Saturday 21 October 2017

Puisi; Pada rembulan yang menyaksikan dada kita berguguran (dan) Puisi; Mati

Pada rembulan yang menyaksikan dada kita berguguran


Ribuan dentuman peluru berdetak di dalam dada
Menghujam pilu yang berdarah; diledakan asmara yang masih sama
Dan rembulan kini berwarna merah
Kehabisan alasan untuk tetap berdiri

Pada rembulan yang menyaksikan kita sekarat dijilat nasib
Kita  sama-sama berharap luka itu kering
Sedangkan rembulan bahkan tak menggantungkan tali takdir
Kita sama-sama lupa, wajah yang ayu dan gagah telah kehabisan masa
Kita hanya bisa berharap, sekarat menghapus segala dosa


 Bandung Barat, 2017
 

Puisi; Mati



Ada puisi, Puan?
Di mata, hidung, rambut juga kaki
Yang berteriak kala sepi
Tapi hatimu tuli, Puan?

Masih adakah puisi, Tuan?
Yang riak dari hulu ke hilir
Melewati gunung, bukit, lembah bahkan sudut hati orang-orang kecil
Padahal, air saja tak dapat mengalir di hati mereka

Puisi, Tuan?
Kata-kata hidup
Lalu mati, lalu hidup
Mati-hidup-mati-hidup
Di balik dada yang dipasung baja
Di dalam peti mati
Nurani

Tapi puisi masih hidup, kan Tuan?
Di negara yang hampir mati ini?
Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment