Saturday 9 September 2017

Cerpen; Ada Debar Pada Sekotak Ingatan

Ada Debar Pada Sekotak Ingatan


   Kurasakan perih di seluruh bagian tubuh, saat menatap sebuah kotak yang terlantar di sudut gudang. Tutupnya yang berdebu tebal, mulai kubersihkan, sambil sesekali tangan kananku mengusap air yang jatuh dari pelupuk mata.

   Bintang itu masih berkelap-kelip, masih sama seperti saat gadis astronot itu memberikannya padaku. Ada sesal, ada kesal. Apa hal? Aku telah berusaha melupakan semuanya, tapi tak pernah bisa.

   'Apa yang seharusnya aku lakukan, jika hingga nanti kau tak kembali?' Hatiku menjerit, menangisi tahun-tahun yang berganti. Berusaha menunggu, menumbuhkan harapan yang sebenarnya telah bumtu.

 *****

   "Selamat, Dear. Akhirnya kau bisa bekerja di NASA. Saatnya menggapai bintang-bintang yang selama ini kau lamunkan. Semangat!" ucapku sambil memeluknya.

   "Terima kasih, Kak. Dan mungkin saja, ini detik-detik terakhir kita bisa menghirup udara bersama." Kau semakin erat memelukku. Menangis dengan tersedu. Rembulan menyaksikan kita haru, langit pun mendadak membisu.

   Aku membelai punggungmu, mencoba menguatkanmu, Nay. Kau merogoh dadamu, mengeluarkan bintang. Sinarnya berkelap-kelip. Seperti sorot matamu.

   "Jika ini titik akhir, biar kusimpan debar pada sekotak ingatan, yang akan kujenguk setiap kali merindukanmu."
  
   Setelah kau berhenti menangis, aku melangkah menjauh. Melepaskan kepergian yang tak seharusnya di isi kesedihan.

   Dalam hal percintaan, ada dua hal yang selalu kubuap prinsip. Bertahan selamanya, atau tidak sama sekali. Yah, itulah keputusan, itulah yang memberatkan, dan yang hari ini masih kugenggam.

  Aku selalu berharap, kau akan kembali lagi ke pelukku, Nay. Membawa lagi bintang, untuk terangi kehidupanku yang gelap, tanpa hadirmu. Namun pada kenyataannya, kau tak pernah kembali. Entah tersesat di antara para bintang, atau tersesat di hatinya.

Bandung Barat, 2017

2 comments: