Wednesday 7 September 2016

Cerpen; Anugrah Semesta.

Anugrah Semesta

                                         

           Ranting-ranting kering terbakar, mengeluarkan bau khas yang sedikit menyengat hidung. Rasi bintang begitu jelas terlihat di arah utara. Rembulan  menemani, mengintip di antara celah awan, tak  ingin mengganggu kemesraan yang datang di antara api yang menari, menghangatkan tubuh mereka.

         "Yank, kenapa sih malah milih aku yang jadi pasangan Ayank? Padahal banyak yang mau jadi pacar kamu, mulai dari guru sampai anak orang kaya." Arfa membuka percakapan malam itu dengan kekasihnya.

           "Perlu ya, A, Ayank jawab?" ucap Dini sambil tersenyum.


           "Aku pengen tau alasan Ayank!" suara Arfa sedikit bergetar, karena tak bisa mendapatkan jawaban yang pasti. Inilah karakter khas Dini yang membuatnya selalu penasaran, dan itu yang membuat dia begitu menarik (di mata Arfa).


          Dini hanya menyandarkan kepalanya pada Arfa, dan secara refleks, tangan kanan Arfa membelai kepala Dini yang berhijab, andai kalian tau, rasa nyaman menyelimuti segumpal daging di dada Arfa;Hati. Ketentraman yang dia rasa, tak akan terbeli meski kalian punya dua bukit emas, namun tak memiliki rasa;Cinta, pasangan dan momen yang tepat.


******

         "A, mau bikin mie gak? Enak loh dingin gini kalo makan yang berkuah, hangat. Lagian Ayang udah mulai lapar hehe," kata-kata itu menyadarkan Arfa dari ketentraman hati, "Dini sepertinya mendengar perutku berbunyi," bisik hati Arfa, mukanya menjadi merah;karena malu.


         "Iya Yank, bikin aja. Aa juga udah laper,"-- tangannya sibuk menambahkan kayu kering karena api mulai mengecil--"Ayank mau bikin susu jahe gak? Biar aku juga gak nongkrong doang di depan api unggun."


   Dini hanya melempar senyum, lalu masuk tenda. Terdengar suara kompor *portable yang dinyalakan, lalu suara mangkok beradu sendok mengikuti.

******
            Arfa hanya memandang api kehidupan yang menjauhkannya dari *hipotermia, sambil memanaskan air dengan panci kecil, "Din, aku suka petualangan, begitu pun kamu. Tapi tak pernah sedikit pun terbesit dipikiranku ingin membuat kamu masuk ke dalam berbagai rintangan yang datang karena kebodohanku. Hufft, sejujurnya aku tak memiki persiapan apa pun."


******
           Langkah kaki Dini terdengar keluar dari tenda, sambil membawa mangkok berisi mie yang panas, "Nih A!" ucap Dini sambil duduk di dekat Arfa, "A itu airnya udah mendidih, ngelamun wae (mulu) mikirin apa sih?"

            Arfa tak langsung menjawab, dia mengisi terlebih dahulu gelas yang berisi serbuk susu jahe dengan air panas.


           "Mikirin masa depan. Ngelamun kalo sendainya Aku nikah sama Ayank, rasanya gak tega aja kalo sampe Ayank kekurangan, padahal Ay bisa saja memilih orang lain yang lebih segalanya dari aku, dan gak mungkin kekurangan secara materi," Arfa menjawab pertanyaan itu perlahan.


            Dini menatap mata Arfa dalam-dalam, disimpannya mangkuk berisi mie, lalu memeluk sosok itu. Dini menangis dipelukan Arfa, dilepaskannya lalu berkata "Aa gak yakin sama Ayank?" suaranya parau, tertahan kegelisahan hatinya.


         "Bukan gak yakin, cuman gak mau Ayank terlilit masalah gara-gara kesalahan Aku yang serba kekurangan," Arfa menunduk melihat potongan ranting yang sebagian menyala untuk mengalihkan hatinya yang bingung.


             "A, kita bisa memulai semuanya dari awal. Kita bisa menggapai sukses bersama dengan cara saling membahu, suport, saling mendoakan, karena Ayank tahu ini proses menuju puncak. Seperti sekarang, kita bisa sampai diketinggian ini karena saling menjaga, memperhatikan dan menyayangi. Diperjalan tadi kita lewati tanah berlumpur, tanjakan terjal, licin, meski melelahkan, kita pasti bisa melewati semua dan nanti kita ceritakan pada anak cucu, bahwa perjalanan hidup orang tua mereka tak mudah. Namun semuanya terbayar dengan melihat pemandangan alam seperti ini." Dini menggenggam tangan Arfa, menguatkan pendiriannya.


           Arfa kehilangan kata-kata, sejujurnya dia ingin menangis; terharu, mendengar perkataan Dini, lalu dipeluknya wanita terbaik ke dua yang dia kenal; setelah Ibunya. Mengendurkan pelukannya lalu tersenyum, salah satu senyuman terbaik yang pernah dia tunjukan. "Makan dulu yu mienya, takut keburu dingin," dicobanya mengalihkan topik.


          Mereka pun menghabiskan mie yang rasanya lebih nikmat dari apapun, meminum susu jahe dan dilanjutkan menunjuk-nunjuk bintang, sambil bercerita. Suasana mengalun bagai melodi, nada-nada yang keluar seperti malaikat sedang memainkan gitar. Lalu mereka pergi tidur. Dini di dalam tenda, Arfa diluar, tubuh mereka terbungkus kantong tidur.


            Sebelum terpejam, Arfa mensyukuri anugrah yang diberikan Tuhan padanya, dua hal yang tak bisa dia dustai kenikmatannya;saat ini, bisa melihat jagat raya yang indah, dan memiliki kepingan hati yang begitu membuatnya nyaman. Jika diibaratkan, seperti itu pula perasaan penulis memiliki rusuk;belahan jiwa sepertimu, Cinta.


******

            Mentari merangkak, sinarnya membangunkan umat-umat Tuhan, meski banyak sebagian dari mereka malah mengabdi pada dunia. Begitu pun pada Arfa dan Dini, pagi ini dalam dada mereka ditumbuhi semangat yang membara. Ditemani *sunrise mereka mengikat janji kesetiaan.


Bandung Barat 07/09/16

No comments:

Post a Comment