Monday 10 July 2017

Cerpen; Surat Untuk Seseorang yang Kupanggil Puisi

Surat Untuk Seseorang yang Kupanggil Puisi

   Dik,  masih kuingat bagaimana pertama kali menemukanmu. Yah, event pembacaan puisi itu yang telah menjadi garis takdir yang menjadi pembuka pada lembaran kisah yang ingin kutulis denganmu, hingga selesai. Event sederhana memang, tapi begitu membekas di jiwaku.

***

" ... daun-daun kering itu pernah bertahan sekuatnya
Menanti si embun pagi; kekasihnya
Matahari, bintang dan rembulan yang menjadi saksinya
Aku ingin setabah itu menunggumu
Hingga pertemuan menggugurkan rindu-rindu di atas dada
Atau Tuhan yang menghapus semua dahaga, juga luka
Dengan kematian tanpa air mata."

    Suaranya lantang mengguncang emosi, menggetarkan relung-relung di dalam jiwa. Pemilik suara itu adalah gadis berkerudung ungu, manis sekali senyumnya, diiringi tepuk tangan yang bergumuruh, dia turun dari atas panggung.


***

    Pembacaan yang sangat indah, di mulai saat itu, aku selalu memanggilmu 'Puisi' -- maaf jika aku mengambil sebutan untukmu secara sepihak-- dan mulai sejak itu, aku mencari tahu semua kesukaanmu, semua tentangmu.


***

    "Namanya Niffa, Di. Gadis dengan ciri khas diksi penuh filosopi, dia udah lama ngikut perkembangan sastra."

    "Boleh minta kontaknya, Bro?"

    Dia mengangguk, lalu menyebutkan beberapa angka.


***

    Pertemuan pun tercipta. Dari dekat kuperhatikan bentuk wajahmu, matamu seperti sebuah kunang-kunang yang bersinar, senyummu adalah sebait puisi yang ranum.

    "Ardi ...."

   "Niffa."

   Kita pun berjabatan, dengan lengan sama-sama bergetar. Kita juga sama-sama diam, sambil sesekali mencuri pandang. Betapa bodohnya aku saat itu, dan apa mungkin wajahku sangat merah seperti wajahmu saat itu?

   Dan semenjak pertemuan itu, aku kerap menulis tentang kesukaanmu, tentang tawamu, tentang senyummu, tentang gaya bicaramu, tentang diksimu, tentang puisi-puisi yang kerap kau bicarakan, tentang cerpen-cerpen keren yang mengusik nurani, tentang harimu, tentang kerjaanmu, tentang orang tuamu, hingga akhirnya tentang kita.

    Pada senja hari, aku memberanikan diri menulis semua cerita ini kepadamu. Hanya ingin menyampaikan sesuatu pada intinya, maukah kamu mendampingiku dipelaminan, lalu berusaha sebisa mungkin mempertahankan ikatan tentang rasa ini?


***

   Kubaca lagi surat itu, esok, akan kuberikan pada Sang Puisi yang telah menemani perjalanan pernikahanku yang telah berjalan selama 3 tahun.

 Ardian Handoko 
Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment