Monday 1 October 2018

Prosais; Di Sini, Sendirian



Di Sini, Sendirian




Seberapa kuat aku memandang alam. Seberapa kuat aku mencoba berbicara dengannya. Seberapa kuat aku ingin memeluknya. Aku tetap menjadi buta, bisu dan kaku. Alam selalu berusaha menjaga jarak dari tubuh kecilku. Awanku muram, hutanku tandus, lautanku kering. Semua menjelma menjadi apa yang paling aku takuti. Kesendirian. Kesepian.

Aku di sini, sendirian. Memikirkan bagaimana caranya untuk hidup normal seperti mereka. Bercengkrama tanpa was-was, tertawa lepas, mengerjakan apa yang kuingin dengan bebas. Namun, semuanya memang berbeda di mataku. Ibuku mentari, ayahku malam. Aku hanya bisa menekan perasaan itu sendirian. Mereka berdua tak bisa kuandalkan.

Aku di sini, sendirian. Menimang perasaan dengan gundah. Mencerna perasaan dengan payah. Mencoba mengeruk apa yang tersisa dengan lemah. Aku air dari lautan yang hampir habis. Aku oksigen setelah pabrik-pabrik dibuka. Aku hutan, yang menjelma gurun tandus.


Aku habis, aku hilang, aku lekang.

Bandung Barat, 16/08/2018


Apa artinya kesendirian? Gelap, rapuh, dan kesepian. Daun-daun hijau yang menyimbolakan kehidupan telah gugur tak tersisa. Ini tentang hidupku, yang diikat simpul oleh kondisi, dimana ruang dan waktu hanya ada aku sendirian.

Aku putus asa atas apa saja yang menimpaku. Matahari yang menyinari malah membakar ranting-ranting yang coba kutumbuhkan. Matahari mirip dengan ibu. Dia sering kali memarahiku karena hal-hal sepele. Memecahkan piring, misalnya. Atau melarangku menggambar, (Hal yang paling kusukai) menurutnya itu pemborosan dan tak berguna.

Aku tersiksa atas perlakuannya. Hanya saja, dia matahari. Siap membakar apa saja dengan sedikit percikan. Percayalah, hidupku hanya ranting di lautan. Terombang ambing tanpa kepastian. Tak ada yang dapat kupegang sebagai tumpuan, atau pijakan. Tanahnya amblas dilahap mulut ibu.

Mereka tahu, mentalku sedikit tergangu. Namun, itu tak dapat meluluhkan tekad orang tuaku tentang kedisiplinan. Oh, iya. Ayah lebih mirip malam. Dia dingin dan gelap. Meskipun sesekali masih sering memelukku. Ayah dan ibu saling melengkapi. Sedangkan aku adalah sebatang pohon tua, menunggu kematian setelah daun harapan yang terakhir gugur. Pendar cahaya di antara kabut ini pasti sebentar lagi mengajakku pulang.  Menuju kepada-NYA.


*Note; Prosa ini ditulis setelah melihat-lihat gambar Sybil


No comments:

Post a Comment