Thursday 19 October 2017

FlashFiction; Senyum Penjual Kopi

    "Kita ke pergi Sam. Ayo!"

   "Ke mana?"

   "Warung kopi. Kita cek kasus kemarin."

   "Hah? Apa kau tak salah?'

   "Kudengar, tempat terakhir yang dikunjungi mayat-mayat itu. Sudah jangan banyak tanya!"

    Salah satu kota di Jawa Barat yang sedang kutempati ini, biasanya terasa damai dan tenang. Namun, sudah beberapa minggu ini, kepolisian selalu menemukan mayat di pinggir jalan dengan mulut berbusa. Over dosis! Yap, itu juga yang pertama kali kupikirkan, tapi anehnya, saat mereka --tim khusus devisi kami-- memeriksanya di lab, mereka sedang tak menggunakan zat adiktif macam apa pun. Aneh bukan? Dan Sebagai Intel, kami diperintah untuk memastikan apa yang telah membuat mereka mati dengan keadaan itu.

   "Jika kita berhadapan dengan narkoba jenis baru, sungguh tak etis rasanya diedarkan di warung kopi. Jangan bercanda kau!"

   "Maka dari itu, mari kita pastikan," dengan nada yang sama-sama sewot, dia menenangkanku.

   Kami berjalan menuju warung kopi. Beberapa menit pun berlalu, kami sudah sampai di tempat yang dituju. Sangat sederhana dan sangat jauh dari apa yang aku bayangkan. Beberapa orang sudah terlihat asik mengobrol di sana.

   "Kopi, Kang?" ucap si teteh penjaga warung, sambil tersenyum manis, menyambut kami. Kuperkirakan wanita itu baru berumur 25 tahun.

   "Kopinya dua," kami pun segera duduk di bangku paling pojok. Aku mulai menyalakan alat untuk merekam semua percakan sebagai bukti, dalam tas kecil yang kubawa.

   Entah kenapa, aku merasakan sansasi mabuk saat baru saja terduduk di sini, padahal  belum ada satu makanan atau minuman masuk ke mulutku. Orang-orang di sampingku telah berbicara dengan begitu melanturnya. Tapi, tak ada satu botol pun minuman yang memabukan di atas meja. Apa jangan-jangan ....

   "Ini, Kang, kopinya dua," setelah menyimpan kopi di atas meja, wanita itu kembali tersenyum. Buru-buru kuminum kopi itu, berharap dugaanku kali ini salah. Tetapi aku malah merasa semakin mabuk karena meminumnya.

   "Kau tak apa, Sam?"

    "Pikiranku merasa melayang," kurasakan tubuh ini hampir rubuh.

   "Kenapa, Kang?" sedikit panik, wanita penjaga itu pun menghampiri kami lagi.

   "Tak apa," ucapku meyakinkan, dan wanita itu kembali tersenyum ke arahku.

   Badanku mengejang, kurasakan busa mulai naik ke tenggorokan, lalu perlahan menyebar di mulut. Dalam kesadaran yang tinggal sedikit, kuingat lagi senyuman wanita itu, senyuman yang memabukan.

Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment