Tuesday 27 March 2018

Cerpen; Air Mata ang Menulis Kebahagiaan

Cerpen; Air Mata yang Menulis Kebahagiaan



   Perihal cerita-cerita panjang yang pernah diangankannya, perihal puisi-puisi yang kini hanya kata, atau perihal sketsa-sketsa wajah seorang gadis yang tergantung di kamarnya. Semua perlahan memudar dan menguap.

   Terlambat. Seseorang yang selalu dia sebut dalam doa telah dimiliki. Ruangan itu telah berisi dan tak mungkin l.elaki itu harus mengetuk, dan mengganggu penghuninya.

   Air matanya jatuh, tetapi dipaksakannya untuk menulis kebahagiaan. Dia tak pernah ingin terlihat lemah di depanmu. Dia akan terus memasang tawa dan tak akan henti-hentinya tersenyum di dekatmu. Egois memang. Lelaki itu terlalu memikirkan perasaan gadis pujaannya, tanpa mau peduli pada hatinya. Dasar lelaki bermuka tembok! Dia terus memaksakan air mata menuliskan tawa, yang sebenarnya tak pernah tercipta.

   Seharusnya lelaki itu mengerti, dunia penuh kesenangan yang diangankannya hanya ada dalam tempurung kepalanya. Meskipun dia bertekad, sekuat apapun itu. Kata-kata, pada akhirnya akan berada di tempat di mana dia berasal, yaitu ketiadaan.


   Lampu putih di kamarnya telah dimatikan. Saat sepi menjadi gaung di telinganya, Tetes air mata menjejakkan langkah pada kertas kusam. Lelaki yang kerap tersenyum di depanmu itu kini menangis. Bukan kecewa padamu, tetapi pada dirinya sendiri yang selalu lambat bergerak.


   Lagi, beberapa tetes air mata terjatuh. Kebahagiaan, juga kesedihan hanyalah perasaan yang datang silih berganti, setelah lelah bermain-main dengan keseharian. Dan lelaki itu hanyalah seseorang yang bodoh, yang percaya bahwa air mata dapat menuliskan kebahagian, jika dipaksakan.


   "Apa kau marah padaku? Setelah apa yang terakhir kali terjadi di antara kita?" Suara itu keluar dari dalam cermin. Pantulan wajahnya berbeda dengan penulis kita yang bermuka datar, meski berair mata. Lelaki -- yang berada dalam cermin itu, terlihat sangat tersiksa.


   "Aku telah berusaha menerima semuanya. Berusaha mengerti, bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang pasti terbaik. Namun, setelah berjuang keras, air mata yang jatuh malah semakin deras. Maaf, kita telah lama tidak berbicara. Bukan karena aku marah kepadamu, hanya saja, kau tahu, aku tak ingin lagi kau kecewa."


   "Seandainya kau dapat melihat apa yang kulihat, betapa menyedihkan kau sekarang. Sebagai perasaan yang kau kurung di sini, di dalam cermin ini. Aku, kecewa terhadap keputusanmu."


   Sunyi kembali menjadi suara yang masuk ke telinganya. Kehampaan kini menjadi kegelapan yang menelan segalanya, bahkan jiwanya sendiri. Gemuruh air mata, menenggelamkan sebuah nama. Nama yang dulu dipercaya sebagai perjalanan panjang yang bisa ditempuhnya. Sekarang tidak lagi.











Bandung barat, 2018






No comments:

Post a Comment