Thursday 22 March 2018

Cerpen; Yang Ingin Kuketahui Tentang Masa Depan

 Yang Ingin Kuketahui Tentang Masa Depan

   Lampu kelap-kelip langsung menyerang mataku. Seandainya saja bukan karena urusan yang sangat penting, rasanya tak sudi melangkahkan kaki ke tempat seperti ini.

   Kuperhatikan objek-objek di sekelilingku yang samar, wajah-wajah penuh masalah, tengah menikmati pengusir rasa jengah, obat stres yang sesungguhnya menjajah. Memang, sebagai penyidik aku sering kali keluar masuk tempat-tempat seperti ini, tapi tetap saja, perasaan muak terus menghampiri. Musik yang menulikan telinga, juga bau alkohol. Mengesalkan.
   "Kau yakin wanita yang kusebut ciri-cirinya sering mampir ke tempat ini?"
   "Tentu saja, dia bahkan pelanggan tetap, dan hampir setiap hari ke tempat itu. Menurutku pribadi, masalah seperti ini harusnya tak boleh terjadi. Semua salahmu, Bung!"

   "Aku tau, maka dari itu aku jauh-jauh ke tempat ini. Agar semuanya selesai dengan baik."

   "Semoga sukses, kau berani bertanggung jawab. Keberanianmu patut kutiru."
   "Kau bodoh jika meniruku. Aku pergi."

   "Hahaha. Jika kau mengenal orang tuaku, sampaikan salam dari Hendri, anaknya."

Yah, percakapan itu yang membuat aku pergi ke tempat ini. Setelah aku menjelaskan semua ciri-ciri kepadanya, dia langsung menyarankanku datang ke sebuah club malam terkenal di kota ini.

*** 

   "Keisya, Gue Arman. Apa Lo inget? Gue temen sekelas Lo waktu SMA," ucapku sedikit berteriak agar didengar wanita itu. Semoga saja dia tak melihat ekspresi konyol wajahku. Kupakai bahasa seperti ini agar wanita di depanku tak curiga. 
   "Hah? Siapa Lo? Gue gak pernah kenal siapa pun di muka bumi ini. Dari dulu Gue gak punya temen seorang pun, ngerti!"
   "Oke, oke ... Gue ngaku. Gue cuman pengen akrab sama Lo, karena tiap hari, Gue liat, Lo selalu murung sendirian."
   "Apa peduli Lo?"
   "Bang, Wine dua!"
   "Lo pikir Lo siapa, hah!"

   "Anggap aja ini tanda perkenalan, dan Gue janji. Gue gak akan bicara apa pun," ternyata,ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Lagi pula, tak boleh ada kekerasan sedikitpun kepadanya. 

    "Terserah, ambil  waktu semaumu, Bung!"

   Dua gelas wine terhidang di atas meja bar. Tanpa basa-basi lagi, Keisya langsung meneguknya.
 

   Suara musik semakin kencang. Semakin memabukkan manusia-manusia yang jiwanya terguncang. Namun telinga ini terus kujaga agar tetap hening, aku tak mau melewatkan satu kata pun, dari bibir Keisya.

   Wanita itu masih diam. Meski sesekali, matanya nanar menatap langit yang samar.

   Mata adalah indra yang paling dekat dengan hati, dan air mata selalu dapat menemukan celah untuk lahir dari perasaaan yang tak bisa diungkapkan. Aku menyadari, kini wanita itu menangis tapi aku harus tetap diam, menjaga emosiku agar dapat mengorek informasi yang tak boleh dilewatkan.

   "Gue selalu nangis setiap malam, dan tempat ini yang jadi tempat teraman buat Gue nyurahin semua kekesalan. Gak pernah ada seorang pun yang peduli, karena dari dulu Gue hidup sendiri."

   "Bukannya Lo masih punya orang tua?"

   "Orang tua?! Gue cuman punya sepasang manusia tua di rumah, yang ngelahirin, ngasih makan dan ngatur semua kehidupan Gue tanpa pernah mau dengerin apa yang Gue mau, apa yang Gue minta!Coba Lu pikir, Gue cuman dianggap kebo yang dicocok hidungnya, buat ngikutin semua yang mereka mau."

   Keisya akhirnya menangis dipelukku. Kini semuanya jelas. Ini informasi yang aku butuhkan untuk jadi orang tua yang baik, karena jujur saja, selama ini aku hanya orang tua yang payah. Meski pernah belajar dari berbagi macam buku dan seminar tentang cara mengurus anak. Tetap saja, ketololan diri ini tak berkurang sedikitpun.

   "Sorry ya, kalo Gue cengeng." Wanita di depanku mulai tenang, di tersenyum.

   "Yang seharusnya minta maaf tuh Gue yang gak bisa ngerawat Lo dengan baik, Sekarang udah waktunya Gue pulang. Semoga setelah ini, Gue bisa jadi pribadi yang lebih baik. Ayah pulang dulu, Nak." Kukecup keningnya, lalu beranjak kembali ke masa lalu

   Maafin Ayah selama ini, Keisya ucapku di depan pintu waktu. 

Bandung Barat, 2017 
 

No comments:

Post a Comment