Wednesday 7 September 2016

Cerpen; Jangan Bilang Aku Jahat.

      Jangan Bilang Aku Jahat

         Salju pun turun
         rasa-rasa membeku
         cinta tak kembali 
****                                            


            "Assalamu'alaikum"

            "Wa'alaikumsalam"

            Lalu terdengar suara pintu terbuka "Kemana aja baru nongol, udah lama kita gak ketemu"

           "Biasa sibuk kerja sob, di rumah siapa aja sepi amat?"

           "Ada ibu di belakang, teh, kopi, susu?"

           "Apa aja asal gak ngerepotin"

          "Bentar, aku ke dapur bentar"

          Lalu datang seorang perempuan paruh baya, dia menyapaku.
          "Eh ada nak Ardian, kemana aja? Gimana kabarnya?"

          "Baik Bu, saya sibuk kerja, buat masa depan"

          "Alhamdulilah kalo gitu, bentar ya Nak, ibu beresin kerjaan dulu di belakang, tanggung!"

          "Silahkan Bu"

            Beberapa menit kemudian.
           "Nih kopinya, gimana keadaanmu Bro?"

          "Alhamdulilah aku baik, gimana sebaliknya kamu sama keluarga?"

          "Alhamdulilah juga pada baik"

******

          Teringat saat pertama kali menginjakan kaki di rumah ini, saat itu hidupku masih kacau balau, urakan, bicara gak dijaga, bisa disebut jaman jahiliyah, tapi sahabat perempuanku ini tak pernah sewot pada semua kekurangan itu, malah dia bimbing aku menuju kebaikan, ajarkan apa arti kedewasaan. Ya dia adalah setitik harap diantara hitamnya hari, dayung kehidupanku menjadi pribadi lebih baik, sabar menuntunku tanpa mengeluh.

          Namun saat kedua orang tuanya tau dia dekat denganku, mereka menjauhkan dia dari ku, bahkan sempat aku dengar dia dikekang, ditampar, padahal saat itu entah pada siapa lagi aku meminta petunjuk tuk jadi pribadi yang lebih berguna di masa depan.

          "Apa yang kamu harapkan dari dia? Liat semua tingkahnya, masa depannya gak jelas, kenapa milih dia?"

           "Dia baik kok Bu, cuman butuh diarahkan, aku kenal dia, dan yakin suatu saat dia bakalan sukses!"
Plakk.

          "Udah jangan bantah, mulai saat ini jangan deket dia lagi! Ibu gak mau denger alasan apa pun, biarkan dia menjauh Nak, tak akan pernah cocok antara dia dan keluarga kita!"

          Mendengar cerita dari teman tentang percakapan itu, rasanya hancur hati ini, remuk semua asa, mimpi-mimpi yang pernah kita bangun hancur jadi debu dan terbang ditiup angin oleh keluargamu. Padahal saat itu, kita baru berjanji untuk saling menyayangi.

          Mulanya ingin ku lanjutkan semua mimpi yang pernah kita bahas dan jadi topik paling seru diantara yang lainnya, namun aku tak sampai hati mendengarmu selalu disiksa, disakiti hingga separah itu oleh keluargamu, sob ... maaf aku harus menjauh dan merubah haluan, meski aku tak tau, apa bisa melawati semuanya jika tanpamu.


*****

          "Heh ngelamun aja, diminum dulu kopinya, maaf gak ada apa-apa."

          "Hehe, makasih sob, aku minum kopinya ya."

           "Ya mangga, eh tadi ngobrol apa aja sama ibu? Kamu katanya rubah banget, gak kaya dulu, kayanya ibu jadi suka sama kamu Bro"

          "Gak ngobrol apa-apa, cuman nanya kabar doang."

           "Oh, oke deh."

           "Sob, hari minggu ini ada acara, gak?"

           "Gak ada emang kenapa? Kayanya serius banget."

           "Hari minggu ini aku jadi nikah. Jangan lupa dateng ya, di gedung samping kantor RW itu loh!"

          "Jadi kamu ke sini buat ngasih undangan?"--suaranya kini seperti tersekat sesuatu--"se ... selamat ya, Bro, aku ikut bahagia, semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah," senyum yang dibuat-buat itu lalu hadir.

          "Amiin, makasih Sob buat doanya, ditunggu jangan sampe gak dateng ya,"-aku mulai berdiri-"makasih juga kopinya, titip salam buat ibu sama yang lain, and maaf udah ganggu waktunya, aku mau ngasih undangan ke temen-temen yang lain. Assalamu'alaikum"

            "Wa'alaikumsalam"

            Setelah pintu ditutup, terdengar isak tangis yang begitu keras dari dalam rumahnya.


Bandung barat 2016 
 #Ar_rha

No comments:

Post a Comment