waktu yang lain ia sangat menggerahkan. Musim pancaroba, katanya. Namun, ini juga mungkin cara Tuhan menyadarkan aku perihal kita. Tentang perasaan benci, dan di lain waktu masih memiliki harapan untuk memiliki.

   Benci?  Benar, kau tak salah membaca. Aku membenci kenangan antara kita yang masih sering berkunjung. Membuat kamar yang kutempati murung. Ia seringkali tergopoh, membawa koper-koper masa lalu hingga terlihat akan roboh. Lalu seperti sales menawarkan barang, terus berkata-kata penuh rayu dan kenang. Entah siapa yang sial sebenarnya, antara aku atau dia. Tapi toh kau sudah tak peduli adanya, ya?

   Dan tanpa sengaja kita bertemu di sini, di antara rak-rak penuh buku. Kau tersenyum menatapku, lalu memincingkan mata meminta waktu lebih untuk berbicara berdua. Kita berdua terjebak di sini, di sebuah cafe di daerah Braga. Sejujurnya, aku tak menginginkan pertemuan ini.

    Dalam riuh suara kendaraan bermotor yang lalu lalang, kita berdua siap berperang. Bukan untuk saling menyerang, tapi meneguhkan hati untuk tetap tenang. Kau yang menganggap kisah ini terkutuk, dan aku yang merasa menjadi orang paling buruk. Berbeda dengan yang lalu, senyum yang  terlukis di wajah kita terasa dingin kini. Apa mungkin, musim salju yang pernah kau ceritakan bisa mengubah kepribadian juga? Entahlah, kurasa tidak seharusnya.

   "Halo, Ar. Maaf jika perkataaku yang terakhir menyakitimu. Kamu menginginkan kejujuran, bukan?"

   Aku hanya mampu tersenyum kecut. Kata-kata yang kau ucap bukan yang kuharap. Mengapa tidak memulai dengan percapakan yang standar seperti, "Hai, apa kabar?" atau "Sekarang kerja di mana?" Aku tahu kau tak ingn berbasa-basi, dan kau sudah bosan dengan percakapan antara kita yang telah mati. Namun, haruskah langsung menusuk pada perasaan yang telah buruk?

   "Jujur tak pernah semenyakitkan itu, Nay."

   Kau lalu tertawa. Ada yang tidak natural dari nadanya. Seperti dipaksa keluar tanpa rasa. Kau tahu? Hambar.

   Kulirik jam di ponselku. Jam dua belas. Percakapan ini tak berkembang. Sedangkan waktu tak pernah mau menunggu siapapun. Cuaca membuat semua orang yang berada  di cafe ini meras gerah, dan kita berdua masih dengan sikap dingin. Bukan tak bahagia aku bertemu kau, Nay. Aku bersyukur kau masih baik-baik saja, dan masih bisa tertawa. Namun, tentang hati yang pernah terluka? Tak perlu kuceritakan lagi soal deritanya.

   "Kamu bisa bebas menentukan arah langkah kaki, tanpa perlu takut aku atur lagi. Ar, kamu sekarang burung yang telah keluar dari sangkar, jadi mulailah mencari arah untuk kembali menemukan rumah. Kesepakatan kita hingga hari ini masih sama. Kita akan berusaha iklas menerima, walau berat rasanya."

  Berbeda, Nay. Berbeda! Kau tahu bahwa kenangan adalah anak nakal yang tak bisa disetir oleh siapapun, termasuk logika. Tubuhku bisa saja memeluk seseorang, tapi mungkinkah perasaan yang dulu bisa cepat hilang dalam bayang? kau pasti mengerti bagian ini.

   "Kesepakatan yang sulit, sejujurnya."
   "Jangan banyak alasan! Karena  hanya untuk orang lemah, tapi kamu harus hidup dalam kata walaupun."

   Tangan seseorang menepuk pundakku. Memasang tatapan penuh tanya perihal siapa wanita di depanku. Selain itu, ada rasa kesal yang tercetak dengan jelas di pelipisnya.

   "Kenalin, Nay. Ini Dia."

   "Oh, halo. Naya Sarifah."-- mereka bersalaman, tapi tak begitu lama-- "panggil aja Sari. Cuman lelaki ini yang panggil aku Naya."

   "Dia, Kak. Salam kenal."

   Ingin kuceritakan, bahwa Dia adalah gadis yang kuharapkan dapat mengganti posisimu di sini, Nay. Namun, apa mungkin aku masih bisa menerima dengan tangan terkepal, Nay? Sedangkan jari-jari ini tak bisa begitu saja menerimamu pergi. Bukan hendak mempermainkan perasaan Dia. Hanya saja, rela dan menerima dengan ikhlas masih banyak alasan. Terutama senja pada bibir uisimu yang pernah bercerita dengan indahnya. 

   "Seharusnya seperti itu. Jaga Dia, oke? Berikan gadis ini puisi yang utuh, bukan setengah jadi yang kamu tinggalkan di atas meja. Selamat, sepertinya percakapan ini harus diakhiri."

   Pukulanmu di lengan kanan sebelum pergi menjelaskan segalanya. Berusaha tegar meski sakit terus memberi kabar. Sial rasanya. Menjadi pecundang yang harus bersujud di depan kenangan. Tubuhmu pergi dari jangkauan pandangan, dan gadis di sampingku mulai menginterogasi dengan banyak pertanyaan. Plus sebuah rasa cemburu yang tak bisa ia sembunyikan.

   "Siapa perempuan tadi, Kak? Kenapa pergi gak bilang dulu? Terus, ngapain aja kalian dari tadi?"

    "Namanya Naya. Temen deket, tapi itu dulu sebelum kenal Dia. Tadi udah manggil Dia, tapi Dia malah sibuk ke dalem. Situasi tadi juga gak memungkinkan buat ngejar. Liat sendiri, kan orang-orang yang kalap liat buku?"

   "Yakin cuman temen?"

   "Sangat yakin. Atau perlu dipanggil lagi?"

   "Gak usah, deh."

   "Beli buku apa aja tadi?"

   "Fiksi kebanyakan. Kak, seandainya Kakak disuruh milih antara aku sama dia, mau pilih siapa?"

   "Jawabannya udah ketebak meren. Pasti Dia, lah. Bentar, jangan main cubit. Jawabannya pasti Widia Puji Astriningrum."

   Senyum gadis berkerudung itu mekar, dan sepertinya tak tahu itu hanya semacam ambigu yang sengaja dibuat samar. Aku harus mengajaknya pulang, sebab ada sebuah acara yang menunggu kedatangannya.

   Seandainya boleh memilih, aku pasti pilih dia. Benar, dia.



Cerpen; Dia

Bandung Barat 26/06/2019

No comments:

Post a Comment