Monday 10 July 2017

Cerpen; Pulang

Pulang

    Aku mengemas sisa-sisa rindu yang masih berserakan, memasukannya ke dalam plastik bening, lalu menyimpannya ke dalam hati. Aku harus segera menggugurkan tangis karena jarak di wajahmu. Karena harus kuakui, bahwa rindu ini bertambah berat setiap detiknya.

    Selembar tiket di tangan, hendak merealisasikan sebuah perjumpaan. Beberapa memori tentangmu kini hadir kembali, bermain-main dalam hayalanku. Mengumandangkan kesedihan tentang perpisahan waktu itu. Pahit memang, tapi apa daya. Sejuta mimpi meminta harganya untuk ditebus menjadi nyata.

    "Berjanjilah kau akan kembali, Mas! Jangan biarkan tubuh ini berlumut karena menunggumu!"

    Aku mengecup keningnya, membelai hijabnya, menarik nafas dalam-dalam, meneguhkan hati untuk berjanji, "Aku pasti kembali. Meski rintangan pasti hendak mengelabui."

    Kita berdua lalu berpelukan di antara daun-daun rambutan berwarna kecoklatan yang gugur diterpa angin. Senja kala itu hanya merona merah, seperti cemburu pada kita berdua yang tenggelam dalam sebuah rasa yang dinamakan, cinta.

    Kereta hendak berangkat ketika aku tersadar dari lamunan. Menatap kaca sebelah kiri, mengamati wajah-wajah manusia yang hendak pulang ke kampung halaman untuk menemui ayah, ibu, istri atau kekasih yang mereka tinggalkan demi sebuah mimpi, juga masa depan yang diharapkan. Tentu saja wajah mereka terlihat bahagia. Sebentar lagi, pertemuan yang lama tergadaikan akan dibayar.

    Suara peluit petugas menggiring kereta untuk melaju. Orang-orang sudah mulai duduk. Perlahan stasiun kereta mulai menghilang berganti hamparan pesawahan yang begitu hijau.

    "Tak akan pernah ada yang lain di hatiku, Mas. Karena dari pelukmu dapat kupanen rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Percayalah, aku akan setia."

    "Aku selalu percaya padamu, Dik."

    Yah, itu adalah janji setia yang pernah terucap dari bibirmu yang manis. Dan janji adalah hutang yang mesti dibayar, sekali pun dengan bayaran waktu yang tak ber-ujung, hingga kematian menjemput di ujung jalan.


***

    Kereta melaju bagai angin yang berhembus, melewati cepat pemukiman-pemukiman yang terlihat berlari meninggalkan pandanganku. Rasa rindu ini  menjadi semakin menyesakan dada, karena disetiap persimpangannya terus  bertambah.

    'Meski tubuh kita jauh, aku tak pernah merasa sepi, Dik. Bagaimana mungkin rasa yang terkutuk itu memelukku, sedangkan wajahmu terus saja mengitariku. Tiada pernah rasa ini menyekapku dalam ruang hampa, karena indahnya cintamu terus menerangi sepanjang jalan hidupku. Dik ... bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu, sedangkan janji setia tengah kugenggam begitu erat.' Aku bergumam sebelum benar-benar terlelap.


***

    Tak terasa, aku sudah sampai di kota ini. Kota kelahiran yang telah menyatukan kita dalam sebuah ikatan. Segera aku turun, sambil membawa tas, beserta beberapa kardus sebagai oleh-oleh dari kota.

    Aku berjalan perlahan, sambil memperhatikan manusia-manusia yang lalu lalang di hadapanku. Mencari sesosok wanita berhijab yang senyumnya dapat melelehkan tumpukan es di dadaku. Yang tutur katanya seperti embun, menyejukan kegersangan di sudut jiwa.

    "Nak, di sini!" Kudengar suara ibu di antara berisiknya manusia-manusia di sekitarku yang berdengung seperti lebah. Aku berlari, bersimpuh di kakinya sambil menangis.

    "Sudahlah, Nak. Kuatkan hatimu," gumam Beliau di telingaku. Aku mengangguk lemah dengan pasrah. Kekasihku tak terlihat menungguku, dia telah meninggal beberapa hari yang lalu, setelah aku mengiriminya pembunuh berdarah dingin karena memilih untuk menikah dengan lelaki selain aku.

Ardian Handoko
Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment