Secangkir Penuh Lamunan
Hanya
karena sebuah kesalahpahaman, kita menjadi tidak saling sapa, saling
melupakan. Apalah arti kerinduan, jika aku, cinta dan kesetiaan ini, kau
anggap ilusi. Hanya cangkir berisi coklat panas, yang menemani
semua keluh kesah yang terlontar dalam makian-makian kecil bibirku.
Matamu mamantulkan sendu, jejak-jejak air mengikis harapan yang habis diterpa waktu.
"Kak, lelaki itu hanya, teman."
"Kita sudah muak membahasnya, bukan? Jadi kenapa harus diangkat lagi?"
Wanita
itu tak menjawab, dan sepertinya sangat tak ingin menjawab. Tak ingin,
kah? Lalu apa artinya semua ini. Dia payah memang, bahkan sangat payah
dalam menyembunyikan sesuatu. Pipinya kini sangat basah karena tangis.
"Kakak yang mulai, lelaki itu. Mmmm sudahlah lupakan!"
Aku
tertawa meski pun tak ada sesuatu yang lucu. Semenyebalkan itu? Tentu
saja, dia hendak membakar api. Untuk menciptakan api yang lebih api dari
api. Dan baranya belum padam hingga hari ini.
"Kak,
aku sudah berusaha melupakan semuanya. Membunuh kita dengan menyibukan
diri, karena aku tau. Tugas merindukan itu sangat berat, untuk aku yang
payah ini. Tapi kenyataannya, aku tak bisa."
"Jadi?"
"Aku
yang bodoh menjelaskan atau kau yang pura-pura bodoh untuk mengerti.
Tak bisakah kita mulai dari awal semuanya? Aku ingin menjadi sosok yang
baru, aku yakin bisa berubah dan tak akan semenyebalkan dulu."
Ada keyakinan yang terpancar di matanya, meskipun, dia menangis.
Pada akhirnya, aku luluh dan memeluknya yang hampiur runtuh. Meyakinkannya bahwa kemarahanku hanya untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Gadis di sampingku ini biasanya sangat cerewet, kecepatan kata yang bisa dilontarkannya 140kata perdetik. Lebih dari cukup untuk masuk kategori memuakkan.
Sebuah lamunan yang harus kubayar dengan air mata. Aku tak ingin lagi menatap matanya, mata yang selalu membuatku jatuh cinta. Dan kini, coklat panas sudah dingin.
Bandung Barat, 2017
No comments:
Post a Comment